Sabtu, 03 Agustus 2013

Prime Time Talkshow: Presiden Tidak Fokus Part-2


Prime Time Talkshow: Presiden Tidak Fokus


Membangun Moralitas Politik

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 2/8/2013)

Selama Ramadhan, hampir tak ada ruang publik yang luput dari terpaan pemasaran politik baik dari partai, calon anggota legislatif (caleg), maupun calon presiden (capres).  Media tempat narsis para politisi pun kian beragam mulai dari layar kaca, spanduk dan baliho di jalanan hingga media sosial. Satu hal yang nampak seragam dari publisitas politik mereka sepanjang Ramadhan kali ini, yakni membangun kesan saleh! Tentu, lengkap dengan segala atribut dramaturginya.

Otentisitas Politik

Moralitas ala naskah atau script diusung para politisi dan pertontonkan di berbagai media. Sebenarnya, sah-sah saja mereka melakukan itu semua. Hanya masalahnya, para politisi itu kerap lupa bahwa reputasi itu historis. Otentisitas kesalehan mereka sudah dicatat secara baik oleh berbagai media dan masyarakat. Wajar, jika banyak orang nyinyir bahkan tertawa meledek saat ada capres atau caleg yang tampilan simboliknya “mendadak saleh” dan berbeda 180 derajat dengan rekam jejak mereka sehari-hari. 

Sudah lama para politisi negeri ini tak lagi membangun diskursus publik melalui sentuhan berpikir dan berinteraksi yang mencerahkan. Terlalu banyak hal praksis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang telah menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam peradaban. Penandanya, bentuk rasionalitas yang menindas sudah sangat mewabah bahkan menjadi bagian utuh totalitas historis atau apa yang diistilahkan Jurgen Habermas  sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) .
  
Berbagai rasionalisasi atas hasrat politik telah aktual bahkan mendominasi rasionalitas masyarakat yang diistilahkan Herbert Marcuse sebagai rasionalitas teknologis atau dalam kritik Max Horkheimer sebagai rasio instrumental. Para elit berjalan sesuai kehendaknya, sambil sibuk merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka agar mapan menjadi tindakan sosial yang bisa diterima masyarakat.  

Ramadhan ini, seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan asketisme politik di antara para politisi.  Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satu tujuannya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks berpikir Habermas tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis yakni kerja dan interaksi.

Jika menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam konteks politik Indonesia kekinian, nampak ada dominasi yang sangat kuat dari hasrat politik rendah (low politic). Politik hanya menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan kapan, tanpa tergerak melakukan pencerahan. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah zweckrationalitat atau rasionalitas-tujuan. Karakteristik menonjol dari rasionalitas ini, lebih mementingkan cara-cara mencapai tujuan, sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran.

Jika asketisme politik ini hendak direalisasikan tentu tindakan politik para politisi kita jangan mengacu pada rasionalitas-tujuan melainkan harus menjadikan wertrationalitat atau rasionalitas-bernilai sebagai soko guru tindakan. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius. Berpolitik yang asketis berarti menjadikan politik lebih santun, beretika dan mengedepankan kebermanfaatannya untuk khalayak luas. Namun mungkinkah asketisme politik ini bisa diimplementasikan di dalam kehidupan politik kita? Muncul pesimisme bahkan ada yang mengatakan hal tersebut sebagai utopia di tengah carut-marut persoalan yang membentang dari hulu ke hilir. Meski sesungguhnya, asketisme politik ini merupakan satu di antara landasan penting dalam masyarakat dan negara yang berkesejahteraan.
 
Tantangan

Asketisme politik memang tak mudah direalisasikan, meskipun bukan hal mustahil. Tantangan paling nyata ada pada sosok para politisi dan lembaga politik yang saat ini telah tercemar residu politik rendahan. Paling tidak ada beberapa langkah yang bisa menghadirkan asketisme dalam politik Indonesia kekinian.

Pertama, para politisi harus mampu menempatkan kepekaan untuk mendengar denyut suara masyarakat. Jangan memaksakan opini mereka secara arogan di puncak hirarki opini publik. Kini, betapa banyaknya arogansi opini elit sekaligus sentralisasi respek hanya di antara mereka, dengan menihilkan suara dan respek masyarakat. Misalnya, partai sibuk mencari logistik Pemilu dengan mengkapitalisasi beragama akses. Selama lima tahun mereka tidak mengoptimalkan diri bahkan terkesan asik menikmati beragam hak khusus yang melekat pada mereka sebagai elite. Jika pun mereka menginisiasi program atau advokasi ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan insentif elektoral semata. Buka tutup kasus elite terjadi, tetapi hasil akhirnya kerap menciderai harapan publik karena berakhir dengan kesepakatan di balik meja para “cukong” partai!  
 
Kedua, asketisme politik bisa hadir melalui kaderisasi politik yang sistemik dan berkelanjutan. Saat ini, fenomenanya hampir seragam, semua partai hanya peduli pada saat harus mendulang suara banyak dalam perhelatan Pemilu. Dengan demikian, partai bukan tempat menetaskan kader-kader terbaik melainkan mengerami para oportunis dan politisi pragmatis yang berkesadaran teknokratis. Untuk mendukung munculnya asketisme politik, dibutuhkan tindakan komunikatif.  Istilah yang oleh Habermas dipahami sebagai tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasarkan hubungan timbal-balik di antara partai dengan kadernya. Partai sebaiknya menjadi pembentuk sekaligus penyuplai kader yang berpikir dan bertindak asketis, bukan sebaliknya menjadi penyedia para drakula  penghisap dana rakyat.

Ketiga, politisi dan partai politik dituntut untuk memiliki sistem evaluasi kelembagaan yang kuat. Kebergantungan organisasi pada segelintir elite bisa menyebabkan mapannya oligarki di tubuh partai. Begitu pun sentralisasi kuasa pada diri seseorang akan menyebabkan subordinasi sistem di bawah figur. Kuatnya sistem dibutuhkan untuk menegakkan mekanisme check and balance sehingga organisasi akan sehat dan diisi oleh orang-orang yang taat pada mekanisme aturan. Jika sistem sudah terbangun dengan baik, maka terbuka peluang untuk memperbaiki orang-orang yang melekat dengan sistem tersebut. Saat partai mejadi hutan rimba dan membebaskan warganya melakukan manuver meskipun merusak bangsa dan negara, maka harapan akan perbaikan bangsa ini hanya aka nada di level wacana.

Sudah sepatutnya momentum keagamaan itu bukan menghadirkan kepalsuan tetapi otentisitas prilaku, bukan kerakusan dan ketamakan tetapi sikap asketis. Indonesia kekinian butuh sosok pemimpin transformatif yang berani menunjukkan politik otentik dan mengambil resiko untuk menjadi subjek radikal guna perubahan ke arah yang lebih baik. ***

Etalase Citra Demokrat

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 2/8/2013)

Mesin pemenangan pemilu 2014 sudah dipanaskan Partai Demokrat. Program prestisius bernama konvensi sudah diluncurkan secara resmi oleh SBY bertepatan dengan sosialisasi tujuh aturan pokok konvensi, Minggu (7/7). Manuver Demokrat di bawah SBY ini patut diapresiasi sekaligus dikritisi terutama dalam konteks keseriusan penyelenggaraannya. Benarkah Demokrat menjadikan konvensi ini sebagai mekanisme pelembagaan politik ataukah hanya sekedar simulasi realitas guna mendongkrak elektabilitas?


Membaca Konteks

Tak salah jika banyak pihak ragu dan curiga dengan penyelenggaraan konvensi Demokrat. Bagaimanapun tindakan politik selalu ditafsirkan berdasarkan konteks dinamisnya. Paling tidak, ada dua konteks yang secara mudah dilihat dan dilekatkan publik pada persepsi mereka saat membaca manuver konvensi ini.


Pertama, konvensi Demokrat muncul bukan dalam kealamiahan pelembagaan politik di internal partai. Penandanya adalah konvensi ini tidak sedari awal dirumuskan sebagai mekanisme demokratisasi internal partai. Jika konvensi ini diletakkan sebagai kanalisasi sumberdaya, sudah pasti di Konggres Bandung pada tahun 2010 atau minimal di Konggres Luar Biasa (KLB) Bali pada Maret 2013 akan menjadi salah satu “menu” bahasan penting secara organisasional.  Dengan demikian, konvensi baru diposisikan sebagai jalan keluar (exit strategy) dari keterpurukan elektabilitas partai bentukan SBY ini. Di level ini, penyelenggaraan konvensi Demokrat memiliki kesamaan latarbelakang dengan konvensi Golkar di 2004. 


Kedua, terjadinya krisis figur kuat Demokrat setelah era SBY. Pemilu 2004 dan 2009 menjadi era keemasan Demokrat karena partai ini memiliki “magnet” figur siap jual di pasar pemilih yakni SBY. Kini, belum ada sosok mumpuni untuk menjadi “petarung” Demokrat di pilpres 2014. Krisis figur ini diperparah dengan hubungan antagonistik kubu Cikeas dengan Kubu Anas beberapa waktu lalu. Sehingga dirumuskan “skenario” cerita berbeda dalam permainan peran mereka untuk Pemilu 2014. Konvensi bisa kita maknai sebagai salah satu stok cerita dari drama panjang Demokrat jelang perhelatan pemilu lima tahunan. 


Keuntungan Politik

Terlepas dari skeptisme kita pada konvensi gaya Demokrat, sesungguhnya kemauan partai menggunakan konvensi untuk mencari figur capres patut kita hargai. Konvensi penting untuk dilembagakan di tubuh partai politik di Indonesia agar mekanisme pencapresan tidak berlangsung oligarkis dan feodal. Dalam tradisi politik kita, siapapun yang menjadi ketua umum partai seolah punya “hak khusus” untuk melenggang menjadi capres. Padahal idealnya, ketua umum dan sekjen partai seharusnya menjadi orang-orang yang fokus mengurusi partai dan tak tergoda untuk menggandakan loyalitasnya pada dua atau lebih jabatan lain.  


Dari sudut pendekatan public relations politik dan publisitas politik penyelenggara konvensi akan menuai keuntungan politik. Kita bisa menengok pengalaman sebelumnya saat Golkar menyelenggarakan konvensi di 2004. Sejumlah nama populer masuk mendaftarkan diri antaralain Nurcholish Madjid, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Hamengkubuwono X dan Agum Gumelar. Di penghujung cerita tepatnya Rabu 21 April 2004 Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan Akbar Tanjung. Meskipun Wiranto sendiri kalah saat pemilu presiden lawan SBY, tapi yang pasti, Golkar mengantongi kemenangan pemilu legislatif dengan perolehan suara 21,58 persen. Salah satu penyumbang citra positif Golkar saat itu tentunya adalah konvensi. Memang tak sedikit yang mengkritik model konvensi Golkar sebagai konvensi yang rawan terjadinya praktik money politic. Sekali lagi, terlepas dari plus minusnya penyelenggaraan konvensi tersebut, fakta politiknya konvensi turut member insentif elektoral terutama bagi partai penyelenggaranya.


Secara normatif, konvensi menguntungkan dalam tiga hal. Pertama, partai penyelenggara konvensi memiliki momentum membangun relasi politik dengan publik. Fokus pendekatan ini pada proses identifikasi, pencarian dan pengaturan hubungan dengan tokoh-tokoh kunci (key persons) dan bisa membentuk citra kekinian yang positif. Caranya, partai menyerap energi kreatif dari sejumlah figur yang dikenal publik dan memiliki reputasi untuk memperbaiki persepsi pemilih dari antipati ke netral ke positif. Oleh karenanya, konvensi mensyaratkan sejumlah figur yang terlibat sebagai kandidat adalah orang-orang yang punya kapasitas, profesionalitas dan modal sosial  berbentuk trust.


Kedua, penyelenggara punya kesempatan mempraktikkan pendekatan grunigian. Inti pendekatan ini, partai bisa menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) antara organisasi dengan publik internal dan eksternalnya. Ke dalam, konvensi berpeluang menciptakan kohesivitas,  ke luar bisa menjadi jembatan untuk membangun good will dan understanding. Menurut Grunig dan Hunt dalam dalam bukunya Managing Public Relations (1984), tindakan pokoknya adalah bagaimana mengembangkan mutual benefit (keuntungan bersama). Tentu konvensi akan “dijual” citranya sebagai terobosan penting dalam konteks pelembagaan politik partai di Indonesia.

Ketiga, menjadi momentum hype politik. Pendekatan ini biasanya dengan mudah bisa memanfaatkan publisitas di media massa. Sebagai contoh konvensi Demokrat yang secara praktis akan digelar selama delapan bulan yakni dari September 2013 hingga April 2014. Selama rentang waktu tersebut, Demokrat bisa melakukan free ride publicity melalui isu konvensi. Akan muncul “panggung” bagi Demokrat melalui reportase dan sejumlah talkshow di berbagai media. Ini menjadi sangat berarti dalam pengelolaan opini publik. Merujuk pada pendapat Alexis S Tan, dalam Mass Communication Theories and Research (1991), bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Dua tahapan konvensi Demokrat September-Desember 2013 serta Januari-April 2014 bisa dikapitalisasi sebagai momentum politik Demokrat.


Catatan Kritis


Ketiga keuntungan tadi sesungguhnya baru menjadi potensi keuntungan bagi pihak Demokrat. Dalam bahasa lain, konvensi menjadi instrumen manajemen reputasi politik. Lantas publik dapat apa? Di situlah letak kritisisme yang harus dibangun oleh masyarakat. Kita jangan terkecoh oleh kemasan wah bernama konvensi Demokrat! Terlebih model konvensi yang digunakan Demokrat adalah mirip-mirip reality show. Seluruh peserta konvensi akan bersama-sama dipajang di etalase bernama konvensi. Publik bisa melihat dan berpartisipasi melalui sejumlah suara yang disurvei. Dalam industri media, meminjam terminologi Denis McQuail, model ini dikenal sebagai model ekspresi. Yakni khalayak diperkenalkan pada suatu program dan mereka seintensif mungkin dilibatkan secara psikologis sehingga bisa muncul kepuasan bersama.


Etalase citra itu harus diposisikan tidak berlebihan, bahkan perlu kehati-hatian terutama bagi konsumen dan “pemasok produk” yang akan mengisi etalase. Bagi kandidat yang akan bertarung di konvensi, mereka harus memastikan terlebih dahulu bahwa prosedur dan aturan mainnya jelas, transparan dan akuntabel. Jangan sampai terjebak pada permainan politik yang hanya menjadikan mereka sebagai objek pelengkap penderita atau pemeran figuran di alur cerita setingan. Bagi pemilih yang akan menjadi konsumen dalam pemilu jangan mudah termanipulasi oleh realitas pulasan. Jika konvensi penuh kepura-puraan maka kita bisa melabeli etalase tersebut dengan tulisan besar “kepalsuan yang otentik!”. **

"Netizen", Ruang Publik dan Eksistensi Pemerintahan SBY

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 11/7/2013)

Akhir-akhir ini, SBY kian rajin menebar jejaring di dunia virtual. Setelah Twitter, kini SBY juga mulai menggunakan Facebook, YouTube dan beraktivitas menggunakan fasilitas Google Hangout. Data terakhir, Selasa (9/13), akun Twitter @SBYudhoyono sudah memiliki 2,7 juta followers. Pentingkah SBY bermedia sosial?
  
Terlepas dari apapun motif SBY untuk membuka diri di media sosial, langkahnya tetap patut diapresiasi. Selama ini, mapan terpola citra SBY yang elitis dan berjarak dari rakyat. Sepertinya, melalui jejaring sosial ini SBY ingin sedikit menggeser kesan publik yang elitis tadi menjadi populis. Meskipun, dari sudut kepentingan lebih besar yakni reputasi kepemimpinan dan eksistensi pemerintahan SBY tak akan mengubah banyak hal. Bahkan, penggunaan media sosial sebagai saluran komunikasi politik sangat terlambat dimanfaatkan SBY. 
   
Pemanfaatan media sosial ini memang menjadi keniscayaan dalam praktik komunikasi politik modern. Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication (2009) menyebut saat ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.

Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal. Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media arus utama (mainstream) seperti tv, koran, radio, majalah dan lain-lain. Sementara generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Inilah yang disebut era media baru.

Dalam beragam situasi, para netizen tidak hanya berbagi pesan, tetapi juga menjadikan internet sebagai ruang publik baru (new public sphere). Terlebih,  setelah terjadinya tren web 2.0 yang memperbaharui kelemahan-kelemahan web 1.0 dalam konteks distribusi pesan secara lebih interaktif.  

Dukungan teknologi seperti Bulletin Board Systems (BBSs) Text Chat, Multi-User Domain or Dungeons (MUDs), Graphical Worlds dll, telah mengubah komunikasi statis menjadi lebih dinamis. Di Indonesia sendiri, menurut data internetworldstats.com pada 30 Juni 2012 pengguna internet sudah mencapai angka 55 juta. Artinya pengguna internet yang oleh akademisi dari Columbia University Michael Hauben disebut sebagai warga internet (a net citizen), sudah bisa digunakan sebagai komunitas-komunitas potensial bukan hanya di ranah bisnis melainkan juga politik. Misalnya komunitas virtual bisa menjadi pengontrol atau kekuatan penekan (pressure group).

Contoh kongkrit gerakan #SAVEKPK di Twitter, Koin untuk Prita dan Gerakan Cicak vs Buaya di Facebook. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan, jika dikelola secara baik dan memiliki interaksi yang intensif, komunitas virtual bisa mendukung dan menggerakan orang di dunia nyata. Fenomena inilah, yang jika meminjam istilah Ernest Bormann (1985), disebut sebagai konvergensi simbolik dimana orang berinteraksi dan berbagi kesadaran bersama melalui cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.

Kalau diidentifikasi dalam perspektif komunikasi politik, netizen itu terbagi menjadi empat tipologi. Pertama, disseminator biasanya  menyebar informasi harian, polanya berbagi dan terkoneksi satu sama lain dengan tujuan agar  ide, ajakan atau sikapnya diketahui dan bisa diikuti orang lain. Kedua, publicist biasanya mengkonstruksi citra positif untuk tujuan popularitas dalam kontestasi politik misalnya pemasaran politik melalui media sosial. Ketiga, propagandist yang senantiasa mempraktikkan teknik-teknik propaganda guna kepentingan delegitimasi lawan sekaligus memperkuat legitimasi dirinya lewat internet. Keempat, hactivist yang aktivitas utamanya adalah meretas dan membobol akun, situs maupun informasi berbasis internet lainnya. Ada yang meretas dan membobol untuk tujuan kejahatan, mencari sensasi, tujuan intelejen dan juga sebagai ekspresi protes para aktivis cyberdemocracy seperti dilakukan wikileaks.

Mampukah SBY menjadikan media sosialnya sebagai alat komunikasi dengan warga? Sangat tergantung pada peran SBY sendiri sebagai Netizen. Jika tetap dengan gayanya yang formal, linear, subordinatif tentu SBY akan gagal menjadikan media sosial sebagai saluran komunikasi efektif. SBY harus benar-benar menyadari, media sosial itu fleksibel, antar netizen sederajat dan tidak berbatas (borderless).

Hal lain yang menjadi kunci utama media sosial adalah interaktivitas di antara netizen. Kegagalan memahami karakteristik tersebut, menyebabkan media sosial milik SBY lebih bercitarasa media konvensional yang membosankan! Saat ini, merupakan fase akhir jabatan SBY sebagai presiden, sehingga sangat penting bagi SBY membuat semacam pra kondisi yang memungkinkan dia untuk siap kembali menjadi warga biasa (lagi). Media jejaring sosial bisa dimanfaatkan SBY untuk menyingkap sisi lain dirinya di tengah gersangnya gaya kepemimpinan dia selama ini. Syukur-syukur kalau SBY bisa beradaptasi dan menjadikan media sosial sebagai ruang publik baru yang bermanfaat. ***  

Sandera Politik Koalisi Semu

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Media Indonesia, 10 Juni 2013)

Manuver Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak rencana kenaikan harga BBM kembali menghadirkan polemik seputar efektivitas koalisi pemerintahan yang dinahkodai SBY. Untuk kesekian kalinya, publik memaknai SBY “tersandera” oleh koalisi semu yang selalu dipertahankan olehnya atas nama politik harmoni dan perimbangan peta kekuatan nyata di DPR. Indikatornya, mitra koalisi yang jelas-jelas bersebrangan dengan SBY dan kebijakan strategis pemerintahannya pun dibiarkan melenggang menjalankan modus permainan politik mereka. Menarik mencermati apa sesungguhnya masalah mendasar dalam pola koalisi penyokong kekuasaan SBY tersebut.

Manuver PKS

Banjir spanduk di jalanan serta komentar elite PKS di berbagai media menunjukkan adanya keberanian dan kenekatan PKS untuk vis-a-vis dengan mitra utamanya yakni SBY dan Partai Demokrat. Benarkah PKS konsisten menolak kenaikan BBM ataukah mereka sedang melakukan simulasi realitas sekaligus manipulasi psikologis khalayak dalam konteks manajemen isu dan manajemen konflik? Dalam waktu dekat, publik akan mengetahui sikap resmi PKS atas rencana kenaikan BBM tersebut. Sehingga, kita bisa mengevaluasi konsisten tidaknya PKS atas pilihan dan sikap politik mereka.

Posisi PKS memang sangat dilematis bagi SBY. Jika PKS dikeluarkan berpotensi menjadi masalah baru, tetapi jika pun dibiarkan akan menjadi preseden buruk bagi kohesivitas mitra koalisi. Segala kemungkinan masih bisa terjadi dan sangat bergantung pada berbagai kalkulasi politik SBY di fase akhir kekuasaannya. SBY punya obsesi melakukan soft-landing di 2014. Dia tak ingin adanya turbulensi  yang bisa mengancam keselamatan diri dan reputasi politik yang sudah dibangunnya selama ini. 

PKS menyadari benar, bahwa mereka memiliki posisi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski Golkar dan PKS sama-sama dalam kekuasaan, tetapi keduanya  kerakali memiliki agenda politik sendiri-sendiri. SBY sadar benar,  modal 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan mitra koalisi di DPR itu hanyalah bersifat semu, dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106 kursi (18,93 persen) dan PKS 57 kursi (10,18 persen) merupakan kursi-kursi panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya. Sehingga,  tarik ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting bagi SBY.  


Jika dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain saat bisa saja Golkar bersebrangan sehingga posisi PKS menjadi strategis untuk perimbangan kekuatan, mirip sais kuda yang bisa ditarik dan diulur sesuai kebutuhan kusirnya.  Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46 kursi (8,21 persen), PPP 38 kursi (6,79 persen) dan PKB 28 kursi (5 persen), tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opsi C di paripurna DPR. Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY.

Jika PKS ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menginisiasi permainan yang diinginkannya. Kenaikan BBM belum menjadi “lembar penutup” dari eksistensi pemerintahan SBY. Masih ada kasus Century,  Hambalang, dan sejumlah kebijakan strategis milik pemerintah yang membutuhkan dukungan DPR di fase akhir kepemimpinan SBY. Dia tentu saja tak ingin memiliki  ketergantungan kuat pada Golkar, sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan pilihannya ada di PKS, meski sikap PKS juga kerap menjadi buah simalakama.

Hal lain yang dikalkulasi SBY adalah kapitalisasi isu jika PKS ditendang dari koalisi. PKS menyadari, jika dikeluarkan maka mereka bisa membangun pencitraan sebagai pihak yang didolimi karena perjuangan mereka menolak kenaikan BBM. Artinya,  PKS pasti akan mengidentifikasi diri mereka sebagai simbol perlawanan terhadap rezim SBY. Dengan demikian, PKS kemungkinannya akan tetap bertahan di koalisi hingga diturunkannya “talak tiga” oleh SBY. Jika PKS secara sukarela keluar dari koalisi, tentu opini akan landai dan mereka tak bisa mengail publisitas politik di tengah isu strategis tersebut.

Kekeliruan Mendasar

Sedari awal,  kekuasaan SBY memang dibangun dengan modal investasi politik dari sekelompok partai berpola oligarki. Meski mengantongi 60,85 persen suara pemilih,  SBY tetaplah presiden yang tersandera politik representasi. Meski hak prerogatif berada dalam genggaman SBY, susungguhnya kekuasaan dipertukarkan dalam skema politik harmoni berbasis kepentingan partai. Sejumlah kasus hukum dan pengambilan kebijakan menjadi penanda nyata, bahwa masing-masing pihak yang menjadi investor politik dalam kekuasaan KIB II bukan fokus pada optimalisasi peran menyukseskan pemerintahan, melainkan pada tawar-menawar posisi dalam kekuasaan.

Sejak KIB II bergulir 22 Oktober 2009, sudah diprediksi laju pemerintahan SBY tak akan lebih baik dari periode pertamanya. Bukan karena kurangnya modal politik SBY, tetapi lebih pada distribusi dan alokasi kekuasaan yang tak mendukung efektivitas kinerja. Mitra koalisi setengah hati yang merasa berjasa dan menjadi investor politik justru menjadi pangkal utama persoalan. Relasi kuasa SBY dengan para mitra koalisi berjalan liar, keras, menyandera performa sekaligus menggerus produktivitas pemerintahan.

Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat ini. Pertama, adalah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem presidensialisme. Dinamika multipartai ekstrim di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme. Idealnya, dalam presidensialisme basis legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari perlemen. Presiden diberi hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden sebagai pemimpin tertinggi eksekutif. Namun  praktiknya berbeda 180 derajat. 

Siapapun presiden di Indonesia akan mengalami situasi pelik,  mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa berada dalam labirin kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk mempertahankan kekuasaan adalah  membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan idealitas pembentukan zaken kabinet karena dianggap utopia. Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan pun kerap mendapatkan fakta berbeda, karena justru koalisi menjadi beban bahkan sandra politik yang efektif.  

Masalah kedua adalah leadership SBY. Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa mengedepankan soft-strategy, politik harmoni dan meminimalisir ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (unxiety). Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Presiden kerap tersandera untuk menyelaraskan basis dukungan para mitra. Terlebih, jika mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bergaining position atas celah-celah kelemahan masing-masing. Mitra koalisi disibukkan dengan beragam strategi saling mengunci masing-masing pihak agar kepentingan politik mereka aman dan tidak disentuh. Jika pun tetap disentuh akan dibarter dengan kasus atau momentum tekanan lain.

Jika melihat benang merah sikap SBY, rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan adanya kohesivitas politik. Hal ini, menyebabkan kuatnya batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998) batasan afiliatif berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil resiko. Keengganan mengambil resiko ini, menyebabkan SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali memilih jalan tak beresiko, maka kemungkinan posisi PKS akan aman tetap berada dalam kekuasaan.

Demokrasi Kolusif

Pola koalisi seperti yang dipraktikkan sekarang sesungguhnya hanya akan meneguhkan praktik demokrasi kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporannya yang berjudul "SBY's Feet of Clay" mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation telah mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.

Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif  nampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini memiliki residu yakni aliansi politik yang tidak pernah mapan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kita kerap mendapatkan prilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Koalisi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya, pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan dengan berbagai pilihan strategi  kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Terlepas dari substansi tepat tidanya kenaikan BBM, publik saat ini sedang mengamati konsistensi sikap para elite politik di partai maupun di birokrasi pemerintahan. Jika SBY dan PKS sudah tak lagi nyaman dalam perahu yang sama seharusnya ada ketegasan dari kedua belah  pihak untuk berpisah secara baik-baik. Selain itu, koalisi ke depan juga harusnya dipolakan sebagai koalisi substantif berdasarkan kesamaan garis perjuangan partai bukan mekanisme abal-abal yang saling menyandera dan merugikan rakyat banyak! ***

Membaca Manuver PKS

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 8/6/2013)

Jika kita menyusuri jalanan utama di Jakarta hingga berbagai kota di seluruh pelosok negeri ini, pemandangan yang kita temukan akhir-akhir ini adalah maraknya spanduk Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pesannya ganda, di satu sisi kalimat verbal agresif yang mengkritik keras rencana pemerintahan menaikan harga BBM, hal lainnya adalah memperkenalkan sosok-sosok calon anggota legislatif (caleg) PKS mulai dari caleg DPR-RI hingga DPRD Kabupaten/kota. Pilihan strategi political publicity yang mengail di tengah keruhnya rencana kanaikan BBM. Ada dua persoalan yang menarik diulas, menyangkut tepat tidaknya strategi publisitas politik PKS, dan soal relasi kuasa PKS dengan mitra utamanya SBY dan Partai Demokrat.

Publisitas Politik

Sebenarnya publisitas politik itu sah-sah saja dilakukan oleh siapapun yang bertarung dalam rivalitas demokrasi elektoral. Hal ini, sangat lumrah dilakukan di tengah bauran pemasaran politik untuk memersuasi pemilih. Publisitas berbeda dengan pendekatan advertising yang mengalokasikan anggaran khusus, karena pendekatan ini biasanya justru memanfaatkan momentum situasi atau kejadian bernilai berita plus tanpa biaya jika pun ada anggaran sifatnya low cost.  Saya pernah mendefinisikan publisitas  dalam buku saya Public Relations Politik (2012) sebagai teknik penyiaran berita tentang peristiwa yang diatur atau diciptakan terlebih dahulu untuk kepentingan seseorang atau lembaga yang dalam tahap pertama tidak memerlukan biaya. Seorang pakar publisitas Howard Stephenson (1960) dengan ringkas menyebut publisitas sebagai news about events that are planned.

Ada empat tujuan publisitas yakni memalingkan perhatian, memperoleh penghargaan, good will (niat baik), dan popularitas. Dalam konteks bertebarannya spanduk-spanduk PKS di jalanan, jelas sudah bahwa spanduk-spanduk tersebut sedari awal bukan tindakan sporadis yang dilakukan oleh kader-kader PKS. Ini merupakan kerja sistematis yang barang tentu dipersiapkan, dihitung dampak dan resikonya serta kemungkinan besar dimasifikasi melalui struktur partai dari pusat hingga daerah. Tujuannya, bukan semata-mata pada kritisisme PKS atas kenaikan BBM, tetapi tindakan masif ini menjadi “panggung” tersendiri bagi pencitraan mereka. 
Publisitas PKS lewat “banjir” spanduk ini di satu sisi memperlihatkan kepiawaian dan kenekatan PKS dalam menjalan strategi pencitraan. Indikatornya, pertama PKS sudah memalingkan perhatian publik dalam kasus kenaikan BBM. Lewat spanduk yang tidak seberapa harganya, mereka menjadi news maker. Serangan PKS mendapat reaksi dari pemerintah SBY, elite Demokrat, plus bonus gaung berita di media massa. Berhari-hari spanduk PKS ini menjadi nilai berita yang banyak dikupas media karena dikaitkan dengan sikap politik PKS dengan mitra koalisinya yakni SBY.

Kedua, PKS mengubah spanduk yang biasanya hanya menjadi pure publicity atau publisitas melalui kejadian sehari-sehari dan apa adanya itu, menjadi tie-in publicity yakni publisitas melalui extra ordinary news atau kejadian yang tidak biasa. Dengan anggaran murah PKS sesungguhnya sedang “menghunjam” kesadaran publik dengan mengenalkan sejumlah nama kader mereka yang akan nyaleg sekaligus mempopulerkan brand PKS  jelang 2014. Ketiga, PKS juga secara sadar sedang memecah perhatian publik atas opini negatif yang akhir-akhir ini dialamatkan ke partai mereka karena intensifnya pemberitaan kasus LHI dan Ahmad Fathanah. Dengan spanduk yang terkesan garang tertsebut, PKS sedang membangun pesan bahwa partainya masih ada, dan tetap kritis serta mengesankan diri sebagi partai pro rakyat. Tujuannya sudah bisa ditebak, yakni manajemen kesan agar memfasilitasi good will warga terutama pemilih. Mengubah persepsi negatif ke netral dan akhirnya ke positif. Di saat berbarengan, PKS sedang menguji untuk kesekiankalinya reaksi SBY dan Demokrat atas pilihan bersebrangan yang diambilnya.

Konsistensi Sikap

Setelah membanjiri ruang publik dengan pernyataan-pernyataan menggugat atas rencana kenaikan BBM konsistenkah PKS atas pilihan sikap mereka? Ini yang wajib dicermati oleh publik! Paling tidak ada dua catatan penting atas sikap PKS tersebut.

Pertama, masih ada potensi PKS bermain peran dalam konteks kenaikan BBM ini. Ada elite PKS yang memerankan diri sebagai penentang kenaikan BBM dan kelompok ini lantang menyerang di media arus utama (mainstream) maupun di sosial media. Jika mendengar komentar-komentar seperti Fahri Hamzah, Andi Ramhat dkk, yang setiap saat mengkspresikan penolakan secara gamblang, kita seolah-olah melihat PKS akan bersebrangan dengan pemerintah. Tetapi di saat bersamaan, kita juga menerima pesan bernada dukungan terhadap kenaikan BBM dari elite PKS lain seperti Tifatul Sembiring dan Elite Majlis Syura.

Kenaikan BBM sendiri bukan persoalan enteng. Ini akan memengaruhi nasib jutaan rakyat Indonesia. Publik akan menjadikan spanduk-spanduk yang bertebaran dan kalimat yang berhamburan dari para elite PKS  itu sebagai bukti otentik pilihan sikap PKS. Jika mereka bermain-main dengan wacana retoris tentu partai ini memang layak di hukum di Pemilu. Dalam waktu dekat, kita akan mengetahui seperti apa sesungguhnya sikap PKS. Jika akhirnya mereka menjilat lidahnya sendiri dan bersepakat dengan kebijakan yang ditentangnya, publik akan menilai tidak konsistennya partai ini. Ini bukan soal tepat tidanya rencana kenaikan BBM, tapi lebih pada pilihan-pilihan sikap politik partai dan para elite yang harus konsisten. 


Kedua, yang harus dikritisi dari PKS adalah konsistensi pilihan sikap politik dengan konsekuensi atas eksistensi mereka di kabinet  yang dinahkodai SBY. Jika PKS bersebrangan dan tidak lagi satu orientasi dengan SBY, seharusnya PKS juga mengembangkan sikap yang jelas yakni keluar dari koalisi. PKS yang meletakan satu kaki di pemerintahan dan menikmati “kue lezat” kekuasaan serta satu kaki lainnya seolah-olah berada di luar kekuasaan menjadikan posisi PKS ambigu, tidak etis dan pragmatis. Politik itu soal pilihan dan konsistensi atas sikap yang sudah diambil. Jangan berperan ganda terlebih mempermainkan persepsi publik dengan strategi manipulasi psikologis berbasis retorika belaka. 


Jalan panjang dan terjal akan dilalaui PKS di Pemilu 2014. Di luar persoalan hukum yang membelit LHI dan berpotensi menyeret sejumlah nama elite PKS lainnya di ranah hukum, PKS juga dihadapkan pada realitas pemilih kita yang kian rasional dan melek informasi. Publisitas politik di jutaan spanduk yang bertebaran tak akan bermanfaat apapun, jika orientasinya hanya pencitraan dan konsistensi sikapnya hanya bualan. Jangan sampai publik menilai “tong kosong nyaring bunyinya”, semoga PKS tidak! ***

Mendorong Penguatan Pemilih Pemula di Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 30/5/2013)

Posisi pemilih pemula dalam penyelenggaraan Pemilu masih diposisikan sebagai objek dalam perebutan suara partai politik. Meski jumlahnya besar dan signifikan, tetapi pendekatan partai kepada pemilih pemula masih sporadis dan tidak memberdayakan. Padahal, kalau kita melihat potensi suara pemilih pemula dalam setiap pemilu selalu menjadi salah lapis pemilih menentukan. Pada pemilu 2004 dari 147,2 juta pemilih, 50,05 juta orang atau 34 persen di antaranya adalah pemilih pemula. Pada Pemilu 2009, dari 189 juta pemilih, ada 36 Juta orang atau 19 persen di antaranya pemilih pemula. Diprediksi pada Pemilu 2014, dari 190 jutaan pemilih ada kurang lebih 40 juta di antaranya pemilih pemula.

Secara historis, kaum muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan perjalanan bangsa ini. Nyaris tidak ada tonggak sejarah republik ini yang menafikan peran kaum muda. Tahun 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978 hingga peristiwa reformasi 1998, menjadi penanda peran nyata kaum muda di republik ini.

Setelah 15 tahun reformasi, ternyata proses konsolidasi demokrasi mengalami sumbatan.Partai politik menjadi salah satu persoalan nyata yang menyebabkan demokrasi berjalan stagnan. Permainan politik berbasis transaksional dari kelompok elite partai lebih dominan dibanding optimalnya fungsi-fungsi partai di masyarakat. Partai tidak bermetamorfosisi menjadi institusi kuat dan modern, melainkan tetap dengan corak lamanya yang berbasis feodalisme, oligarki dan transaksional. Salah satu dampak nyatanya dapat dirasakan saat penyelenggaraan Pemilu lima tahunan. Partai baru hadir dan melakukan kerja-kerja politik sesaat jelang Pemilu. Sehingga muncul kesenjangan antara pemilih dan partai politik. Penyakit turunan dari prilaku ini adalah politik menjadi sangat mahal, asal-asalan dan temporer.
 
Kenapa pemilih pemula saat ini terkesan apatis bahkan apolitis? Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkannya. Pertama, kian lemahnya PartyID atau identifikasi kepertaian. Rasa memiliki dan mengidentifikasi pilihannya dengan satu partai tertentu sulit dirasakan oleh kaum muda terutama pemiih pemula karena banyak di antara mereka yang mempersepsikan partai itu sebagai institusi yang outsider dari mereka. Kedua, persepsi buruk partai-partai di media massa dan sosial media. Tak dimungkiri, kaum muda itu rata-rata familiar dengan media terlebih sosial media seperti facebook, twitter, youtube dan sejumlah weblog interaktif lainnya. Sementara pemberitaan politik di media massa dan sosial media tersebut lebih banyak diisi oleh prilaku yang membuat kaum muda skeptic bahkan apolitis, misalnya parade korupsi lintas partai yang setiap saat terpampang di media. Ketiga, minimnya literasi politik yang dilakukan oleh partai kepada pemilih pemula. Jika pun partai datang dan melakukan kerja-kerja nyata di basis pemilih, motifnya tak lebih dari sekedar pertimbangan pemasaran politik.

Posisi pemilih pemula harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal. Caranya, partai, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan,  pemerintah dan media massa, harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Crick menegasakan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.

Secara operasional gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation),  membuata peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basis-basis pemilih muda, mempublikasikan tulisan terkait harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok supra maupun infrastruktur politik dalam aktivitas yang memberdayakan. Selain itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menginisiasi respon opini publik terkait kebijakan publik seputar Pemilu dan mengintensifkan diskusi pemilu melalui beragam teknologi komunikasi.

Saatnya kaum muda menjadi lebih berdaya dan memiliki sikap yang tegas berbasis pemahaman memadai dalam menentukan suara di Pemilu 2014. Satu suara pemilih pemula akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Pemilih pemula bukan lagi masa mengambang yang mudah dimanipulasi! ***

Gambaran Buruk Caleg

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 15/5/2013)

Mengikuti pemberitaan seputar Calon Anggota Legislatif (Caleg) 2014 seolah mendengar lagu lama yang diputar ulang. Nada sumbang kembali mengalun seolah menjadi pesan bahwa perubahan sulit diwujudkan. Problematika Pencalegan dari pemilu ke pemilu nyaris sama, yakni minimnya persiapan matang partai politik dalam distribusi dan alokasi orang untuk menjadi calon wakil rakyat. Model kerja sporadis dan penyusunan nama di penghujung waktu membuat banyak orang tergopoh-gopoh memenuhi berbagai syarat pencalegan.


Momentum Partai
Demokrasi elektoral sejak pemilu 1999 seharusnya menjadi momentum konsolidasi demokrasi. Paling tidak, ada tiga potensi yang seharusnya dimanfaatkan oleh seluruh partai politik untuk lebih artikulatif dan sistemik dalam memaknai eksistensi mereka. 

Pertama, partai memiliki kebebasan berekspresi yang terfasilitasi oleh perubahan sistem politik pasca Soeharto. Koorporatisme politik yang dilakukan figur sentral penguasa tak lagi bisa diterapkan. Kondisi ini secara substantif memungkinkan modernisasi politik dari sekedar ornamen demokrasi di era Orde Baru ke peran signifikan dalam penataan kelembagaan meliputi performa ritual, organisasional, politis, dan enkulturasi. Tapi setelah melalui 3 kali pemilu pasca reformasi kondisinya tetap stagnan yakni  partai tetap feodal, oligarkis dan transaksional. Partai-partai yang ada saat ini masih bergantung pada kekuatan figur dan kecenderungannya melembagakan personalisasi politik bukan sistem politik. Sebagai organisasi, partai tentu akan mengalami penstrukturan organisasi. 


Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996) penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumberdaya oleh anggota kelompok.  Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan sumberdaya manusia selalu menggantungkan kekuatannya  pada satu figur dan garus keturunannya, maka tentu partai bersangkutan tak akan pernah menjadi partai modern.


Kedua,  partai-partai pasca reformasi sesungguhnya memiliki peluang untuk menjembatani berbagai tuntutan dan dukungan di masyarakat. Artinya partai bisa memfungsionalisasikan diri secara optimal tanpa terbebani oleh kekuatan luar partai. Namun dalam praktiknya, setelah terlepas dari kuatnya kendali penguasa di era Orde Baru, justeru partai terbebani oleh laku politik yang dikendalikan pasar (market driven).  

Indikatornya, partai kerap terjebak dalam logika M-C-M (money-commodity-more money). Partai dan berbagai aktivitasnya kerap diposisikan sebagai komiditi yang bisa dikapitalisasi dalam berbagai kontestasi yang terjadi di level nasional seperti dalam pencalegan dan pencapresan maupun yang terjadi di level lokal seperti dalam berbagai pilkada. Cara berpikir ini kerap memosisikan partai bak mobil rental dan bisa disewa siapa saja yang memiliki uang guna pencapaian kepentingan mereka.  


Ketiga, potensi melakukan kanalisasi sumberdaya politisi profesional yang dibutuhkan dalam penguatan bangsa ini ke depan. Partai dalam sistem demokrasi merupakan elemen penting yang seyogianya ada dan kuat. Pemimpin dan calon pemimpin seharusnya bisa tumbuh kembang dari rahim partai yang sehat dan memberdayakan. Faktanya, hingga kini partai kita mengalami kesulitan melakukan kanalisasi SDM tersebut. Tradisi patron-client yang banyak dialami partai saat ini, justru menjadi inkubator tumbuh kembangnya para koruptor baru!


Caleg Karbitan

Yang menarik kita telaah dari prilaku partai politik adalah gaya “nekat” dalam pencalegan. Partai kerapkali mengabaikan tahapan-tahapan dalam proses distrubusi dan alokasi orang ke dalam jabatan publik. Gejala yang hampir merata dialami seluruh partai kontestan pemilu 2014. Mereka banyak “mencomot” caleg mereka tanpa sebuah mekanisme berjenjang. Terlebih jika caleg yang bersangkutan punya sumberdaya yang kerap “merangsang” partai untuk mendekatinya. Sejumlah sumberdaya tersebut adalah popularitas, basis nyata simpul suara, uang dan akses serta konstruksi opini di media.  


Popularitas dimiliki para selebritas yang terbiasa mendapatkan ruang berita di media massa. Basis nyata simpul suara biasanya diidentikan dengan tokoh organisasi masyarakat, tetua adat, agamawan, yang kesehariannya penetratif ke basis-basis pemilih. Uang dan akses biasanya menjadi alat nego para pengusaha yang kerapkali berminat nyaleg untuk proteksi bisnis mereka. Terakhir konstruksi opini di media melibatkan human agency seperti pekerja media atau orang yang mengendalikan media. Makanya jangan heran kalau di deretan caleg 2014 juga kita bisa dengan mudah menemukan deretan nama jurnalis atau mantan jurnalis. 

Sesungguhnya yang membuat publik pesimis bukan pada latarbelakang profesi mereka, karena sesungguhnya setiap warganegara memiliki hak memilih dan dipilih yang melekat pada dirinya. Semua orang dengan beragam latarbelakang profesinya harus dihormati saat berminat untuk berpartisipasi dalam pemilu. 


Yang mengkhawatirkan dan mendapat sorotan tajam sesungguhnya adalah model dadakan dalam pencalegan. Menjadi wakil rakyat itu amanah kekuasaan yang sangat serius. Jabatan tersebut tidak layak dipegang oleh sejumlah orang yang sedang belajar, coba-coba atau petualang. Perlu kesungguhan dalam penyiapan diri sebelum mereka terpilih menjadi wakil rakyat. Caleg bukan lahan mencari pekerjaan, karena substansi jabatan itu untuk dedikasi dan pengabdian mewakili sejumlah basis konstituen. Setiap caleg yang diajukan partai seharusnya memiliki komptensi intelektual, moral dan sosial. Partai seharusnya bukan semata mendistribusikan orang tetapi memiliki tanggungjawab untuk melakukan rekrutmen, menyamakan nilai-nilai dan ideologi partai serta melihat rekam jejak setiap caleg mereka. Tahapannya tak cukup hanya 1 tahun atau beberapa bulan jelang pencalegan. Butuh sebuah sistem berjenjang dan berkelanjutan untuk mengumpulkan sejumlah nama yang benar-benar layak. 


Jika tahapan demi tahapan dilakukan dengan baik dan tidak tergesa-gesa, sudah pasti karut-marut pencalegan 2014 tidak akan terjadi. Saat ini kita prihatin dengan banyaknya caleg yang tak lolos verifikasi KPU dan jumlahnya bukan satu dua melainkan ratusan. Bahkan ada tiga partai politik yang seluruh calegnya tak lolos verifikasi. Meskipun mereka masih bisa memperbaiki, tetapi hal ini sudah cukup menjadi gambaran buruknya proses pencalegan 2014. 


Ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan oleh partai untuk penyiapan distribusi dan alokasi SDM menjadi caleg. Pertama, perlu adanya penjenjangan dalam sistem kaderisasi. Partai harusnya membuat sebuah pola rekrutmen berjenjang dengan mempertimbangkan keterwakilan kaum muda, perempuan, kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat. Rekrutmen ini tidak dilakukan hanya menjelang Pemilu melainkan sepanjang tahun. Proses pembinaan loyalis dengan sendirinya akan berlangsung saat sejumlah orang yang direkrut tadi dilibatkan dalam kerja-kerja kepartaian. Ini juga akan menghindari kesenjangan komunikasi antara partai dan caleg serta merekatkan PartyID atau identifikasi pemilih dengan partai.

Kedua, partai harus melembagakan pendekatan Triple-C. Yakni, community relations (hubungan komunitas), community empowerment (pemberdayaan komunitas) dan community services (pelayanan komunitas). 

 Dengan pendekatan tersebut secara alamiah partai akan bertemu dengan sejumlah figur berbasis komunitas yang bisa menjadi caleg mereka. Sebenarnya pendekatan ini menguntungkan bagi partai. Selain benar-benar sesuai dengan konsep politik perwakilan dalam trias politika, partai juga punya memiliki akar kuat di basis pemilih. 

Ketiga, partai harusnya memiliki kemampuan refleksivitas dalam setiap tahapan pencalegan. Tidak hanya menyusun, tetapi juga melihat dinamika dan orientasi-orientasi idealis dan strategis partai ke depan. Jika ada caleg mereka bermain-bermain dengan aturan yang dikonsensuskan, maka sudah seharusnya partai mencoret caleg tersebut dari DCS! ***

Membaca Hasil Survei Calon Presiden 2014

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 13/5/2013)

Perdebatan mengenai hasil survei sebuah lembaga sangatlah wajar terjadi. Nalar kritis dan ruang dialektikaterfasilitasi melalui media arus utama (mainstream),media sosial, forum akademik hingga perbincangan informal warga. Inilah salahsatu ekspresi kebebasan berpendapat termasuk kebebasan melakukan pengukuran opini yang berkembang di masyarakat.

Baru-baru ini, Lembaga Survei Nasional(LSN) menarik perhatian media terutama terkait dengan publikasi hasil riset yang menyatakan Aburizal Bakrie (ARB) disebut sebagai capres 2014 paling favorit di kalangan muda. ARB menurut riset tersebut dipilih oleh 18,6 persen mengungguli Wiranto 16,4 persen dan Prabowo 12,5 persen. Hasil survei ini,memiliki perspektif berbeda dengan survei-survei pra pemilu 2014 yang regular dilakukan oleh lembaga survei lainnya dan kali pertama memosisikan ARB dalamposisi favorit. Benarkah gambaran hasil survei tersebut?

Prematur jika kita menyimpulkan ARB benar-benar favorit! Alasannya, pengukuran opini publik itu dinamis. Satu publikasi hasil riset tentang capres perlu diuji lagi dalam rentang waktu sesudahnya. Ini penting terutama untuk melihat trend solidnya opini publik.Meskipun awalnya opini publik itu beragam, acak dan terserak tetapi lama-lama akan mengalami fase solid dan menunjukkan trend yang cenderung sama. Selain itu,objek yang sama juga bisa kita komparasikan dengan hasil riset lembaga-lembaga lain. Nanti, bisa kita peroleh apakah hasil riset itu memungkinkan diterima secara ilmiah atau tidak. Jika hasil survei berbeda sendiri dan kecenderungannya menjadi opini minor, kita layak mempertanyakan kredibilitas hasil survei yang bersangkutan.

Inilah menariknya survei ilmiah, kita bisa mengonfirmasi berdasarkan standar metodologis yang diterima dan bisa diuji semua pihak. Dalam praktiknya, aktivitas survei itu terbagi menjadi  survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk juga perubahan prilaku pemilih.

Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembagasurvei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orangatau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral. Sangatterbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung.

Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisasaja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya, sangatpenting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligusoperasionalisasinya di lapangan.

Di level publikasi hasil survei jugakerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingatketerbatasan rubrik  atau air time,serta agenda  setting yang menjadipilihan mereka.

Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil.  Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.

Kembali ke posisi ARB yang konon katanya difavoritkan pemilih muda, ada baiknya khalayak melakukan apresiasi kritis.Tetap menghormati hasil survei tersebut, tetapi juga jangan menelan mentah-mentah gambaran angka yang disodorkan. Media bisa menjadi katalisator pendidikan politik terkait hasil survei ini. Caranya, harus ada standarisasi publikasi hasil survei. Metodologi yang digunakan saat mengurai hasil harus dijelaskan secara komprehensif.

Selain itu, pemberitaan jangan bersifat linear hanya mempublikasikan data dari lembaga survei. Harus ada analisis imparsial dari ahli yang relevan guna memberi perspektif atas hasil survei yang akan menjadi asupan bagi masyarakat.****

Memahami Motif Pencalegan

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 6/5/2013)

Pola distribusi dan alokasi orang untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) diIndonesia belum berubah. Pendekatan rekrutmen berbasis struktur sosialtradisional masih dominan dibanding mekanisme keorganisasian modern. Partaimirip “mobil omprengan” yang secara acak mengangkut banyak orang untuk majunyaleg di pemilu 2014. Kita masih mendapati jalur kekerabatan, politik patron-client dan modus transaksional dominan mewarnai manuver partai dalam penetapan daftar caleg.

Tipologi Caleg  
Jika dibuat tipologi mereka yang mencalegan diri di DPR maupun DPRD paling tidak kita bisa menemukan lima kelompok caleg berdasarkan motif keikutsertaannya. Pertama, mereka yang mencari prestisedari jabatan sebagai wakil rakyat. Tak dimungkiri, meski citra DPR buruk,tetapi masih dianggap jabatan membanggakan bagi sebagai kalangan yang inginmeneguhkan identitas sosialnya. Label sebagai anggota dewan dianggap sebagaieksistensi sosial yang menunjukkan integrasi vertikal dirinya ke kelompok elitedalam struktur masyarakat foedal. Jenis caleg ini, kalau lolos menjadi anggotaDPR atau DPRD akan sangat menikmati segala hal yang sifatnya simbolik berlabelanggota dewan. Dengan demikian, motif mereka sesungguhnya adalah eksternalisasidiri. Sebagian besar kelompok artis yang rame-rame mencalegkan diri, bermotifini. Meskipun caleg berlatarbelakang profesi lain juga banyak bermotif sama.

Kedua,  caleg yang mencari perlindungan. Mereka yang masuk kategori ini biasanya adalah sejumlah orangyang sedang bermasalah dalam konteks hukum. Dengan merapat ke partai politik terlebih jika lolos menjadi anggota dewan, mereka berharap memiliki jejaring sekaligus ‘bunker’ untuk kasus-kasus yang mereka hadapi. Kelompok ini, bukanhanya diisi oleh caleg bermasalah secara hukum, melainkan juga diisi olehmantan pejabat, birokrat, purnawirawan TNI maupun Polri yang sudah turun darijabatannya, dan punya potensi masalah saat mereka memanfaatkan jabatan di masalalunya.

Ketiga,para pencari kerja dan petualang politik. Kita bisa identifikasi kelompok inidari latarbelakang profesi sebelumnya yang tidak jelas. Jabatan sebagai anggotadewan menjadi “lahan” potensial bagi mereka untuk menghidupi diri, keluarga dankelompoknya. Tentu, bukan semata dari gajinya sebagai anggota DPR yang tidakseberapa melainkan karena kuasa jabatannya yang bisa dikapitalisasi. Motif pencalegan bukan untuk dedikasi diri sebagai wakil rakyat, tetapi investasidengan logika M-C-M (money-commodity-moremoney). Jabatan sebagai anggota DPR diposisikan sebagai komoditi. Saatmereka berinvestasi tentu harus menguntungkan di masa mendatang. Inilah cikalbakal praktik korupsi politik dengan beragam modus dan implementasinya.

Keempat,proteksi dan ekspansi bisnis. Biasanya kelompok ini diisi oleh sejumlah pengusaha yang masih mengandalkan sandaran kekuasaan politik seabagai motorpenggerak bisnisnya. Mereka mencari kekuatan politik untuk memproteksi bisnisnya sekaligus juga memiliki akses atas sejumlah regulasi dan kebijakanpublik lainnya yang berpotensi menguntungkan bisnis mereka. Tak mengherankanjika kita temukan sebaran pengusaha di sejumlah partai dan pencalegan 2014.

Kelima,motif perjuangan untuk pelayanan. Meskipun minoritas, kita juga masih bisa menemukan sejumlah orang yang mencalegkan diri karena landasan ideologi dan nilai-nilai politik yang dianut. Biasanya, politisi ideolog ini bukan karbitan. Mereka mengikuti penjenjangan dan secara bertahap bertransformasi menjadi politisiprofesional. Mencalegkan diri dimaknai sebagai jalan perjuangan politik untukmengartikulasikan nilai dan orientasi politik yang dimilikinya.

Dinastidan Patron
Hal lain yang patut dikritisi dalam skema pancalegan di Indonesia adalah politik dinasti dan patron-client. Politik dinasti menunjukkan preseden buruk bagi regenerasikepemimpinan. Hal ini, menciptakan sistem feodaldan membentuk hirarki kekuasaan berbasis kekuatan figur. Dampaknya, integrasi vertikal ke kekuasaan menjadi sangat terbatas aksesnya. Warga terpaksa masuk kedalam pilihan politik yang sangat terbatas karena akses dikendalikan sedikit elit yangmembentuk sistem protektif dari-oleh-untuk keluarga. Namun demikian, politik dinasti tidak seluruhnya salah. Terlebih jika keluarga yang mencalegkan diriatau mewarisi referent power dari keluarga tersebut memiliki kapasitas, profesionalitas dan historisitas memadaisebagai politisi.

Sesungguhnya, praktik dinasti politik dalam kekuasaan, merupakan realitas yang kerap kita temukantak hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai belahandunia lain melintasi budaya, sistem maupun wilayah politik. DiIndia misalnya ada dinasti Gandhi yang diawali Jawaharlal Nehru (1889-1964)dilanjutkan Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri perempuan pertama diIndia. Dinasti Gandhi dilanjutkan putra Indira, Rajiv Gandhi (1944-1991)setelah itu estapet dinasti politik dilanjutkan putra Rajiv, Rahul Gandhi.

Di Pakistan kitamengenal dinasti Bhutto yang dimulai Zulfikar Ali Bhutto (1928-1979) dandilanjutkan Benazir Bhutto (1953-2007) yang mencatat sejarah sebagai perdanamenteri perempuan pertama di Pakistan. Di Filipina, kita mengenal Cory Aquinoperempuan presiden pertama yang memerintah Filipina 1986-1992 setelah suaminya,Benigno Aquino, dibunuh rezim Presiden Ferdinand Marcos. Masih di Filipina,kita juga mengenal Gloria Macapagal-Arroyo putri Presiden Diosdago Macapagal(1961-1965). Di Singapura, kita mengenal Dinasti Lee, mulai dari Lee Kuan Yewhingga kini Lee Hsien Loong. Di Myanmar, tokoh demokrasi Aung San Suu Kyimerupakan putri dari pejuang nasional Jenderal Aung San (1915-1947). Di Suriah,Presiden Bashar al-Assad meneruskan Presiden Hafez al-Assad (1930-2000). DiArgentina, Cristina Kirchner mantan istri Presiden Nestor Kirchner menjadipresiden. Korea Utara dipimpin oleh Kim Jong Il (1966), putra Kim Il Sung(1912-1994). Di Indonesia sendiri kita mengenal dinasti Soekarno dalamkepemimpinan Megawati Soekarnoputri.

Politik dinasti dengan demikian tak mungkin diamputasi, karena hasrat untuk berpartisipasi dalam politik melekat pada individu-individu. Seorang anak ataukerabat elitepartai yang memilikikapasitas dan kapabilitas sebagai caleg tentu tidak bisa dilarang untuk berjuang meraih hasrat politiknya. Kekeliruan yang menyebabkan kegundahan kitadalam pencalegan yang marak sekarangini, lebih disebabkan banyaknya keluarga inti dan kerabat yang menjadi caleg karbitan! Mereka tak memiliki historis sebagai politisi danpengelolaan urusan publik, tiba-tiba menjadicaleg. Dampaknya,proses injeksi publisitas danpolitik uang menjadi dominan guna memenangkan keluarga yang diusung. Diinternal partai pun kerapkali menjadi masalah serius, karena proses pencaleganyang memprioritaskan keluarga menerabas sistem pelembagaan politik. Mekanismedistribusi dan alokasi kader ke jabatan publik seperti DPR, diambil melaluikeputusan oligarkis. Figur utama mensubordinasikan sistem partai pada dirinya,sehingga partai tak pernah sukses bertransformasi menjadi partai modern.

Sementara skema patron-client biasanya lahir dari tradisi senior-junior, tuan danhamba sahaya, serta sponsor dan yang disponsori. Bukan rahasia, jika banyakcaleg pemilu 2014 yang sesungguhnya disponsori oleh patron mereka di partaiatau di DPR saat ini. Modus kedekatan organisasi kemahasiswaan, ormas,primordialisme dominan dalam pencalegan patron-clientini. Jika ditelisik lebih seksama, ada perbedaan antara modus patron-client dengan kaderisasi. Caleg patron-client, seringkali menempuh jalursuper singkat sebelum didistribusikan. Hubungannya lebih personal dengan eliteutama partai dibanding pertimbangan profesional organisasi.
Dalam jangka panjang,pola patron-client akan merusak kaderisasikarena pertimbangan pancalegan bukan atas pertimbangan performa ritual,organisasional, politis, enkulturasi dan koherensi karakterologis, melainkan karena suka dan tidak sukanya patron. Dengan memahami motif yang dimiliki paracaleg, seyogianya pemilih waspada dalam menentukan pilihan, karena suarapemilih akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun ke depan. ***

Banyak Jalan Menuju Senayan

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 1 Mei 2013)

Situasi politik Indonesia semakin riuh seiring masa pendaftaran calon anggota legislatif (caleg). Wabah “mendadak nyaleg” pun terjadi di mana-mana. Menjadi anggota DPR maupun DPRD masih memesona banyak pihak sehingga tak sedikit warga yang lari tunggang-langgang mengejar “mobil sewaan” lima tahunan.

Pemilu pun berubah fungsi dari mekanisme konsolidasi demokrasi menjadi “pasar lelang” suara yang kerap menegasikan kualitas bahkan rasionalitas. Dengan mudah kita menemukan sejumlah nama caleg “karbitan” yang diusung partai bukan karena prosedur kaderisasi melainkan karena pertimbangan dinasti, struktur sosial tradisional, politik patron-client, dan beragam modus transaksional.

DPR untuk Siapa?

Dari pemilu ke pemilu, pemilih kerap terjerembab pada kubangan yang sama saat ritus demokrasi lima tahunan menyodorkan sejumlah nama untuk menjadi wakil mereka. Pemilih dihadapkan pada pengulanganpengulangan cara kerja lama yakni model kerja serabutan dari partai saat mendistribusikan dan mengalokasikan sejumlah nama untuk menjadi caleg.

Ruh DPR sebagai wakil rakyat sudah lama menguap dari harapan karena sejak pencalegan partai kerap abai dengan historisitas sejumlah orang yang akan ditahbiskan sebagai wakil rakyat itu. Dalam ranah akademis terdapat perbedaan mendasar berkenaan dengan konsep perwakilan versi John Locke (1632- 1704) dan Montesquieu (1689- 1755).

Locke dalam karyanya, Two Treatises of Government, melihat betapa pentingnya pemisahan kekuasaan dan dia membaginya menjadi legislatif, eksekutif, dan federatif. Legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat. Kendati demikian, masyarakat yang dimaksud bukan masyarakat umum, melainkan kaum bangsawan.

Rakyat kecil atau masyarakat biasa tak termasuk kategori struktur masyarakat yang layak dibela dan diperjuangkan. Dengan demikian, perwakilan rakyat dalam perspektif Locke ini perwakilan kepentingan bangsawan untuk berhadaphadapan dengan penguasa yakni raja atau ratu. Sementara dalam perspektif Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu dalamkaryanya, Spirits of the Laws, membagi kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Konsep yang kemudian dikenal dengan Trias Politikainilantasmenjadirujukan penting negara-negara di dunia. Kekuasaan legislatif dalam versi Montesquieu membentuk struktur politik yang fungsinya membentuk undang-undang. Ini lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat.

Dengan begitu, lembaga yang mengacu ke kekuasaan legislatif ini diberi label House of Representative (Amerika Serikat), House of Common (Inggris), atau juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam praktik kerja-kerja DPR kita sekarang ternyata DPR kita lebih banyak memerankan diri sebagai kelas bangsawan yang asyik memainkan beragam manuver political game level elite dibanding optimalisasi peran dan fungsi mereka sebagai wakil dari konstituen. Jika kita amati secara seksama, anggota DPR kita lebih banyak menciptkan bubble politic sepanjang masa jabatan dibanding prestasi untuk mengubah citra dan kultur kerja DPR untuk rakyat yang diwakilinya.

Jalur Khusus

Tak mengherankan, periode DPR terus berganti, tetapi lembaga ini tetap menjadi potret buram demokrasi kita. Satu benang merah jawaban itu terletak pada input saat partai melakukan pencalegan. Modus pencalegan kerap berporos pada struktur sosial tradisional. Ada lima kelompok pemasok yang dengan mudah menjadi caleg partai lewat jalur khusus.

Pertama, kelompok pesohor atau selebriti. Banyak partai seolah tak pernah belajar dari pemilu- pemilu sebelumnya, bahwa tak seluruh popularitas bisa langsung dikonversikan menjadi elektabilitas. Kita bisa berkaca pada Pemilu 2009, dari kurang lebih 59 artis yang bertarung menjadi caleg, hanya 15 orang yang sukses melenggang ke Senayan. Tak ada yang salah jika artis menjadi politisi.

Hanya, mereka butuh proses sehingga memiliki track record memadai untuk bertransformasi dari panggung dunia hiburan ke panggung politik. Faktanya, artis yang menjadi politisi di Senayan periode 2009-2014 pun kondisinya sangat memprihatinkan. Memang ada beberapa orang yang sukses bertransformasi, tetapi secara umum gagal menunjukkan kapasitasnya.

Masalah pribadi mulai urusan keluarga, terlibat kasus korupsi, tak mumpuni dalam mengartikulasikan peran politiknya menjadi deretan persoalan sejumlah artis yang menjadi anggota DPR. Tak salah jika publik masih mempersepsikan sejumlah anggota DPR dari kelompok selebritas ini seperti pemeran figuran dalam lakon politisi lainnya. Partai banyak yang abai terhadap rekam jejak selebriti yang dicalegkan.

Masyarakat pun sudah melek melihat sejumlah nama yang sesungguhnya tak layak, tapi tetap dipajang partai untuk bertarung di berbagai daerah pemilihan (dapil). Kedua, kelompok pengusaha yang memiliki kekuatan finansial untuk maju menjadi caleg. Di banyak partai dengan mudah kita temukan deretan pengusaha yang mendadak nyaleg.

Mereka dapat jalan tol tanpa harus bersusah payah membesarkan partai dengan menjadi kader loyalis terlebih dahulu. Bagi pengusaha sendiri integrasi vertikal mereka ke Senayan kerapkali bukan lagi soal materi secara langsung, melainkan penguasaan pengaruh untuk memproteksi atau mengembangkan bisnis mereka. Ketiga, kelompok agamawan dan tetua adat yang juga seringkali mengantongi “kartu sakti” menjadi caleg karena memiliki basis massa yang nyata.

Pancalegan jadi mekanisme “tukar guling” dengan posisi para agamawan dan tetua adat organis yang mengendalikan basis pemilih di dapil-dapil. Keempat, kelompok mantan militer yang masih dipercayai memiliki tradisi unity of commanddan jaringan “pengamanan” partai saat berada di area perang terbuka. Hampir merata di semua partai, mantan petinggi TNI maupun Polri yang menjadi elite utama partai.

Pengalaman di posisi penting dalam jejaring TNI maupun Polri dijadikan wild card untuk bertransformasi menjadi elite utama partai maupun caleg. Kelima, mereka yang berasal dari kelompok intelektual dan aktivis organis. Biasanya kelompok ini berasal dari komunitas akademis, lembaga think thank, kelompok penekan terutama yang kerap menjadi elite opinion di berbagai media massa.

Di banyak kasus pencalegan kelompok ini juga kerap difasilitasi oleh partai secara pragmatis. Seringkali kita menemukan loyalitas yang cepat memudar dari kelompok ini dan menyuburkan tradisi politisi kutu loncat. Partai harusnya menyadari betapa penting dan menentukannya posisi wakil rakyat untuk konsolidasi demokrasi kita saat ini dan ke depan. Butuh suatu mekanisme berjenjang dalam distribusi kader menjadi anggota DPR. Menjadi wakil rakyat, bukan coba-coba!

Pilihan Dilematis Pengendalian Demokrat

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 12/3/2013)

Kisruh di tubuh Partai Demokrat terus menggelinding bak bola panas. Mundurnya Anas Urbaningrum melahirkan kegaduhan politik tersendiri yang berpotensi menimbulkan turbulensi saat partai ini sedang giat-giatnya melakukan konsolidasi. Belakangan, muncul tafsir berbeda soal ada tidaknya aturan di Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai, berkenaan dengan pelaksana tugas (plt) Ketua Umum Demokrat. Cerita ini, juga dibumbui dengan menghilangnya AD/ART dan daftar susunan pengurus Demokrat dari kanal “organisasi” situs www.demokrat.or.id sejak kamis (07/03). Entah disengaja atau tidak, raibnya AD/ART tersebut, bisa ditafsiri sebagai salah satu “skrup kecil” dalam perang internal Demokrat.

Selain soal Plt Ketua Umum, hubungan antagonistik Anas-SBY juga benar-benar telah memasuki perang terbuka. Duren Sawit, lokasi dimana rumah Anas berada menjadi ikon baru perang opini yang kerap dihadap-hadapkan (head -to-head) dengan Cikeas yang menjadi ikon kewibawaan dan otoritas SBY terutama dalam urusan Demokrat. Setelah cukup sukses melakukan psywar atau perang urat saraf melalui pidato pengunduran dirinya yang sarat dengan teknik card stacking, Anas pun piawai memanfaatkan pendekatan hype politic. Pendekatan card stacking dilakukan dengan memilih pernyataan yang memiliki efek domino pada khalayak luas, sementara hype politic dilakukan melalui sejumlah isu panas yang menohok kubu Cikeas melalui pernyataan di sejumlah media massa. Secara cepat serangan Anas seputar Hambalang dan Century menjadi halaman utama berita media. Meskipun, pernyataan Anas sesungguhnya baru pernyataan politis, belum menjadi fakta hukum verifikatif, tetapi sudah membuat kubu Cikeas galau!

Persoalan paling nyata yang bisa menjadi fase krusial bagi eksistensi Demokrat ke depan tentunya adalah seputar Daftar Caleg Sementara (DCS) yang harus ditandatangani Ketua Umum Demokrat dan diserahkan ke KPU paling lambat 9 April 2013. Selain juga ada dilema luar biasa yang dialami para elit Demokrat kubu Cikeas terkait Konggres Luar Biasa (KLB) yang hubungannya dengan strategi besar pengendalian partai saat ini dan ke depan.
Mengapa kubu Cikeas dilema dengan rencana KLB? Hal ini menarik kita lihat dari dua faktor.  

Pertama, soal rentang kendali penguasaan basis kekuatan. SBY dan lingkarannya tentu membaca, bahwa sangat riskan jika mendorong KLB di tengah situasi seperti sekarang. Hal ini, sepertinya disebabkan mereka sendiri belum yakin dengan prakondisi pengendalian struktur partai hingga ke daerah. Jika KLB digelar, dan mekanismenya benar-benar demokratis, besar kemungkinan forum ini menjadi pasar taruhan.

KLB akan menjadi bola liar yang tak bisa dikendalikan seutuhnya oleh kubu Cikeas. Para “petarung” loyalis Anas pun masih bisa memanfaatkan mekanisme ini untuk memukul balik SBY dengan memanfaatkan peluang pemungutan suara yang basisnya masih bisa diperebutkan. Rekam jejak pengendalian basis ini terlihat sejak SBY mengeluarkan 8 poin solusi yang menjadi simbol bahasa kuasa untuk pengendalian Demokrat. Pengumpulan DPD seluruh Indonesia, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), dan pengumpulan DPD serta DPC usai Anas mengundurkan diri semakin menjadi petanda kuat, SBY menghitung pengondisian basis melalui rentang kendali efektif.

Faktor kedua, dilema muncul dari minimnya figur kuat calon Ketua Umum Demokrat yang bisa diterima oleh kalangan internal partai dari pusat hingga daerah. SBY indikasinya menginginkan figur ketua umum yang memiliki kapasitas manajemen konflik yang baik. Tak pelak nama Joko Suyanto yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanaan (Polhukam) dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Pramono Edhie Wibowo banyak digadang-gadang sebagai Ketua Umum Demokrat setelah Anas. Lagi-lagi dilematis, karena mereka saat ini masih menjabat dan mereka belum menjadi kader Partai Demokrat. Ada nama lain yang muncul seperti Marzuki Alie (Ketua DPR) dan Sukarwo  (Gubernur Jawa Timur).

Nampaknya, KLB tak dikehendaki dalam waktu dekat. Jika pun terpaksa harus digelar sepertinya mekanisme mufakat akan lebih didahulukan daripada musyawarah. Figur yang dikehendaki disosialisasikan dan didorong untuk dimufakati seluruh DPD dan DPC, baru kemudian dicarikan panggung dramaturgi untuk mengesankan seolah-olah mekanisme demokratis sudah ditempuh.

Demokrat harus berkejaran dengan waktu! Dalam jangka pendek harus ada kejelasan ketua umum definitif, jangka menengah tentunya tahapan pemilu 2014 dan jangka panjang konsolidasi utuh Demokrat. Hal yang mesti diperhatikan elite Demokrat, jangan sampai muncul valensi pelanggaran. Valensi menurut Burgoon dan Hale (1998) melibatkan pemahaman atas pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi. Jika interpretasi dan evaluasi publik internal maupun eksternal sudah memosisikan ada yang dilanggar elite Demokrat saat ini, sukar rasanya SBY dan orang-orangnya untuk menjalankan misi penataan partai di tengah goncangan tahun politik. ***