Sabtu, 03 Agustus 2013

Mendorong Penguatan Pemilih Pemula di Pemilu 2014

 Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 30/5/2013)

Posisi pemilih pemula dalam penyelenggaraan Pemilu masih diposisikan sebagai objek dalam perebutan suara partai politik. Meski jumlahnya besar dan signifikan, tetapi pendekatan partai kepada pemilih pemula masih sporadis dan tidak memberdayakan. Padahal, kalau kita melihat potensi suara pemilih pemula dalam setiap pemilu selalu menjadi salah lapis pemilih menentukan. Pada pemilu 2004 dari 147,2 juta pemilih, 50,05 juta orang atau 34 persen di antaranya adalah pemilih pemula. Pada Pemilu 2009, dari 189 juta pemilih, ada 36 Juta orang atau 19 persen di antaranya pemilih pemula. Diprediksi pada Pemilu 2014, dari 190 jutaan pemilih ada kurang lebih 40 juta di antaranya pemilih pemula.

Secara historis, kaum muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan perjalanan bangsa ini. Nyaris tidak ada tonggak sejarah republik ini yang menafikan peran kaum muda. Tahun 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978 hingga peristiwa reformasi 1998, menjadi penanda peran nyata kaum muda di republik ini.

Setelah 15 tahun reformasi, ternyata proses konsolidasi demokrasi mengalami sumbatan.Partai politik menjadi salah satu persoalan nyata yang menyebabkan demokrasi berjalan stagnan. Permainan politik berbasis transaksional dari kelompok elite partai lebih dominan dibanding optimalnya fungsi-fungsi partai di masyarakat. Partai tidak bermetamorfosisi menjadi institusi kuat dan modern, melainkan tetap dengan corak lamanya yang berbasis feodalisme, oligarki dan transaksional. Salah satu dampak nyatanya dapat dirasakan saat penyelenggaraan Pemilu lima tahunan. Partai baru hadir dan melakukan kerja-kerja politik sesaat jelang Pemilu. Sehingga muncul kesenjangan antara pemilih dan partai politik. Penyakit turunan dari prilaku ini adalah politik menjadi sangat mahal, asal-asalan dan temporer.
 
Kenapa pemilih pemula saat ini terkesan apatis bahkan apolitis? Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkannya. Pertama, kian lemahnya PartyID atau identifikasi kepertaian. Rasa memiliki dan mengidentifikasi pilihannya dengan satu partai tertentu sulit dirasakan oleh kaum muda terutama pemiih pemula karena banyak di antara mereka yang mempersepsikan partai itu sebagai institusi yang outsider dari mereka. Kedua, persepsi buruk partai-partai di media massa dan sosial media. Tak dimungkiri, kaum muda itu rata-rata familiar dengan media terlebih sosial media seperti facebook, twitter, youtube dan sejumlah weblog interaktif lainnya. Sementara pemberitaan politik di media massa dan sosial media tersebut lebih banyak diisi oleh prilaku yang membuat kaum muda skeptic bahkan apolitis, misalnya parade korupsi lintas partai yang setiap saat terpampang di media. Ketiga, minimnya literasi politik yang dilakukan oleh partai kepada pemilih pemula. Jika pun partai datang dan melakukan kerja-kerja nyata di basis pemilih, motifnya tak lebih dari sekedar pertimbangan pemasaran politik.

Posisi pemilih pemula harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik di level nasional maupun lokal. Caranya, partai, akademisi, kelompok kepentingan, kelompok penekan,  pemerintah dan media massa, harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan sikap. Crick menegasakan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela.

Secara operasional gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014 melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation),  membuata peer group untuk sharing dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di basis-basis pemilih muda, mempublikasikan tulisan terkait harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok supra maupun infrastruktur politik dalam aktivitas yang memberdayakan. Selain itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menginisiasi respon opini publik terkait kebijakan publik seputar Pemilu dan mengintensifkan diskusi pemilu melalui beragam teknologi komunikasi.

Saatnya kaum muda menjadi lebih berdaya dan memiliki sikap yang tegas berbasis pemahaman memadai dalam menentukan suara di Pemilu 2014. Satu suara pemilih pemula akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Pemilih pemula bukan lagi masa mengambang yang mudah dimanipulasi! ***

Tidak ada komentar: