Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 2/8/2013)
Mesin pemenangan pemilu 2014 sudah dipanaskan Partai Demokrat.
Program prestisius bernama konvensi sudah diluncurkan secara resmi oleh
SBY bertepatan dengan sosialisasi tujuh aturan pokok konvensi, Minggu
(7/7). Manuver Demokrat di bawah SBY ini patut diapresiasi sekaligus
dikritisi terutama dalam konteks keseriusan penyelenggaraannya. Benarkah
Demokrat menjadikan konvensi ini sebagai mekanisme pelembagaan politik
ataukah hanya sekedar simulasi realitas guna mendongkrak elektabilitas?
Membaca Konteks
Tak
salah jika banyak pihak ragu dan curiga dengan penyelenggaraan konvensi
Demokrat. Bagaimanapun tindakan politik selalu ditafsirkan berdasarkan
konteks dinamisnya. Paling tidak, ada dua konteks yang secara mudah
dilihat dan dilekatkan publik pada persepsi mereka saat membaca manuver
konvensi ini.
Pertama,
konvensi Demokrat muncul bukan dalam kealamiahan pelembagaan politik di
internal partai. Penandanya adalah konvensi ini tidak sedari awal
dirumuskan sebagai mekanisme demokratisasi internal partai. Jika
konvensi ini diletakkan sebagai kanalisasi sumberdaya, sudah pasti di
Konggres Bandung pada tahun 2010 atau minimal di Konggres Luar Biasa
(KLB) Bali pada Maret 2013 akan menjadi salah satu “menu” bahasan
penting secara organisasional. Dengan demikian, konvensi baru diposisikan sebagai jalan keluar (exit strategy)
dari keterpurukan elektabilitas partai bentukan SBY ini. Di level ini,
penyelenggaraan konvensi Demokrat memiliki kesamaan latarbelakang dengan
konvensi Golkar di 2004.
Kedua,
terjadinya krisis figur kuat Demokrat setelah era SBY. Pemilu 2004 dan
2009 menjadi era keemasan Demokrat karena partai ini memiliki “magnet”
figur siap jual di pasar pemilih yakni SBY. Kini, belum ada sosok
mumpuni untuk menjadi “petarung” Demokrat di pilpres 2014. Krisis figur
ini diperparah dengan hubungan antagonistik kubu Cikeas dengan Kubu Anas
beberapa waktu lalu. Sehingga dirumuskan “skenario” cerita berbeda
dalam permainan peran mereka untuk Pemilu 2014. Konvensi bisa kita
maknai sebagai salah satu stok cerita dari drama panjang Demokrat jelang
perhelatan pemilu lima tahunan.
Keuntungan Politik
Terlepas
dari skeptisme kita pada konvensi gaya Demokrat, sesungguhnya kemauan
partai menggunakan konvensi untuk mencari figur capres patut kita
hargai. Konvensi penting untuk dilembagakan di tubuh partai politik di
Indonesia agar mekanisme pencapresan tidak berlangsung oligarkis dan
feodal. Dalam tradisi politik kita, siapapun yang menjadi ketua umum
partai seolah punya “hak khusus” untuk melenggang menjadi capres.
Padahal idealnya, ketua umum dan sekjen partai seharusnya menjadi
orang-orang yang fokus mengurusi partai dan tak tergoda untuk
menggandakan loyalitasnya pada dua atau lebih jabatan lain.
Dari sudut pendekatan public relations
politik dan publisitas politik penyelenggara konvensi akan menuai
keuntungan politik. Kita bisa menengok pengalaman sebelumnya saat Golkar
menyelenggarakan konvensi di 2004. Sejumlah nama populer masuk mendaftarkan diri antaralain Nurcholish
Madjid, Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh,
Hamengkubuwono X dan Agum Gumelar. Di penghujung cerita tepatnya Rabu 21
April 2004 Wiranto keluar sebagai pemenang mengalahkan Akbar Tanjung.
Meskipun Wiranto sendiri kalah saat pemilu presiden lawan SBY, tapi yang
pasti, Golkar mengantongi kemenangan pemilu legislatif dengan perolehan
suara 21,58 persen. Salah satu penyumbang citra positif Golkar saat itu
tentunya adalah konvensi. Memang tak sedikit yang mengkritik model
konvensi Golkar sebagai konvensi yang rawan terjadinya praktik money politic.
Sekali lagi, terlepas dari plus minusnya penyelenggaraan konvensi
tersebut, fakta politiknya konvensi turut member insentif elektoral
terutama bagi partai penyelenggaranya.
Secara
normatif, konvensi menguntungkan dalam tiga hal. Pertama, partai
penyelenggara konvensi memiliki momentum membangun relasi politik dengan
publik. Fokus pendekatan ini pada proses identifikasi, pencarian dan
pengaturan hubungan dengan tokoh-tokoh kunci (key persons) dan
bisa membentuk citra kekinian yang positif. Caranya, partai menyerap
energi kreatif dari sejumlah figur yang dikenal publik dan memiliki
reputasi untuk memperbaiki persepsi pemilih dari antipati ke netral ke
positif. Oleh karenanya, konvensi mensyaratkan sejumlah figur yang
terlibat sebagai kandidat adalah orang-orang yang punya kapasitas,
profesionalitas dan modal sosial berbentuk trust.
Kedua,
penyelenggara punya kesempatan mempraktikkan pendekatan grunigian. Inti
pendekatan ini, partai bisa menciptakan pemahaman bersama (mutual understanding) antara organisasi dengan publik internal dan eksternalnya. Ke dalam, konvensi berpeluang menciptakan kohesivitas, ke luar bisa menjadi jembatan untuk membangun good will dan understanding. Menurut Grunig dan Hunt dalam dalam bukunya Managing Public Relations (1984), tindakan pokoknya adalah bagaimana mengembangkan mutual benefit (keuntungan
bersama). Tentu konvensi akan “dijual” citranya sebagai terobosan
penting dalam konteks pelembagaan politik partai di Indonesia.
Ketiga, menjadi momentum hype politik.
Pendekatan ini biasanya dengan mudah bisa memanfaatkan publisitas di
media massa. Sebagai contoh konvensi Demokrat yang secara praktis akan
digelar selama delapan bulan yakni dari September 2013 hingga April
2014. Selama rentang waktu tersebut, Demokrat bisa melakukan free ride publicity melalui isu konvensi. Akan muncul “panggung” bagi Demokrat melalui reportase dan sejumlah talkshow di berbagai media. Ini menjadi sangat berarti dalam pengelolaan opini publik. Merujuk pada pendapat Alexis S Tan, dalam Mass Communication Theories and Research
(1991), bahwa meningkatnya nilai penting suatu topik pada media massa
menyebabkan meningkatnya nilai penting topik tersebut pada khalayak. Dua
tahapan konvensi Demokrat September-Desember 2013 serta Januari-April
2014 bisa dikapitalisasi sebagai momentum politik Demokrat.
Catatan Kritis
Ketiga
keuntungan tadi sesungguhnya baru menjadi potensi keuntungan bagi pihak
Demokrat. Dalam bahasa lain, konvensi menjadi instrumen manajemen
reputasi politik. Lantas publik dapat apa? Di situlah letak kritisisme
yang harus dibangun oleh masyarakat. Kita jangan terkecoh oleh kemasan
wah bernama konvensi Demokrat! Terlebih model konvensi yang digunakan
Demokrat adalah mirip-mirip reality show. Seluruh peserta
konvensi akan bersama-sama dipajang di etalase bernama konvensi. Publik
bisa melihat dan berpartisipasi melalui sejumlah suara yang disurvei.
Dalam industri media, meminjam terminologi Denis McQuail, model ini
dikenal sebagai model ekspresi. Yakni khalayak diperkenalkan pada suatu
program dan mereka seintensif mungkin dilibatkan secara psikologis
sehingga bisa muncul kepuasan bersama.
Etalase
citra itu harus diposisikan tidak berlebihan, bahkan perlu
kehati-hatian terutama bagi konsumen dan “pemasok produk” yang akan
mengisi etalase. Bagi kandidat yang akan bertarung di konvensi, mereka
harus memastikan terlebih dahulu bahwa prosedur dan aturan mainnya
jelas, transparan dan akuntabel. Jangan sampai terjebak pada permainan
politik yang hanya menjadikan mereka sebagai objek pelengkap penderita
atau pemeran figuran di alur cerita setingan. Bagi pemilih yang akan
menjadi konsumen dalam pemilu jangan mudah termanipulasi oleh realitas
pulasan. Jika konvensi penuh kepura-puraan maka kita bisa melabeli
etalase tersebut dengan tulisan besar “kepalsuan yang otentik!”. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar