Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 30/5/2013)
Posisi pemilih pemula dalam penyelenggaraan Pemilu masih
diposisikan sebagai objek dalam perebutan suara partai politik. Meski
jumlahnya besar dan signifikan, tetapi pendekatan partai kepada pemilih
pemula masih sporadis dan tidak memberdayakan. Padahal, kalau kita
melihat potensi suara pemilih pemula dalam setiap pemilu selalu menjadi
salah lapis pemilih menentukan. Pada pemilu 2004 dari 147,2 juta
pemilih, 50,05 juta orang atau 34 persen di antaranya adalah pemilih
pemula. Pada Pemilu 2009, dari 189 juta pemilih, ada 36 Juta orang atau
19 persen di antaranya pemilih pemula. Diprediksi pada Pemilu 2014, dari
190 jutaan pemilih ada kurang lebih 40 juta di antaranya pemilih
pemula.
Secara
historis, kaum muda merupakan kelompok masyarakat yang turut menentukan
perjalanan bangsa ini. Nyaris tidak ada tonggak sejarah republik ini
yang menafikan peran kaum muda. Tahun 1908,1928, 1945, 1966, 1974, 1978
hingga peristiwa reformasi 1998, menjadi penanda peran nyata kaum muda
di republik ini.
Setelah
15 tahun reformasi, ternyata proses konsolidasi demokrasi mengalami
sumbatan.Partai politik menjadi salah satu persoalan nyata yang
menyebabkan demokrasi berjalan stagnan. Permainan politik berbasis
transaksional dari kelompok elite partai lebih dominan dibanding
optimalnya fungsi-fungsi partai di masyarakat. Partai tidak
bermetamorfosisi menjadi institusi kuat dan modern, melainkan tetap
dengan corak lamanya yang berbasis feodalisme, oligarki dan
transaksional. Salah satu dampak nyatanya dapat dirasakan saat
penyelenggaraan Pemilu lima tahunan. Partai baru hadir dan melakukan
kerja-kerja politik sesaat jelang Pemilu. Sehingga muncul kesenjangan
antara pemilih dan partai politik. Penyakit turunan dari prilaku ini
adalah politik menjadi sangat mahal, asal-asalan dan temporer.
Kenapa pemilih pemula saat ini terkesan apatis bahkan apolitis? Paling tidak ada tiga faktor utama yang menyebabkannya. Pertama,
kian lemahnya PartyID atau identifikasi kepertaian. Rasa memiliki dan
mengidentifikasi pilihannya dengan satu partai tertentu sulit dirasakan
oleh kaum muda terutama pemiih pemula karena banyak di antara mereka
yang mempersepsikan partai itu sebagai institusi yang outsider dari mereka. Kedua,
persepsi buruk partai-partai di media massa dan sosial media. Tak
dimungkiri, kaum muda itu rata-rata familiar dengan media terlebih
sosial media seperti facebook, twitter, youtube dan sejumlah
weblog interaktif lainnya. Sementara pemberitaan politik di media massa
dan sosial media tersebut lebih banyak diisi oleh prilaku yang membuat
kaum muda skeptic bahkan apolitis, misalnya parade korupsi lintas partai
yang setiap saat terpampang di media. Ketiga, minimnya
literasi politik yang dilakukan oleh partai kepada pemilih pemula. Jika
pun partai datang dan melakukan kerja-kerja nyata di basis pemilih,
motifnya tak lebih dari sekedar pertimbangan pemasaran politik.
Posisi
pemilih pemula harus diperkuat dengan pertimbangan kelompok ini akan
menjadi salah satu kantong menentukan dalam regenerasi kepemimpinan baik
di level nasional maupun lokal. Caranya, partai, akademisi, kelompok
kepentingan, kelompok penekan, pemerintah dan media massa, harus bersama-sama melakukan pengarusutamaan gerakan literasi politik. Mengutip pendapat Bernard Crick dalam tulisannya Essays on Citizenship (2000), singkatnya
literasi politik merupakan senyawa dari pengetahuan, keterampilan dan
sikap. Crick menegasakan literasi politik lebih luas dari hanya sekedar
pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam
kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam
melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena
publik yang sifatnya suka rela.
Secara
operasional gerakan literasi politik itu bisa dilakukan melalui upaya
mendaftar dan menganalisis isu-isu kontemporer seputar Pemilu 2014
melalui pendekatan CFR (conclusion, finding, recommendation), membuata peer group untuk sharing
dan melakukan aksi bersama, menyelenggarakan pendidikan politik di
basis-basis pemilih muda, mempublikasikan tulisan terkait
harapan-harapan kaum muda, dan membuat jejaring dengan kelompok supra
maupun infrastruktur politik dalam aktivitas yang memberdayakan. Selain
itu juga bisa melakukan advokasi untuk pemilih pemula, menginisiasi
respon opini publik terkait kebijakan publik seputar Pemilu dan
mengintensifkan diskusi pemilu melalui beragam teknologi komunikasi.
Saatnya
kaum muda menjadi lebih berdaya dan memiliki sikap yang tegas berbasis
pemahaman memadai dalam menentukan suara di Pemilu 2014. Satu suara
pemilih pemula akan menentukan nasib bangsa ini ke depan. Pemilih pemula
bukan lagi masa mengambang yang mudah dimanipulasi! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar