Jumat, 21 Oktober 2011

DI BALIK SKENARIO MR A


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 6 Juni 2011)

Konflik politik yang melibatkan elit Demokrat kian menjadi-jadi. Bergulirnya isu Mr A yang dihembuskan oleh politisi Demokrat, Ramadhan Pohan pada 1 Juni lalu, sontak menjadi bola panas yang bergulir liar kemana-mana. Sederet nama politisi berawalan A yang mulai masuk ke dalam pusaran isu tersebut adalah Abu Rizal Bakrie dan Akbar Tanjung dari Golkar, Arief Poyouno dari Gerindra.

Dalam pembacaan komunikasi politik, fenomena seperti ini kerap dipahami sebagai gelembung isu (bubble issue). Yang biasanya digunakan oleh aktor untuk menarik perhatian publik pada isu sesaat guna menyembunyikan kenyataan lain yang sedang menjadi sorotan. Pola serupa kerap menghiasi jagat politik kita di masa lalu. Gelembung isu biasanya tak memiliki dasar dan tautan fakta yang kuat dan bisa dibuktikan secara hukum, karena memang sejak awal tidak diskenariokan untuk masuk di pembuktian legal formalistik melainkan bentuk equivocal communication. Menurut Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communication (1990) istilah ini memiliki makna pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak lugas.

Konteks berhembusnya isu Mr A tentu tak bisa kita lepaskan dari kisruh kasus suap proyek wisma atlet SEA Games yang melibatkan Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora) Wafid Muharram dan menyeret politisi Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Setelah Nazaruddin pergi ke Singapura beredar serangkaian propaganda melalui sms dan situs jejaring sosial yang menempatkan Demokrat dan sejumlah elit partainya sebagai sasaran tembak. Ada dua teknik propaganda yang menonjol dan digulirkan oleh pengirim yang seolah-olah Nazaruddin lewat SMS bernomor Singapura.

Pertama, teknik name calling yakni memberi label buruk pada gagasan, orang, objek atau tujuan agar menolak sesuatu tanpa menguji kenyataanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Staf Ahli Bidang Komunikasi Politik Daniel Sparingga, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), Andi Nurpati dan Anas Urbaningrum seolah-olah menjadi korban propaganda ini. Kedua, propaganda yang beredar itu juga menggunakan teknik card stacking yakni dengan cara memilih pernyataan yang akurat dan tak akurat, logis dan tak logis untuk membangun suatu kasus. SMS yang beredar secara sengaja dan terencana mencampur-adukan pernyataan yang asumsinya bisa diterima tetapi miskin fakta verifikatif. Tujuan utamanya menghadirkan efek domino pada perbincangan publik, sehingga orang ramai menduga-duga adanya sejumlah kasus lain di luar kasus Nazaruddin tersebut.

Dalam membaca gelembung isu semacam ini kita harus lebih teliti karena bisa jadi skenario sesungguhnya tidak seperti garis linear yang nampak di permukaan. Kini, seolah Partai Demokrat sedang dikerjai oleh banyak pihak dan terkesan menjadi sasaran tembak propagandis yang intensif menyasar berbagai kelemahan partai pemenang Pemilu ini. Kemungkinan seperti ini memang tak bisa kita abaikan terlebih jika dikaitkan dengan rivalitas menuju 2014.

Namun, kemungkinan lain juga harus kita baca secara jernih. Serangan intensif yang terjadi belakang mungkin juga diskenariokan oleh orang-orang Demokrat sendiri sebagai bagian dari manajemen konflik. Mereka menempatkan diri seolah-olah sedang disakiti, didzalimi, dijadikan sasaran tembak. Ingat, posisi semacam ini dalam tradisi politik Indonesia kerap melahirkan empati publik sekaligus melahirkan kembali kohesivitas organisasi.**

Sumber Gambar:

www.inilah.com

Tidak ada komentar: