Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 13/5/2013)
Perdebatan mengenai hasil survei sebuah lembaga sangatlah wajar
terjadi. Nalar kritis dan ruang dialektikaterfasilitasi melalui media
arus utama (mainstream),media sosial, forum akademik hingga
perbincangan informal warga. Inilah salahsatu ekspresi kebebasan
berpendapat termasuk kebebasan melakukan pengukuran opini yang
berkembang di masyarakat.
Baru-baru ini,
Lembaga Survei Nasional(LSN) menarik perhatian media terutama terkait
dengan publikasi hasil riset yang menyatakan Aburizal Bakrie (ARB)
disebut sebagai capres 2014 paling favorit di kalangan muda. ARB menurut
riset tersebut dipilih oleh 18,6 persen mengungguli Wiranto 16,4 persen
dan Prabowo 12,5 persen. Hasil survei ini,memiliki perspektif berbeda
dengan survei-survei pra pemilu 2014 yang regular dilakukan oleh lembaga
survei lainnya dan kali pertama memosisikan ARB dalamposisi favorit.
Benarkah gambaran hasil survei tersebut?
Prematur
jika kita menyimpulkan ARB benar-benar favorit! Alasannya, pengukuran
opini publik itu dinamis. Satu publikasi hasil riset tentang capres
perlu diuji lagi dalam rentang waktu sesudahnya. Ini penting terutama
untuk melihat trend solidnya opini publik.Meskipun awalnya opini publik
itu beragam, acak dan terserak tetapi lama-lama akan mengalami fase
solid dan menunjukkan trend yang cenderung sama. Selain itu,objek yang
sama juga bisa kita komparasikan dengan hasil riset lembaga-lembaga
lain. Nanti, bisa kita peroleh apakah hasil riset itu memungkinkan
diterima secara ilmiah atau tidak. Jika hasil survei berbeda sendiri dan
kecenderungannya menjadi opini minor, kita layak mempertanyakan
kredibilitas hasil survei yang bersangkutan.
Inilah
menariknya survei ilmiah, kita bisa mengonfirmasi berdasarkan standar
metodologis yang diterima dan bisa diuji semua pihak. Dalam praktiknya, aktivitas survei itu terbagi menjadi survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang
ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur,
memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah
satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media
untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk
juga perubahan prilaku pemilih.
Dalam
UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi
masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan
yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.Dalam praktiknya,
muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembagasurvei yang
kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orangatau
lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral.
Sangatterbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung.
Di
level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke
dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan
sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat
mudah terdeteksi karena hasil riset bisasaja aneh dan jauh berbeda
dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya, sangatpenting mengonfirmasi
prosedur sampling yang dirumuskan sekaligusoperasionalisasinya di
lapangan.
Di level publikasi hasil survei jugakerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect
dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk
memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap
melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang
mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan
itu juga diamini media mengingatketerbatasan rubrik atau air time,serta agenda setting yang menjadipilihan mereka.
Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap
menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil. Inilah yang saya
sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini
pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.
Kembali
ke posisi ARB yang konon katanya difavoritkan pemilih muda, ada baiknya
khalayak melakukan apresiasi kritis.Tetap menghormati hasil survei
tersebut, tetapi juga jangan menelan mentah-mentah gambaran angka yang
disodorkan. Media bisa menjadi katalisator pendidikan politik terkait
hasil survei ini. Caranya, harus ada standarisasi publikasi hasil
survei. Metodologi yang digunakan saat mengurai hasil harus dijelaskan
secara komprehensif.
Selain itu, pemberitaan jangan
bersifat linear hanya mempublikasikan data dari lembaga survei. Harus
ada analisis imparsial dari ahli yang relevan guna memberi perspektif
atas hasil survei yang akan menjadi asupan bagi masyarakat.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar