Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 12/3/2013)
Kisruh di tubuh Partai Demokrat terus menggelinding bak bola panas.
Mundurnya Anas Urbaningrum melahirkan kegaduhan politik tersendiri yang
berpotensi menimbulkan turbulensi saat partai ini sedang giat-giatnya
melakukan konsolidasi. Belakangan, muncul tafsir berbeda soal ada
tidaknya aturan di Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
partai, berkenaan dengan pelaksana tugas (plt) Ketua Umum Demokrat.
Cerita ini, juga dibumbui dengan menghilangnya AD/ART dan daftar susunan
pengurus Demokrat dari kanal “organisasi” situs www.demokrat.or.id
sejak kamis (07/03). Entah disengaja atau tidak, raibnya AD/ART
tersebut, bisa ditafsiri sebagai salah satu “skrup kecil” dalam perang
internal Demokrat.
Selain soal Plt Ketua Umum, hubungan
antagonistik Anas-SBY juga benar-benar telah memasuki perang terbuka.
Duren Sawit, lokasi dimana rumah Anas berada menjadi ikon baru perang
opini yang kerap dihadap-hadapkan (head -to-head) dengan Cikeas yang menjadi ikon kewibawaan dan otoritas SBY terutama dalam urusan Demokrat. Setelah cukup sukses melakukan psywar atau perang urat saraf melalui pidato pengunduran dirinya yang sarat dengan teknik card stacking, Anas pun piawai memanfaatkan pendekatan hype politic. Pendekatan card stacking dilakukan dengan memilih pernyataan yang memiliki efek domino pada khalayak luas, sementara hype politic
dilakukan melalui sejumlah isu panas yang menohok kubu Cikeas melalui
pernyataan di sejumlah media massa. Secara cepat serangan Anas seputar
Hambalang dan Century menjadi halaman utama berita media. Meskipun,
pernyataan Anas sesungguhnya baru pernyataan politis, belum menjadi
fakta hukum verifikatif, tetapi sudah membuat kubu Cikeas galau!
Persoalan
paling nyata yang bisa menjadi fase krusial bagi eksistensi Demokrat ke
depan tentunya adalah seputar Daftar Caleg Sementara (DCS) yang harus
ditandatangani Ketua Umum Demokrat dan diserahkan ke KPU paling lambat 9
April 2013. Selain juga ada dilema luar biasa yang dialami para elit
Demokrat kubu Cikeas terkait Konggres Luar Biasa (KLB) yang hubungannya
dengan strategi besar pengendalian partai saat ini dan ke depan.
Mengapa kubu Cikeas dilema dengan rencana KLB? Hal ini menarik kita lihat dari dua faktor.
Pertama,
soal rentang kendali penguasaan basis kekuatan. SBY dan lingkarannya
tentu membaca, bahwa sangat riskan jika mendorong KLB di tengah situasi
seperti sekarang. Hal ini, sepertinya disebabkan mereka sendiri belum
yakin dengan prakondisi pengendalian struktur partai hingga ke daerah.
Jika KLB digelar, dan mekanismenya benar-benar demokratis, besar
kemungkinan forum ini menjadi pasar taruhan.
KLB akan
menjadi bola liar yang tak bisa dikendalikan seutuhnya oleh kubu Cikeas.
Para “petarung” loyalis Anas pun masih bisa memanfaatkan mekanisme ini
untuk memukul balik SBY dengan memanfaatkan peluang pemungutan suara
yang basisnya masih bisa diperebutkan. Rekam jejak pengendalian basis
ini terlihat sejak SBY mengeluarkan 8 poin solusi yang menjadi simbol
bahasa kuasa untuk pengendalian Demokrat. Pengumpulan DPD seluruh
Indonesia, Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas), dan pengumpulan DPD serta
DPC usai Anas mengundurkan diri semakin menjadi petanda kuat, SBY
menghitung pengondisian basis melalui rentang kendali efektif.
Faktor kedua,
dilema muncul dari minimnya figur kuat calon Ketua Umum Demokrat yang
bisa diterima oleh kalangan internal partai dari pusat hingga daerah.
SBY indikasinya menginginkan figur ketua umum yang memiliki kapasitas
manajemen konflik yang baik. Tak pelak nama Joko Suyanto yang saat ini
menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanaan (Polhukam) dan
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Pramono Edhie Wibowo banyak
digadang-gadang sebagai Ketua Umum Demokrat setelah Anas. Lagi-lagi
dilematis, karena mereka saat ini masih menjabat dan mereka belum
menjadi kader Partai Demokrat. Ada nama lain yang muncul seperti Marzuki
Alie (Ketua DPR) dan Sukarwo (Gubernur Jawa Timur).
Nampaknya,
KLB tak dikehendaki dalam waktu dekat. Jika pun terpaksa harus digelar
sepertinya mekanisme mufakat akan lebih didahulukan daripada musyawarah.
Figur yang dikehendaki disosialisasikan dan didorong untuk dimufakati
seluruh DPD dan DPC, baru kemudian dicarikan panggung dramaturgi untuk
mengesankan seolah-olah mekanisme demokratis sudah ditempuh.
Demokrat
harus berkejaran dengan waktu! Dalam jangka pendek harus ada kejelasan
ketua umum definitif, jangka menengah tentunya tahapan pemilu 2014 dan
jangka panjang konsolidasi utuh Demokrat. Hal yang mesti diperhatikan
elite Demokrat, jangan sampai muncul valensi pelanggaran. Valensi
menurut Burgoon dan Hale (1998) melibatkan pemahaman atas pelanggaran
melalui interpretasi dan evaluasi. Jika interpretasi dan evaluasi publik
internal maupun eksternal sudah memosisikan ada yang dilanggar elite
Demokrat saat ini, sukar rasanya SBY dan orang-orangnya untuk
menjalankan misi penataan partai di tengah goncangan tahun politik. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar