Selasa, 25 November 2008

MENYELEKSI TAYANGAN LAYAR KACA


Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Koran Jakarta, Sabtu 22 November 2008)

Di banyak diskusi terbatas tentang isi media, sudah jauh-jauh hari program andalan Trans7 “Empat Mata”, yang menghadirkan komedian Tukul Arwana sebagai host diprediksi akan dihentikan tayangannya. Ternyata terbukti, sejak Selasa (4/11/08) malam, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menghentikan penayangan program tersebut. Puncak dari pelanggaran “Empat Mata” yang dalam versi KPI tak lagi bisa ditolerir adalah episode 29 Oktober 2008, saat “Empat Mata” menghadirkan Sumanto dan seorang tamu lain yang mempraktikkan bagaimana ia makan kodok hidup-hidup. Dialog dan juga berbagai adegan selama episode tersebut, dianggap sebagai “tayangan yang tidak pantas untuk ditampilkan”.
Aturan Penyiaran
Sebenarnya, sebelum program yang menonjolakan lawakan bercitarasa tukul ini dihentikan, KPI telah memberikan teguran sebanyak tiga kali terhadap tayangan tersebut. Teguran dilayangkan pada 5 Mei 2007, 27 September 2007 serta 25 Agustus 2008 terkait banyak dialog dan adegan yang tidak layak menurut Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Memang, program ini digemari banyak penonton, sehingga begitu kuat percaya diri yang dimiliki oleh pengelola program untuk membiarkan Tukul Sang Komedian mengekplorasi tingkah-polahnya meski kerap menyerempet aturan main dunia penyiaran yang telah disepakati.
Dialog dan adegan Tukul beserta pendukungnya kerapkali tak teredit, terutama di episode-episode yang live. Dialog eksplisit kasar, terkadang menghina fisik secara ekspresif, beberapa kali juga merendahkan martabat manusia seperti memperlakukan diri Tukul atau yang lain sebagai binatang, dan menstimulasi kekerasan verbal seperti kata “tak sobek-sobek!”. Meski semua itu dalam konteks banyolan khas katro-nya tukul, tapi di masyarakat berkembang seperti Indonesia, justru hal-hal tersebut biasanya akan sangat kuat pengaruhnya untuk ditiru sehingga menjadikan hal yang tak pantas tersebut sebagai sesuatu yang lumrah.
Pasal 48 UU no.32 tahun 2002 telah mengamanatkan adanya Pedoman Perilaku Penyiaran, yang diantaranya harus mengatur standar kesopanan dan kesusilaan, pembatasan adegan seks, kekerasan dan sadisme. Sehingga, sudah tepat jika KPI dalam pleno mereka untuk memutuskan mengapa “Empat Mata” melanggar, merujuk pada P3-SPS.
Dalam P3-SPS Pasal 28 ayat 3 berbunyi, “lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program dan promo program yang mengandung adegan di luar perikemanusiaan atau sadistis”. Sementara di ayat 4 pasal yang sama berbunyi, "Lembaga penyiaran televisi dilarang menyajikan program yang dapat dipersepsikan sebagai mengagung-agungkan kekerasan atau menjustifikasi kekerasan sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari".
Dengan demikian, melumrahkan segala bentuk kekerasan melalui ranah siaran media televisi jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran. Tidak hanya kekerasan dalam prilaku tetapi juga ucapan-ucapan verbal yang menstimulasi khalayak membiasakan kekerasan verbalistik. Sebenarnya tidak hanya acara “Empat Mata” apa pun programnya jika melanggar aturan penyiaran harus dihentikan penayangannya. Hal ini bukan berarti pemberangusan media, melainkan melindungi khalayak dari isi media massa yang tak berkualitas.
Kita sudah memiliki regulasi penyiaran yang lumayan memadai, hanya implementasinya hingga kini terkesan masih kurang tegas. Padahal sesungguhnya regulasi itu penting untuk memaksimalkan peran dunia penyiaran di tengah masyarakat. Mike Feintuck dalam bukunya Media Regulation, Public Interest and The Law (1998) menulis, dewasa ini regulasi penyiaran perlu mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku dan isi. Regulasi struktur mengatur pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi berkaitan dengan batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Etika Media
Sebelum “Empat Mata” kita juga ingat KPI pernah menghentikan tayangan smack down di stasiun Lativi pada 29 November 2006. Sederet program sejenis smack down seperti After burn, Raw, Bottomline, Heat, Experience, Extreme Championship Wrestling yang merupakan produksi World Wrestling Entertainment (WWE) dulu melenggang bebas menghampiri publik. Setelah kasus pelarangan smack down di Lativi ini, acara-acara sejenis menghilang dari peredaran. Namun, akhir-akhir ini, gejalanya ada upaya dari pengelola stasiun televisi untuk menghidupkan kembali demam gulat-gulatan atau banting-bantingan, misalnya tayangan ala Gladiator yang siap disuguhkan ke khalayak, mungkin sambil mengetes ingatan khalayak yang biasanya cepat lupa bahwa acara-acara sejenis itu pernah dilarang.
Program di televisi entah itu reality show, news, talk show atau lain-lain harus disadari dapat berpotensi menimbulkan efek peniruan atau imitasi. Oleh karenanya, media massa jangan sampai menstimulasi atau menjadi katalisator lahirnya efek negatif terutama menyangkut kejahatan yang bertolak dari potensi alamiah manusia untuk meniru apa-apa yang disaksikan atau diperolehnya dari media massa.
Gabrial Tarde (1903) seorang sosiolog memiliki pandangan bahwa setiap orang memiliki kecenderungan yang kuat untuk menyamai atau melebihi tindakan orang di sekitarnya. Bukti kongkritnya adalah kejatahan mutilasi yang di lakukan oleh seorang istri terhadap suaminya yang bernam Hendra belakangan ini. Ternyata, inspirasi untuk memutilasi muncul dari prosesi pembantaian yang dilakukan oleh Ryan melalui tayangan televisi yang ditontonnya. Realitas simbolik kekerasaan tentang Ryan yang ditampilkan media massa, telah jauh melewati makna sebuah berita sebagai sumber informasi yang positif, melainkan telah menjadi medium yang mewartakan simulasi kekerasan secara detail untuk ditiru.
Media massa seyogyanya kembali memikirkan etika. Terutama senantiasa berhati-hati untuk tidak melakukan “Seven Deadly Sins”. Ketujuh dosa mematikan bagi meda massa itu adalah eksploitasi kekerasan, eksploitasi anak di bawah umur, menstimulasi pencabulan, dramatisasi fakta palsu, penyalahgunaan wewenang (abuse of power), melakukan penghakiman oleh pers (trial by the press), serta menghembus-hembuskan konflik SARA. Tingkat information literacy yang ada di masyarakat Indonesia masih rendah, sehingga media mesti benar-benar melindungi hak-hak publik untuk mendapatkan isi media yang berkualitas.

Tidak ada komentar: