Selasa, 25 November 2008

MENYELEKSI TAYANGAN LAYAR KACA


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Koran Jakarta, Sabtu 22 November 2008)

Di banyak diskusi terbatas tentang isi media, sudah jauh-jauh hari program andalan Trans7 “Empat Mata”, yang menghadirkan komedian Tukul Arwana sebagai host diprediksi akan dihentikan tayangannya. Ternyata terbukti, sejak Selasa (4/11/08) malam, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghentikan penayangan program tersebut. Puncak dari pelanggaran “Empat Mata” yang dalam versi KPI tak lagi bisa ditolerir adalah episode 29 Oktober 2008, saat “Empat Mata” menghadirkan Sumanto dan seorang tamu lain yang mempraktikkan bagaimana ia makan kodok hidup-hidup. Dialog dan juga berbagai adegan selama episode tersebut, dianggap sebagai “tayangan yang tidak pantas untuk ditampilkan”.
Aturan Penyiaran
Sebenarnya, sebelum program yang menonjolakan lawakan bercitarasa tukul ini dihentikan, KPI telah memberikan teguran sebanyak tiga kali terhadap tayangan tersebut. Teguran dilayangkan pada 5 Mei 2007, 27 September 2007 serta 25 Agustus 2008 terkait banyak dialog dan adegan yang tidak layak menurut Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Memang, program ini digemari banyak penonton, sehingga begitu kuat percaya diri yang dimiliki oleh pengelola program untuk membiarkan Tukul Sang Komedian mengekplorasi tingkah-polahnya meski kerap menyerempet aturan main dunia penyiaran yang telah disepakati.
Dialog dan adegan Tukul beserta pendukungnya kerapkali tak teredit, terutama di episode-episode yang live. Dialog eksplisit kasar, terkadang menghina fisik secara ekspresif, beberapa kali juga merendahkan martabat manusia seperti memperlakukan diri Tukul atau yang lain sebagai binatang, dan menstimulasi kekerasan verbal seperti kata “tak sobek-sobek!”. Meski semua itu dalam konteks banyolan khas katro-nya tukul, tapi di masyarakat berkembang seperti Indonesia, justru hal-hal tersebut biasanya akan sangat kuat pengaruhnya untuk ditiru sehingga menjadikan hal yang tak pantas tersebut sebagai sesuatu yang lumrah.
Pasal 48 UU no.32 tahun 2002 telah mengamanatkan adanya Pedoman Perilaku Penyiaran, yang diantaranya harus mengatur standar kesopanan dan kesusilaan, pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme. Sehingga, sudah tepat jika KPI dalam pleno mereka untuk memutuskan mengapa “Empat Mata” melanggar, merujuk pada P3-SPS.
Dalam P3-SPS Pasal 28 ayat 3 berbunyi, “lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis”. Sementara di ayat 4 pasal yang sama berbunyi, "Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari".
Dengan demikian, melumrahkan segala bentuk kekerasan melalui ranah siaran media televisi jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran. Tidak hanya kekerasan dalam prilaku tetapi juga ucapan-ucapan verbal yang menstimulasi khalayak membiasakan kekerasan verbalistik. Sebenarnya tidak hanya acara “Empat Mata” apa pun programnya jika melanggar aturan penyiaran harus dihentikan penayangannya. Hal ini bukan berarti pemberangusan media, melainkan melindungi khalayak dari isi media massa yang tak berkualitas.
Kita sudah memiliki regulasi penyiaran yang lumayan memadai, hanya implementasinya hingga kini terkesan masih kurang tegas. Padahal sesungguhnya regulasi itu penting untuk memaksimalkan peran dunia penyiaran di tengah masyarakat. Mike Feintuck dalam bukunya Media Regulation, Public Interest and The Law (1998) menulis, dewasa ini regulasi penyiaran perlu mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku dan isi. Regulasi struktur mengatur pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi berkaitan dengan batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Etika Media
Sebelum “Empat Mata” kita juga ingat KPI pernah menghentikan tayangan smack down di stasiun Lativi pada 29 November 2006. Sederet program sejenis smack down seperti After burn, Raw, Bottomline, Heat, Experience, Extreme Championship Wrestling yang merupakan produksi World Wrestling Entertainment (WWE) dulu melenggang bebas menghampiri publik. Setelah kasus pelarangan smack down di Lativi ini, acara-acara sejenis menghilang dari peredaran. Namun, akhir-akhir ini, gejalanya ada upaya dari pengelola stasiun televisi untuk menghidupkan kembali demam gulat-gulatan atau banting-bantingan, misalnya tayangan ala Gladiator yang siap disuguhkan ke khalayak, mungkin sambil mengetes ingatan khalayak yang biasanya cepat lupa bahwa acara-acara sejenis itu pernah dilarang.
Program di televisi entah itu reality show, news, talk show atau lain-lain harus disadari dapat berpotensi menimbulkan efek peniruan atau imitasi. Oleh karenanya, media massa jangan sampai menstimulasi atau menjadi katalisator lahirnya efek negatif terutama menyangkut kejahatan yang bertolak dari potensi alamiah manusia untuk meniru apa-apa yang disaksikan atau diperolehnya dari media massa.
Gabrial Tarde (1903) seorang sosiolog memiliki pandangan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menyamai atau melebihi tindakan orang di sekitarnya. Bukti kongkritnya adalah kejatahan mutilasi yang di lakukan oleh seorang istri terhadap suaminya yang bernam Hendra belakangan ini. Ternyata, inspirasi untuk memutilasi muncul dari prosesi pembantaian yang dilakukan oleh Ryan melalui tayangan televisi yang ditontonnya. Realitas simbolik kekerasaan tentang Ryan yang ditampilkan media massa, telah jauh melewati makna sebuah berita sebagai sumber informasi yang positif, melainkan telah menjadi medium yang mewartakan simulasi kekerasan secara detail untuk ditiru.
Media massa seyogyanya kembali memikirkan etika. Terutama senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan “Seven Deadly Sins”. Ketujuh dosa mematikan bagi meda massa itu adalah eksploitasi kekerasan, eksploitasi anak di bawah umur, menstimulasi pencabulan, dramatisasi fakta palsu, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), melakukan penghakiman oleh pers (trial by the press), serta menghembus-hembuskan konflik SARA. Tingkat information literacy yang ada di masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga media mesti benar-benar melindungi hak-hak publik untuk mendapatkan isi media yang berkualitas.

METAMORFOSIS GERAKAN RADIKAL




Oleh : Gun Gun Heryanto

Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra pelaku bom Bali yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, telah dieksekusi mati Minggu dini hari (9/11) pukul 00.15 WIB di Nusakambangan setelah permohonan PK mereka di tolak. Ini merupakan babak akhir drama kehidupan dunia, bagi ketiga orang anak bangsa yang memiliki interpretasi ajaran agama secara berbeda dari arus utama warga di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Jenazah Imam Samudra telah bersemayam di tanah kampung halamannya, Lopang Gede, Serang Banten. Sementara Amrozi dan Mukhlas alias Ali Ghufron telah beristirahat abadi di tanah Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Eksekusi dengan cara ditembak, menjadi penanda mahalnya sebuah cita-cita yang mereka perjuangkan. Lantas akan matikah gerakan radikal pasca eksekusi mereka ? tentu tidak, karena sosok Amrozi Cs, bisa jadi akan bermetamorfosis dalam diri pewaris pemikirannya. Bisa dari anak atau kerabat yang memiliki pola pikir serupa atau kader dan temen seperjuangan yang senantiasa mecintai ketiga orang itu sebagai syuhada.

Transformasi Gerakan

Kasat mata terlihat di berbagai media massa, begitu banyak kerabat, kolega dan teman Imam Samudra yang mencoba menggelorakan semangat perjuangan yang telah ditunjukkan Amrozi Cs. Bahkan, di bebarapa tempat photo dan spanduk berhias wajah mereka ditulisi “pejuang”, “syuhada”, “penerus nabi” dll. Ini bukti bahwa, meski hukum formal negara telah merenggut jiwa dari raga mereka, namun transformasi spirit gerakan radikal sepertinya akan terus mengalir.
Transformasi gerakan radikal paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama lingkungan makro antaralain sistem politik global, sistem kenegaraan, market struktur, sistem budaya dll. Misalnya saja relasi antagonisitik yang dibangun Amerika di bawah komando “Koboy Texas” George Bush dengan kebijakan unilateralismenya, telah menyebabkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris” “ekstrimis” “pasukan setan” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pula yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak, Iran, Lybia, termasuk juga di Indonesia. Sentimen anti Barat mengemuka termasuk saat terjadinya Bom Bali.
Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan keasadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Sangat wajar jika suatu pesantren atau sekolah yang terus-menerus, sistemis dan terorganisir menghidupkan cara pandang ekstrim tentang agama, maka akan banyak lahir kader militan yang siap mati karena memperjuangkan apa yang mereka yakini. Sekali pun dengan cara kekerasan, karena hal tersebut masuk dalam kategori “investasi syurga”. Keluarga pun bisa menjadi katalisator. Misalnya, dengan wasiat untuk meneruskan jejak langkah orangtuanya berjuang bak “pahlawan di Perang Badar” , bisa jadi seorang anak suatu saat mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli perakit bom atau ahli teror.
Ketiga, orientasi kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Bentuknya adalah kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi yang diikuti, eksternalisasi diri agar tampil ke publik menebar teror dan ancaman ketakutan sehingga memperoleh liputan media massa, dan pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-orientasi kepribadian ini perlahan tapi pasti dapat menstimulasi semangat radikalisme dengan wajah kekerasan.

Motif Radikalisme

Sosiolog Max Weber membagi motif prilaku politik menjadi : motif rasional-bernilai, motif afektif-emosional, motif tradisional dan motif rasional bertujuan. Jika menggunakan kategori motif tadi, nampak bahwa penganut radikalisme Islam atau agama apapun, mencoba membangkitkan motif rasional-bernilai. Sebuah motif yang didorong oleh semangat untuk mengimplementasikan norma-norma tertentu yang dipahamai sebagai kebenaran. Dengan nalarnya, seseorang mencoba untuk menelaah konsep normatif tersebut ke dalam sebuah gagasan operasional untuk diperjuangkan. Dengan kata lain, motif ini adalah rasionalisasi dari apa yang seharusnya atau apa yang ideal. Hanya saja, rasionalitas dalam konteks ini, kerap tunduk pada gagasan akan kebenaran yang telah diyakininya. Sehingga muncul ekslusifisme. Gerakan menjadi tertutup, sistem sel, dan monolayalitas pada komando dari imam yang yakini telah diamanati oleh Tuhan sebagai pemimpinnya.
Tentu saja, dalam praktiknnya motif ini akan menjadi daya dorong yang kuat bagi munculnya gerakan radikal terlebih jika bertemu dengan momentum ketidakadilan, ketidaksejahteraan dan instabilitas politik di masyarakat.

Jumat, 14 November 2008

KEBIJAKAN 'SOFT POWER' OBAMA


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Merdeka, Jum'at 14 November 2008)

Kemenangan Obama pada Pemilu Amerika 4 November lalu tak hanya menyihir warga Amerika tapi juga warga dunia. Mantra “Yes we can!” yang selalu diteriakan Obama selama kampanye menuju Amerika-1, tak hanya sakti membangkitkan optimisme yang melimpah di Amerika, tetapi juga menjadi inspirasi sangat kuat bagi penduduk dunia. Di berbagai belahan penjuru dunia baik Barat maupun pun Timur, di negara-negara muslim, komunis atau liberal-sekuler muncul gejala obamamania, obama effect atau obamanomic. Gejala yang melawati batas-batas teritorial sebuah negara-bangsa ini, tidak serta merta ada dan menasbihkan Obama sebagai icon global tanpa pribadi inspiratif yang memancar dari aura kepribadian “The Hotest Global Idol” ini. Kini Obama sedang sibuk menyiapkan sebuah tim bernama “Proyek Transisi Obama-Biden” guna menyiapkan diri untuk mengendalikan Gedung Putih. Selain juga menyiapkan prosesi hari pelantikan 20 Januari 2009 yang diberi tema sarat nilai filosofis “A New Birth of Freedom”.

Kemenangan Multikultural

Mengapa kemenangan Obama disebut-sebut sebagai fenomena sejarah luar biasa dan inspiratif dalam politik Amerika dan juga dunia? Salah satu jawabannya tentu saja adalah Obama menandai sebuah babak baru politik Amerika berwajah multikultural. “Change we need” slogan kampanye Obama seolah menjadi penegas bahwa Amerika butuh perubahan. Sebuah perubahan dari Amerika yang arogan, bergaya cowboy ala George W Bush menjadi Amerika yang santun, menekankan pada keutuhan dan harmoni tidak saja di dalam negeri Amerika yang sedang mengalami sunami ekonomi, melainkan juga dengan negara-negara lain.
Mimpi Amerika untuk menghargai keberbedaan (unity in diversity) terpatri dalam prosesi kemanangan Obama. Informasi terkahir menunjukkan, warga kulit putih yang berjumlah 74 persen dari total pemilih, 43 persen diantaranya mendukung Obama. Warga kulit hitam yang berjumlah 13 persen dari pemilih, 95 persen mendukung Obama. Warga Hispanik yang berjumlah 9 persen dari pemilih, 67 persen mendukung Obama. Begitu pun dengan warga Amerika keturunan Asia yang mencapai 3 persen dari total pemilih, 62 persen dari mereka mendukung Obama.
Obama didukung oleh kurang lebih 56 persen perempuan AS sementara McCain 43 persen. Dukungan pemilih di bawah usia 30 tahun, 66 persen mendukung Obama 32 persen dukung McCain, dan 68 persen pemilih pemula memilih Obama sementara McCain hanya 31 persen. Informasi terakhir dari The Associated Press dan Edison Media Research, Rabu (5/11), Obama telah malampaui ketentuan minimum suara electoral college yang ditentukan yakni 270 suara, dengan mengumpulkan 349 suara dan kemungkinan masih bisa bertambah dari suara di Missouri dan North Carolina.
Dengan demikian pemilih kulit hitam, putih maupun kuning; warga pribumi maupun pendatang atau imigran, pemilih tua maupun muda dimenangi obama secara telak. Sebuah kemenangan yang menjadi pesan kuat bahwa Amerika telah memandatkan harapan akan perubahan meski sosok yang diberi mandat secara ras, etnis, warna kulit maupun usia jelas-jelas berbeda.

Soft Power Vs Warmongering

Babak pencitraan tentu saja akan segera berlalu dan akan berganti babak realitas politik yang sarat dengan masalah terutama berbagai krisis yang diwariskan dari dua periode pemerintahan Bush.
Satu diantara harapan besar yang digantungkan pada Obama adalah kebijakan menyangkut posisi Amerika di tengah bangsa lain di dunia. Sejumlah investasi masalah terutama menyangkut kebijakan unilateralisme Bush telah membuat citra Amerika terpuruk. Amerika di bawah kendali Bush sangat diwarnai semangat warmongering. Dalam komunikasi politik, istilah ini memiliki makna teror berbentuk propaganda yang menghembus-hembuskan perang. Ciri dominan yang dilakukan dalam propaganda ini, Bush sebagai propagandis kerapkali menggunakan sebutan-sebutan buruk pada lawan yang dituju untuk tujuan menjatuhkan. Kosakata “teroris” “evil” “penjahat demokrasi” mengalir deras dari berbagai kalimat Bush terutama setelah peristiwa WTC.
Disadari atau tidak Bush telah membangun relasi antagonistik antara Amerika dan kelompok-kelompok radikal seperti radikal Islam. Bush mengumandangkan semangat “suci” perang melawan terorisme dengan menegaskan Amerika sebagai kelompok putih penganut demokrasi, sementara kelompok radikal yang membencinya sebagai kelompok hitam, penganut anti demokrasi yang tidak perlu ditoleransi.
Warmongering ini dalam praktik Bush memang didominasi oleh teknik name calling. Yakni propaganda dengan memberikan ide atau label buruk. Tujuannya agar masyarakat internasional menolak atau meragukan kelompok dan negara yang diberi label tersebut. Bush misalnya melabeli Irak, Iran dan Korea Utara sebagai “poros kejahatan”. Tentu tujuannya untuk membatasi sekaligus menjatuhkan kredibilitas ketiga negara yang terkenal sebagai pembangkang kebijakan Bush.
Perang terhadap terorisme telah menempatkan Bush sebagai Cowboy dunia. Menyerang Irak, menguasai Afghanistan, memenjarakan orang-orang yang dianggapnya berbahaya di penjaran-penjara “siluman” serta merongrong dan menekan habis-habisan Iran. Pemerintahan Bush pernah mempopulerkan kebijakan carrot and stick. Memberi bantuan negara-negara yang mendukung Amerika, sekaligus memukul negara-negara yang tidak taat. Banyak negara yang dibuat ketakutan untuk ikut serta dalam proyek perang terhadap terorisme ala Bush ini. Sehingga, selama tongkat komando di pegang cowboy texas ini, angin perang berhembus kencang dan menciptakan kegelisahan warga dunia.
Kini, Obama menggenggam kekuasaan yang sah (legitimate power) hasil dari pemandatan yang dramatis. Saatnya obama membuktikan janji pendekatan Soft power yang selama ini membuat warga dunia memalingkan perhatian dan takzub kepadanya. Pendekatan soft power merupakan cara mendahulukan dialog, duduk bersama atau diplomasi untuk mengurai berbagai relasi antagonistik dengan pendekatan-pendekatan damai. Mengurangi cara-cara peragaan kekuasaan dan ancaman (coercion) serta menghindari penggunaan tekanan fisik (force).
Saat kampanye, Obama berjanji akan mengakhiri konflik di Irak dan Afghanistan, dengan cara menarik secara bertahap pasukan Amerika dari kedua negara tersebut. Janji lain, Obama akan mengembangkan dialog dengan Iran khususnya dan negara-negara Timur Tengah lainnya untuk mencari solusi dari berbagai persoalan yang mencuat di kawasan tersebut.
Pendekatan soft power yang nampak kuat tercermin dalam sosok dan pemikiran Obama telah menghantarkan Obama menjadi Idola baru dunia. Terlebih, jika Obama mampu mengimplementasikan kebijakan soft power-nya itu, maka tidak mustahil dia akan selalu dikenang sebagai sosok pahlawan multikultural, simbol pemersatu dunia sepanjang masa.

Selasa, 11 November 2008

HISTORISITAS BERJENJANG


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, Senin 10 November 2008)

Satu lagi putra terbaik dari Jawa Barat ditasbihkan sebagai Pahlawan Nasional dan dianugrahi Bintang Mahaputera Adhipradana oleh Presiden SBY, Jum’at (7/11). Sosok tersebut tak lain adalah KH. Abdul Halim (alm.) yang bersama-sama tokoh bangsa lainnya yakni Muhammad Natsir dan Soetomo (Bung Tomo) dimulyakan nama dan karyanya sebagai sosok yang sangat layak terpatri dalam sejarah sebagai pahlawan nasional. Meski, sebelum mereka dianugrahi gelar tersebut pun, di lubuk hati masyarakat yang terdalam, mereka telah menjadi bagian utuh dari cerita dan simbol kepahlawanan bangsa ini. Tentunya, simbol pahlawan yang disematkan dalam jiwa dan pengorbanan mereka, tak lahir secara instan apalagi melalui kekuatan represif sebuah rezim yang berkuasa, melainkan melalui historisitas yang berjenjang.

Proses Simbolik
Banyak pihak yang mengatakan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional bagi ketiga tokoh tadi terlambat. Namun jika dibaca dari sudut pandang berbeda, siapa pun orangnya, tatlaka dia mendedikasikan diri seutuhnya bagi negara dan bangsa tanpa pamrih, maka dia akan dicatat dengan tinta emas sebagai sosok pahlawan. Cepat atau lambat masyarakat sendiri yang akan menyadari bahwa dia adalah simbol pahlawan sejati.
Kekuatan rezim manapun tak akan sanggup menghapus ingatan masyarakat, penjara mana pun tak akan mampu membendung semangat kepahlawanan yang memancar dari diri mereka. Misalnya saja, Orde Baru menganggap Natsir sebagai tokoh yang tidak Pancasilais sekaligus pemberontak melalui Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tokoh Masyumi ini, dianggap berbahaya karena bermaksud mendirikan negara Islam. Padahal yang dicita-citakan Natsir sesungguhnya adalah negara atas dasar Syariah Islam, itu pun dengan catatan jika dikehendaki secara mayoritas. Begitu pun Bung Tomo, tokoh pertempuran 10 November 1945 ini, selama Orde Baru tidak dikehendaki sebagai pahlawan. Bahkan setelah masa reformasi pun, upaya menjadikan Bung Tomo sebagai pahlawan nyaris gagal. Tahun lalu kita masih ingat, upaya Gerakan Pemuda Anshor, DPRD Jawa Timur dan elemen masyarakat lainnya berujung kekecewaan karena Departemen Sosial ternyata tidak mengusulkan Bung Tomo mendapat gelar pahlawan. Saat itu, berbagai spanduk dijalanan seolah menjadi penanda paling nyata bahwa masyarakat benar-benar menghendaki Bung Tomo menjadi pahlawan mereka.
Kiprah KH. Abdul Halim tak diragukan dalam kontribusinya bagi bangsa dan negara. Tokoh yang lahir di Majalengka, Jawa Barat 26 Juni 1887 ini telah mendirikan Hayatul Qulub pada tahun 1912, yang dengan fokus membela para petani dan pedagang pribumi dari ketidakberdayaan. Mendirikan Persjarikatan Oelama (1917), menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertanggungjawab menyiapkan berbagai hal terkait dengan pembentukan negara. Jasa yang diapresiasi oleh pemerintah dalam penganugrahan gelar kepadanya pekan lalu adalah sebagai anggota Panitia Pembelaan Tanah Air.

Kiprah seorang pahlawan bisa saja dimanipulasi lewat versi sejarah yang bias, atau direduksi melalui berbagai media, tapi kenyataan sejatinya tak akan mampu menghapus proses simbolik yang ada dimasyarakat. Contoh lain, Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Franklin Delano Roosevelt, merupakan bukti bahwa keikhlasan tak bisa mati karena dipenjarakan, disakiti atau pun disudutkan dalam rentang waktu yang panjang.
Simbol pahlwan ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbolisme menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis. Karya, perjuangan, pengorbanan yang terus menerus bagi bangsa dan negara merupakan prasyarat simbolisme pahlawan melekat pada diri seseorang. Menurut Deddy Mulyana (2000), simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Dengan demikian kata kunci menjadi pahlawan adalah historisitas berjenjang atau prosesi mendedikasikan setiap penggal perjalanan hidupanya secara konsisten untuk bangsa dan negara. Sehingga, masyarakat di negara itu akan bersepakat untuk mentasbihkan diri seseorang sebagai Pahlawan.

Pahlawan Kontemporer
Sejarah belum berkahir, lembaran kehidupan terus bergulir seiiring dengan dinamisasi waktu dan persoalan. Kini kian banyak orang yang mencitrakan dirinya seolah menjadi pahlawan. Ada yang tanpa ragu-ragu menyebut dirinya pemimpin para petani dan pedagang kecil meski pun dia tidak pernah merasakan sakitnya menjadi petani dan pedagang kecil yang terpinggirkan. Ada juga yang mengaku bagian dari “wong cilik” meski saat diberi kesempatan memimpin ternyata menyengsarakan mereka. Melalui berbagai instrumen industri pencitraan, banyak tokoh nasional kita yang harus membayar mahal untuk menjadi pemimpin. Membeli slot iklan di media massa, menyewa konsultan politik, melakukan riset pemilih, menentukan segmentasi khalayak dan hal-hal lain sebagai bagian dari maketing politik.
Menurut pakar Komunikasi Politik, Dan Nimmo (1993), bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu.
Harapan masyarakat tentunya adalah kiprah tulus tanpa pamrih dari seorang pemimpin untuk berjuang secara konsisten dengan kekuatan yang dimilikinya. Dia berjuang bukan karena menghadapi Pemilu, melainkan dalam rentang historisitas berjenjang perjalanan hidupnya. Tanpa harus memproklamirkan diri menjadi pahlawan pun, masyarakat akan dengan sukarela mamandatkan kepemimpinan di pundaknya. Sekali pun tidak merengkuh jabatan formal, maka dia akan hidup di hati sanubari khalayak luas. Sehingga, suatu hari nanti dia akan dikenang sebagai pahlawan, meski pahlawan tanpa anugrah tanda jasa sekali pun.