Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, 2/8/2013)
Selama Ramadhan, hampir tak ada ruang publik yang luput dari
terpaan pemasaran politik baik dari partai, calon anggota legislatif
(caleg), maupun calon presiden (capres). Media tempat
narsis para politisi pun kian beragam mulai dari layar kaca, spanduk dan
baliho di jalanan hingga media sosial. Satu hal yang nampak seragam
dari publisitas politik mereka sepanjang Ramadhan kali ini, yakni
membangun kesan saleh! Tentu, lengkap dengan segala atribut
dramaturginya.
Otentisitas Politik
Moralitas ala naskah atau script diusung
para politisi dan pertontonkan di berbagai media. Sebenarnya, sah-sah
saja mereka melakukan itu semua. Hanya masalahnya, para politisi itu
kerap lupa bahwa reputasi itu historis. Otentisitas kesalehan mereka
sudah dicatat secara baik oleh berbagai media dan masyarakat. Wajar,
jika banyak orang nyinyir bahkan tertawa meledek saat ada capres atau
caleg yang tampilan simboliknya “mendadak saleh” dan berbeda 180 derajat
dengan rekam jejak mereka sehari-hari.
Sudah
lama para politisi negeri ini tak lagi membangun diskursus publik
melalui sentuhan berpikir dan berinteraksi yang mencerahkan. Terlalu
banyak hal praksis-instrumentalistik dalam berbagai hitungan matematika
politik yang telah menyeret energi bangsa ini ke dalam lubang hitam
peradaban. Penandanya, bentuk rasionalitas yang menindas sudah sangat
mewabah bahkan menjadi bagian utuh totalitas historis atau apa yang
diistilahkan Jurgen Habermas sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) .
Berbagai
rasionalisasi atas hasrat politik telah aktual bahkan mendominasi
rasionalitas masyarakat yang diistilahkan Herbert Marcuse sebagai
rasionalitas teknologis atau dalam kritik Max Horkheimer sebagai rasio
instrumental. Para elit berjalan sesuai kehendaknya, sambil sibuk
merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka agar mapan menjadi
tindakan sosial yang bisa diterima masyarakat.
Ramadhan ini, seharusnya menjadi momentum untuk menumbuhkembangkan asketisme politik di antara para politisi. Kata asketisme, bermula dari bahasa Yunani ascesis
yang bermakna “pelatihan”. Biasanya para atlit di Yunani, melakukan
latihan keras sebelum pertandingan di Bukit Olimpus, yang salah satu
tujuannya adalah mengosongkan dan mengasingkan diri dari nafsu-nafsu
duniawi.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme diberi arti 'paham yang
mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban'.
Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2
(2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup
kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa
yang sempurna.
Dengan
demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya
menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan pada prinsip kesederhanaan
dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat
banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan
pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata melainkan demi
tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak
sekedar moralitas melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruks
berpikir Habermas tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi
praksis yakni kerja dan interaksi.
Jika
menilik ragam rasionalitas yang melandasi tindakan politik aktor dalam
konteks politik Indonesia kekinian, nampak ada dominasi yang sangat kuat
dari hasrat politik rendah (low politic). Politik hanya
menjadi instrumen pemuasan siapa mendapat apa dan kapan, tanpa tergerak
melakukan pencerahan. Basis rasionalitasnya jika meminjam kategori dari
Weber adalah zweckrationalitat atau rasionalitas-tujuan.
Karakteristik menonjol dari rasionalitas ini, lebih mementingkan
cara-cara mencapai tujuan, sekaligus memarjinalkan nilai yang dihayati
sebagai isi kesadaran.
Jika
asketisme politik ini hendak direalisasikan tentu tindakan politik para
politisi kita jangan mengacu pada rasionalitas-tujuan melainkan harus
menjadikan wertrationalitat atau rasionalitas-bernilai sebagai
soko guru tindakan. Prilaku politik mengacu pada komitmen rasional akan
nilai yang dihayatinya secara pribadi baik nilai etis, estetis maupun
religius. Berpolitik yang asketis berarti menjadikan politik lebih
santun, beretika dan mengedepankan kebermanfaatannya untuk khalayak
luas. Namun mungkinkah asketisme politik ini bisa diimplementasikan di
dalam kehidupan politik kita? Muncul pesimisme bahkan ada yang
mengatakan hal tersebut sebagai utopia di tengah carut-marut persoalan
yang membentang dari hulu ke hilir. Meski sesungguhnya, asketisme
politik ini merupakan satu di antara landasan penting dalam masyarakat
dan negara yang berkesejahteraan.
Tantangan
Asketisme
politik memang tak mudah direalisasikan, meskipun bukan hal mustahil.
Tantangan paling nyata ada pada sosok para politisi dan lembaga politik
yang saat ini telah tercemar residu politik rendahan. Paling tidak ada
beberapa langkah yang bisa menghadirkan asketisme dalam politik
Indonesia kekinian.
Pertama,
para politisi harus mampu menempatkan kepekaan untuk mendengar denyut
suara masyarakat. Jangan memaksakan opini mereka secara arogan di puncak
hirarki opini publik. Kini, betapa banyaknya arogansi opini elit
sekaligus sentralisasi respek hanya di antara mereka, dengan menihilkan
suara dan respek masyarakat. Misalnya, partai sibuk mencari logistik
Pemilu dengan mengkapitalisasi beragama akses. Selama lima tahun mereka
tidak mengoptimalkan diri bahkan terkesan asik menikmati beragam hak
khusus yang melekat pada mereka sebagai elite. Jika pun mereka
menginisiasi program atau advokasi ujung-ujungnya hanya untuk
kepentingan insentif elektoral semata. Buka tutup kasus elite terjadi,
tetapi hasil akhirnya kerap menciderai harapan publik karena berakhir
dengan kesepakatan di balik meja para “cukong” partai!
Kedua,
asketisme politik bisa hadir melalui kaderisasi politik yang sistemik
dan berkelanjutan. Saat ini, fenomenanya hampir seragam, semua partai
hanya peduli pada saat harus mendulang suara banyak dalam perhelatan
Pemilu. Dengan demikian, partai bukan tempat “menetaskan” kader-kader terbaik melainkan “mengerami”
para oportunis dan politisi pragmatis yang berkesadaran teknokratis.
Untuk mendukung munculnya asketisme politik, dibutuhkan tindakan
komunikatif. Istilah yang oleh Habermas dipahami sebagai
tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasarkan
hubungan timbal-balik di antara partai dengan kadernya. Partai sebaiknya
menjadi pembentuk sekaligus penyuplai kader yang berpikir dan bertindak
asketis, bukan sebaliknya menjadi penyedia para “drakula” penghisap dana rakyat.
Ketiga,
politisi dan partai politik dituntut untuk memiliki sistem evaluasi
kelembagaan yang kuat. Kebergantungan organisasi pada segelintir elite
bisa menyebabkan mapannya oligarki di tubuh partai. Begitu pun
sentralisasi kuasa pada diri seseorang akan menyebabkan subordinasi
sistem di bawah figur. Kuatnya sistem dibutuhkan untuk menegakkan
mekanisme check and balance sehingga organisasi akan sehat dan
diisi oleh orang-orang yang taat pada mekanisme aturan. Jika sistem
sudah terbangun dengan baik, maka terbuka peluang untuk memperbaiki
orang-orang yang melekat dengan sistem tersebut. Saat partai mejadi
hutan rimba dan membebaskan warganya melakukan manuver meskipun merusak
bangsa dan negara, maka harapan akan perbaikan bangsa ini hanya aka nada
di level wacana.
Sudah
sepatutnya momentum keagamaan itu bukan menghadirkan kepalsuan tetapi
otentisitas prilaku, bukan kerakusan dan ketamakan tetapi sikap asketis.
Indonesia kekinian butuh sosok pemimpin transformatif yang berani
menunjukkan politik otentik dan mengambil resiko untuk menjadi subjek
radikal guna perubahan ke arah yang lebih baik. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar