Sabtu, 03 Agustus 2013

Pilihan Dilematis Pengendalian Demokrat

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 12/3/2013)

Kisruh di tubuh Partai Demokrat terus menggelinding bak bola panas. Mundurnya Anas Urbaningrum melahirkan kegaduhan politik tersendiri yang berpotensi menimbulkan turbulensi saat partai ini sedang giat-giatnya melakukan konsolidasi. Belakangan, muncul tafsir berbeda soal ada tidaknya aturan di Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai, berkenaan dengan pelaksana tugas (plt) Ketua Umum Demokrat. Cerita ini, juga dibumbui dengan menghilangnya AD/ART dan daftar susunan pengurus Demokrat dari kanal “organisasi” situs www.demokrat.or.id sejak kamis (07/03). Entah disengaja atau tidak, raibnya AD/ART tersebut, bisa ditafsiri sebagai salah satu “skrup kecil” dalam perang internal Demokrat.

Selain soal Plt Ketua Umum, hubungan antagonistik Anas-SBY juga benar-benar telah memasuki perang terbuka. Duren Sawit, lokasi dimana rumah Anas berada menjadi ikon baru perang opini yang kerap dihadap-hadapkan (head -to-head) dengan Cikeas yang menjadi ikon kewibawaan dan otoritas SBY terutama dalam urusan Demokrat. Setelah cukup sukses melakukan psywar atau perang urat saraf melalui pidato pengunduran dirinya yang sarat dengan teknik card stacking, Anas pun piawai memanfaatkan pendekatan hype politic. Pendekatan card stacking dilakukan dengan memilih pernyataan yang memiliki efek domino pada khalayak luas, sementara hype politic dilakukan melalui sejumlah isu panas yang menohok kubu Cikeas melalui pernyataan di sejumlah media massa. Secara cepat serangan Anas seputar Hambalang dan Century menjadi halaman utama berita media. Meskipun, pernyataan Anas sesungguhnya baru pernyataan politis, belum menjadi fakta hukum verifikatif, tetapi sudah membuat kubu Cikeas galau!

Persoalan paling nyata yang bisa menjadi fase krusial bagi eksistensi Demokrat ke depan tentunya adalah seputar Daftar Caleg Sementara (DCS) yang harus ditandatangani Ketua Umum Demokrat dan diserahkan ke KPU paling lambat 9 April 2013. Selain juga ada dilema luar biasa yang dialami para elit Demokrat kubu Cikeas terkait Konggres Luar Biasa (KLB) yang hubungannya dengan strategi besar pengendalian partai saat ini dan ke depan.
Mengapa kubu Cikeas dilema dengan rencana KLB? Hal ini menarik kita lihat dari dua faktor.  

Pertama, soal rentang kendali penguasaan basis kekuatan. SBY dan lingkarannya tentu membaca, bahwa sangat riskan jika mendorong KLB di tengah situasi seperti sekarang. Hal ini, sepertinya disebabkan mereka sendiri belum yakin dengan prakondisi pengendalian struktur partai hingga ke daerah. Jika KLB digelar, dan mekanismenya benar-benar demokratis, besar kemungkinan forum ini menjadi pasar taruhan.

KLB akan menjadi bola liar yang tak bisa dikendalikan seutuhnya oleh kubu Cikeas. Para “petarung” loyalis Anas pun masih bisa memanfaatkan mekanisme ini untuk memukul balik SBY dengan memanfaatkan peluang pemungutan suara yang basisnya masih bisa diperebutkan. Rekam jejak pengendalian basis ini terlihat sejak SBY mengeluarkan 8 poin solusi yang menjadi simbol bahasa kuasa untuk pengendalian Demokrat. Pengumpulan DPD seluruh Indonesia, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), dan pengumpulan DPD serta DPC usai Anas mengundurkan diri semakin menjadi petanda kuat, SBY menghitung pengondisian basis melalui rentang kendali efektif.

Faktor kedua, dilema muncul dari minimnya figur kuat calon Ketua Umum Demokrat yang bisa diterima oleh kalangan internal partai dari pusat hingga daerah. SBY indikasinya menginginkan figur ketua umum yang memiliki kapasitas manajemen konflik yang baik. Tak pelak nama Joko Suyanto yang saat ini menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanaan (Polhukam) dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Pramono Edhie Wibowo banyak digadang-gadang sebagai Ketua Umum Demokrat setelah Anas. Lagi-lagi dilematis, karena mereka saat ini masih menjabat dan mereka belum menjadi kader Partai Demokrat. Ada nama lain yang muncul seperti Marzuki Alie (Ketua DPR) dan Sukarwo  (Gubernur Jawa Timur).

Nampaknya, KLB tak dikehendaki dalam waktu dekat. Jika pun terpaksa harus digelar sepertinya mekanisme mufakat akan lebih didahulukan daripada musyawarah. Figur yang dikehendaki disosialisasikan dan didorong untuk dimufakati seluruh DPD dan DPC, baru kemudian dicarikan panggung dramaturgi untuk mengesankan seolah-olah mekanisme demokratis sudah ditempuh.

Demokrat harus berkejaran dengan waktu! Dalam jangka pendek harus ada kejelasan ketua umum definitif, jangka menengah tentunya tahapan pemilu 2014 dan jangka panjang konsolidasi utuh Demokrat. Hal yang mesti diperhatikan elite Demokrat, jangan sampai muncul valensi pelanggaran. Valensi menurut Burgoon dan Hale (1998) melibatkan pemahaman atas pelanggaran melalui interpretasi dan evaluasi. Jika interpretasi dan evaluasi publik internal maupun eksternal sudah memosisikan ada yang dilanggar elite Demokrat saat ini, sukar rasanya SBY dan orang-orangnya untuk menjalankan misi penataan partai di tengah goncangan tahun politik. ***

Tidak ada komentar: