Sabtu, 03 Agustus 2013

Membangun Moralitas Politik

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 2/8/2013)

Selama Ramadhan, hampir tak ada ruang publik yang luput dari terpaan pemasaran politik baik dari partai, calon anggota legislatif (caleg), maupun calon presiden (capres).  Media tempat narsis para politisi pun kian beragam mulai dari layar kaca, spanduk dan baliho di jalanan hingga media sosial. Satu hal yang nampak seragam dari publisitas politik mereka sepanjang Ramadhan kali ini, yakni membangun kesan saleh! Tentu, lengkap dengan segala atribut dramaturginya.

Otentisitas Politik

Moralitas ala naskah atau script diusung para politisi dan pertontonkan di berbagai media. Sebenarnya, sah-sah saja mereka melakukan itu semua. Hanya masalahnya, para politisi itu kerap lupa bahwa reputasi itu historis. Otentisitas kesalehan mereka sudah dicatat secara baik oleh berbagai media dan masyarakat. Wajar, jika banyak orang nyinyir bahkan tertawa meledek saat ada capres atau caleg yang tampilan simboliknya “mendadak saleh” dan berbeda 180 derajat dengan rekam jejak mereka sehari-hari. 

Sudah lama para politisi negeri ini tak lagi membangun diskursus publik melalui sentuhan berpikir dan berinteraksi yang mencerahkan. Terlalu banyak hal praksis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika politik yang telah menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam peradaban. Penandanya, bentuk rasionalitas yang menindas sudah sangat mewabah bahkan menjadi bagian utuh totalitas historis atau apa yang diistilahkan Jurgen Habermas  sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) .
  
Berbagai rasionalisasi atas hasrat politik telah aktual bahkan mendominasi rasionalitas masyarakat yang diistilahkan Herbert Marcuse sebagai rasionalitas teknologis atau dalam kritik Max Horkheimer sebagai rasio instrumental. Para elit berjalan sesuai kehendaknya, sambil sibuk merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka agar mapan menjadi tindakan sosial yang bisa diterima masyarakat.  

Ramadhan ini, seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan asketisme politik di antara para politisi.  Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satu tujuannya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu duniawi.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks berpikir Habermas tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis yakni kerja dan interaksi.

Jika menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam konteks politik Indonesia kekinian, nampak ada dominasi yang sangat kuat dari hasrat politik rendah (low politic). Politik hanya menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan kapan, tanpa tergerak melakukan pencerahan. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari Weber adalah zweckrationalitat atau rasionalitas-tujuan. Karakteristik menonjol dari rasionalitas ini, lebih mementingkan cara-cara mencapai tujuan, sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran.

Jika asketisme politik ini hendak direalisasikan tentu tindakan politik para politisi kita jangan mengacu pada rasionalitas-tujuan melainkan harus menjadikan wertrationalitat atau rasionalitas-bernilai sebagai soko guru tindakan. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun religius. Berpolitik yang asketis berarti menjadikan politik lebih santun, beretika dan mengedepankan kebermanfaatannya untuk khalayak luas. Namun mungkinkah asketisme politik ini bisa diimplementasikan di dalam kehidupan politik kita? Muncul pesimisme bahkan ada yang mengatakan hal tersebut sebagai utopia di tengah carut-marut persoalan yang membentang dari hulu ke hilir. Meski sesungguhnya, asketisme politik ini merupakan satu di antara landasan penting dalam masyarakat dan negara yang berkesejahteraan.
 
Tantangan

Asketisme politik memang tak mudah direalisasikan, meskipun bukan hal mustahil. Tantangan paling nyata ada pada sosok para politisi dan lembaga politik yang saat ini telah tercemar residu politik rendahan. Paling tidak ada beberapa langkah yang bisa menghadirkan asketisme dalam politik Indonesia kekinian.

Pertama, para politisi harus mampu menempatkan kepekaan untuk mendengar denyut suara masyarakat. Jangan memaksakan opini mereka secara arogan di puncak hirarki opini publik. Kini, betapa banyaknya arogansi opini elit sekaligus sentralisasi respek hanya di antara mereka, dengan menihilkan suara dan respek masyarakat. Misalnya, partai sibuk mencari logistik Pemilu dengan mengkapitalisasi beragama akses. Selama lima tahun mereka tidak mengoptimalkan diri bahkan terkesan asik menikmati beragam hak khusus yang melekat pada mereka sebagai elite. Jika pun mereka menginisiasi program atau advokasi ujung-ujungnya hanya untuk kepentingan insentif elektoral semata. Buka tutup kasus elite terjadi, tetapi hasil akhirnya kerap menciderai harapan publik karena berakhir dengan kesepakatan di balik meja para “cukong” partai!  
 
Kedua, asketisme politik bisa hadir melalui kaderisasi politik yang sistemik dan berkelanjutan. Saat ini, fenomenanya hampir seragam, semua partai hanya peduli pada saat harus mendulang suara banyak dalam perhelatan Pemilu. Dengan demikian, partai bukan tempat menetaskan kader-kader terbaik melainkan mengerami para oportunis dan politisi pragmatis yang berkesadaran teknokratis. Untuk mendukung munculnya asketisme politik, dibutuhkan tindakan komunikatif.  Istilah yang oleh Habermas dipahami sebagai tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasarkan hubungan timbal-balik di antara partai dengan kadernya. Partai sebaiknya menjadi pembentuk sekaligus penyuplai kader yang berpikir dan bertindak asketis, bukan sebaliknya menjadi penyedia para drakula  penghisap dana rakyat.

Ketiga, politisi dan partai politik dituntut untuk memiliki sistem evaluasi kelembagaan yang kuat. Kebergantungan organisasi pada segelintir elite bisa menyebabkan mapannya oligarki di tubuh partai. Begitu pun sentralisasi kuasa pada diri seseorang akan menyebabkan subordinasi sistem di bawah figur. Kuatnya sistem dibutuhkan untuk menegakkan mekanisme check and balance sehingga organisasi akan sehat dan diisi oleh orang-orang yang taat pada mekanisme aturan. Jika sistem sudah terbangun dengan baik, maka terbuka peluang untuk memperbaiki orang-orang yang melekat dengan sistem tersebut. Saat partai mejadi hutan rimba dan membebaskan warganya melakukan manuver meskipun merusak bangsa dan negara, maka harapan akan perbaikan bangsa ini hanya aka nada di level wacana.

Sudah sepatutnya momentum keagamaan itu bukan menghadirkan kepalsuan tetapi otentisitas prilaku, bukan kerakusan dan ketamakan tetapi sikap asketis. Indonesia kekinian butuh sosok pemimpin transformatif yang berani menunjukkan politik otentik dan mengambil resiko untuk menjadi subjek radikal guna perubahan ke arah yang lebih baik. ***

Tidak ada komentar: