Jumat, 21 Oktober 2011

REORIENTASI POLITIK PPP

Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, Kamis 7 Juli 2011

Muktamar VII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menentukan perjalanan partai ini ke depan, terutama terkait eksistensinya yang hingga kini terus terseok dan digerus oleh kekuatan parpol lain. Persoalan mendasar bagi PPP adalah menentukan reorientasi diri yang jelas sebagai bagian dari parpol modern. Bukan sebaliknya, terus berkutat dalam kegamangan yang menyebabkan merosotnya pemilih dalam demokrasi electoral yang kian kompetitif.

Kapal Tua

PPP sekarang adalah kapal tua yang butuh perawatan intensif agar tak bobrok dimakan zaman. Lampu kuning tanda bahaya bagi PPP sudah menyala, seiring dengan terus menurunnya suara pemilih dalam pemilu. Pada pemilu 1977, PPP memperoleh suara 29,3 persen, pemilu 1982 turun menjadi 27,8 persen, pemilu 1987 sebesar 15,9 persen, pemilu 1992 sebesar 14,6 persen, pemilu 1997 perolehan suara sempat naik yakni 22,4 persen, kemudian terjun bebas di pemilu 1999 dengan perolehan suara 10,7 persen, pemilu 2004 sebesar 8,1 persen, dan pemilu 2009 hanya dipilih oleh 5,5 juta pemilih atau sekitar 5,3 persen.

Menurunnya suara PPP itu disebabkan beberapa faktor. Pertama, lemahnya strategi pengelolaan basis massa tradisional. Dalam konteks kerja partai, PPP kerap abai atau sangat jarang mengusung gagasan, program atau sekadar menjadi trend setter isu yang terkait dengan basis masa tradisionalnya. Partai tak mampu meyakinkan basis massanya untuk tetap loyal, sehingga tak mengherankan banyak pemilihnya lari ke partai lain, baik sesama partai Islam maupun nasionalis.

Kedua, PPP mengalami krisis figur. Tak disangkal bahwa setiap partai selalu butuh simpul ketokohan yang bisa menjadi perekat kohesivitas kelompok. Memang posisi tokoh bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa negatif, jika tokoh sangat dominan dan melembagakan kekuatan referen (referent power) dirinya sehingga partai mengalami feodalisme.

Ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang tradisi dinasti politik. Gejala ini akan menyebabkan menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah tokoh atau figur di puncak hierarki partai. Tetapi kekuatan figur akan positif bagi PPP jika ditempatkan sebagai salah satu sumber transformasi organisasi menuju partai modern. PPP butuh figur kuat, kredibel, yang mau dan mampu bekerja untuk partai sekaligus bisa dibanggakan parpol sebagai politisi ideologis. Tokoh seperti ini penting untuk mengerek kembali seluruh potensi kejayaan PPP.

Ketiga, PPP kerap terjebak ke dalam identifikasi citra simbolis yang eliteis. Sah-sah saja sebuah partai punya citra simbolis, seperti halnya PPP yang mengusung citra dirinya sebagai partai Islam. Tentu, untuk bisa bertahan lama, simbol dengan substansinya harus sejalan, bukan saling menegasikan. Partai butuh kerja-kerja konkret di luar pemilu sebagai bagian optimalisasi fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol.

Bagaimanapun, partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Selain itu, juga dapat menjadi saluran yang tepat saat konflik muncul dan eskalatif. Bukan sebaliknya, parpol menjadi alat manipulasi kesadaran khalayak sekaligus menjadi kendaraan utama untuk "bancakan" uang rakyat secara sistemis dan berjamaah.

Refleksivitas Politik

Tantangan nyata bagi PPP ke depan adalah munculnya titik jenuh khalayak terhadap keberadaan parpol. Sikap dan prilaku politik para politisi lintas parpol nyaris seragam, yakni kurang merepresentasikan aspirasi rakyat. Sehingga persentase kelompok apolitis kian membesar. Pasar bebas parpol di Indonesia yang kian kapitalistik juga menjadi tantangan tersendiri.

PPP harus bersaing dengan partai-partai lain yang punya sumber daya otoritatif (authoritative resource), sumber daya alokatif (allocative resources), dan sumber daya finansial (finansial resources) lebih siap dibanding PPP. Tantangan lain, PPP juga akan dihadapkan pada regulasi yang kian ketat seperti UU Parpol maupun dalam UU Pemilu. PPP, misalnya harus kerja ekstrakeras dalam menyikapi peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) dalam Pemilu 2014.

Muktamar bisa menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reorientasi diri menuju partai modern. Pertama, PPP harus mengembangkan refleksivitas organisasi. Ketua umum baru terpilih harus mampu membawa PPP menuju masa depan dengan perubahan-perubahan yang signifikan. Refleksivitas tercermin dari kemampuan untuk menentukan alasan-alasan dari pilihan perilakunya.

PPP jika ingin disebut partai modern harus progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan selalu terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis elite parpol.

PPP butuh memperkuat penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony Giddens sebagaimana dikutip West dan Turner dalam Introducing Communication Theory (2008), penstrukturan adaptif terjadi jika organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku para anggotanya.

Kedua, jika ingin menjadi partai modern, PPP harus dibangun melalui kaderisasi yang kuat. Tahapan kaderisasi harus berjalan integratif dimulai dari perekrutan, pembinaan kader menjadi loyalis serta pendistribusian dan pengalokasian kader ke dalam posisi-posisi tertentu. Pragmatisme dan politik trasaksional kerap mencederai tahapan kaderisasi ini. Partai menjadi pintu masuk bagi munculnya para politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu. Sehingga, merusak suasana batiniah kader sekaligus menumbuhkan parasit yang suatu saat akan menggerogoti kejayaan tubuh PPP.

Sudah bukan saatnya warga PPP berorientasi pada romantisme masa lalu sebagai satu-satunya rumah besar umat. Butuh kerja nyata untuk membentuk jejaring aktif melalui kaderisasi yang berkelanjutan agar PPP tetap bisa bertahan.

Tulisan bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://nasional.jurnas.com/halaman/10/2011-07-07/175434

Sumber gambar:

www.inilah.com

Tidak ada komentar: