Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Sindo, 8/6/2013)
Jika kita menyusuri jalanan utama di Jakarta hingga berbagai
kota di seluruh pelosok negeri ini, pemandangan yang kita temukan
akhir-akhir ini adalah maraknya spanduk Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Pesannya ganda, di satu sisi kalimat verbal agresif yang mengkritik
keras rencana pemerintahan menaikan harga BBM, hal lainnya adalah
memperkenalkan sosok-sosok calon anggota legislatif (caleg) PKS mulai
dari caleg DPR-RI hingga DPRD Kabupaten/kota. Pilihan strategi political publicity
yang mengail di tengah keruhnya rencana kanaikan BBM. Ada dua persoalan
yang menarik diulas, menyangkut tepat tidaknya strategi publisitas
politik PKS, dan soal relasi kuasa PKS dengan mitra utamanya SBY dan
Partai Demokrat.
Publisitas Politik
Sebenarnya
publisitas politik itu sah-sah saja dilakukan oleh siapapun yang
bertarung dalam rivalitas demokrasi elektoral. Hal ini, sangat lumrah
dilakukan di tengah bauran pemasaran politik untuk memersuasi pemilih.
Publisitas berbeda dengan pendekatan advertising yang
mengalokasikan anggaran khusus, karena pendekatan ini biasanya justru
memanfaatkan momentum situasi atau kejadian bernilai berita plus tanpa
biaya jika pun ada anggaran sifatnya low cost. Saya pernah mendefinisikan publisitas dalam buku saya Public Relations Politik
(2012) sebagai teknik penyiaran berita tentang peristiwa yang diatur
atau diciptakan terlebih dahulu untuk kepentingan seseorang atau lembaga
yang dalam tahap pertama tidak memerlukan biaya. Seorang pakar
publisitas Howard Stephenson (1960) dengan ringkas menyebut publisitas
sebagai news about events that are planned.
Ada empat tujuan publisitas yakni memalingkan perhatian, memperoleh penghargaan, good will
(niat baik), dan popularitas. Dalam konteks bertebarannya
spanduk-spanduk PKS di jalanan, jelas sudah bahwa spanduk-spanduk
tersebut sedari awal bukan tindakan sporadis yang dilakukan oleh
kader-kader PKS. Ini merupakan kerja sistematis yang barang tentu
dipersiapkan, dihitung dampak dan resikonya serta kemungkinan besar
dimasifikasi melalui struktur partai dari pusat hingga daerah.
Tujuannya, bukan semata-mata pada kritisisme PKS atas kenaikan BBM,
tetapi tindakan masif ini menjadi “panggung” tersendiri bagi pencitraan
mereka.
Publisitas PKS lewat “banjir”
spanduk ini di satu sisi memperlihatkan kepiawaian dan kenekatan PKS
dalam menjalan strategi pencitraan. Indikatornya, pertama PKS sudah memalingkan perhatian publik dalam kasus kenaikan BBM. Lewat spanduk yang tidak seberapa harganya, mereka menjadi news maker.
Serangan PKS mendapat reaksi dari pemerintah SBY, elite Demokrat, plus
bonus gaung berita di media massa. Berhari-hari spanduk PKS ini menjadi
nilai berita yang banyak dikupas media karena dikaitkan dengan sikap
politik PKS dengan mitra koalisinya yakni SBY.
Kedua, PKS mengubah spanduk yang biasanya hanya menjadi pure publicity atau publisitas melalui kejadian sehari-sehari dan apa adanya itu, menjadi tie-in publicity yakni publisitas melalui extra ordinary news
atau kejadian yang tidak biasa. Dengan anggaran murah PKS sesungguhnya
sedang “menghunjam” kesadaran publik dengan mengenalkan sejumlah nama
kader mereka yang akan nyaleg sekaligus mempopulerkan brand PKS jelang 2014. Ketiga,
PKS juga secara sadar sedang memecah perhatian publik atas opini
negatif yang akhir-akhir ini dialamatkan ke partai mereka karena
intensifnya pemberitaan kasus LHI dan Ahmad Fathanah. Dengan spanduk
yang terkesan garang tertsebut, PKS sedang membangun pesan bahwa
partainya masih ada, dan tetap kritis serta mengesankan diri sebagi
partai pro rakyat. Tujuannya sudah bisa ditebak, yakni manajemen kesan
agar memfasilitasi good will warga terutama pemilih. Mengubah
persepsi negatif ke netral dan akhirnya ke positif. Di saat berbarengan,
PKS sedang menguji untuk kesekiankalinya reaksi SBY dan Demokrat atas
pilihan bersebrangan yang diambilnya.
Konsistensi Sikap
Setelah
membanjiri ruang publik dengan pernyataan-pernyataan menggugat atas
rencana kenaikan BBM konsistenkah PKS atas pilihan sikap mereka? Ini
yang wajib dicermati oleh publik! Paling tidak ada dua catatan penting
atas sikap PKS tersebut.
Pertama,
masih ada potensi PKS bermain peran dalam konteks kenaikan BBM ini. Ada
elite PKS yang memerankan diri sebagai penentang kenaikan BBM dan
kelompok ini lantang menyerang di media arus utama (mainstream)
maupun di sosial media. Jika mendengar komentar-komentar seperti Fahri
Hamzah, Andi Ramhat dkk, yang setiap saat mengkspresikan penolakan
secara gamblang, kita seolah-olah melihat PKS akan bersebrangan dengan
pemerintah. Tetapi di saat bersamaan, kita juga menerima pesan bernada
dukungan terhadap kenaikan BBM dari elite PKS lain seperti Tifatul
Sembiring dan Elite Majlis Syura.
Kenaikan
BBM sendiri bukan persoalan enteng. Ini akan memengaruhi nasib jutaan
rakyat Indonesia. Publik akan menjadikan spanduk-spanduk yang bertebaran
dan kalimat yang berhamburan dari para elite PKS itu
sebagai bukti otentik pilihan sikap PKS. Jika mereka bermain-main dengan
wacana retoris tentu partai ini memang layak di hukum di Pemilu. Dalam
waktu dekat, kita akan mengetahui seperti apa sesungguhnya sikap PKS.
Jika akhirnya mereka menjilat lidahnya sendiri dan bersepakat dengan
kebijakan yang ditentangnya, publik akan menilai tidak konsistennya
partai ini. Ini bukan soal tepat tidanya rencana kenaikan BBM, tapi
lebih pada pilihan-pilihan sikap politik partai dan para elite yang
harus konsisten.
Kedua, yang harus dikritisi dari PKS adalah konsistensi pilihan sikap politik dengan konsekuensi atas eksistensi mereka di kabinet yang
dinahkodai SBY. Jika PKS bersebrangan dan tidak lagi satu orientasi
dengan SBY, seharusnya PKS juga mengembangkan sikap yang jelas yakni
keluar dari koalisi. PKS yang meletakan satu kaki di pemerintahan dan
menikmati “kue lezat” kekuasaan serta satu kaki lainnya seolah-olah
berada di luar kekuasaan menjadikan posisi PKS ambigu, tidak etis dan
pragmatis. Politik itu soal pilihan dan konsistensi atas sikap yang
sudah diambil. Jangan berperan ganda terlebih mempermainkan persepsi
publik dengan strategi manipulasi psikologis berbasis retorika belaka.
Jalan
panjang dan terjal akan dilalaui PKS di Pemilu 2014. Di luar persoalan
hukum yang membelit LHI dan berpotensi menyeret sejumlah nama elite PKS
lainnya di ranah hukum, PKS juga dihadapkan pada realitas pemilih kita
yang kian rasional dan melek informasi. Publisitas politik di jutaan
spanduk yang bertebaran tak akan bermanfaat apapun, jika orientasinya
hanya pencitraan dan konsistensi sikapnya hanya bualan. Jangan sampai
publik menilai “tong kosong nyaring bunyinya”, semoga PKS tidak! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar