Sabtu, 03 Agustus 2013

Membaca Hasil Survei Calon Presiden 2014

Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 13/5/2013)

Perdebatan mengenai hasil survei sebuah lembaga sangatlah wajar terjadi. Nalar kritis dan ruang dialektikaterfasilitasi melalui media arus utama (mainstream),media sosial, forum akademik hingga perbincangan informal warga. Inilah salahsatu ekspresi kebebasan berpendapat termasuk kebebasan melakukan pengukuran opini yang berkembang di masyarakat.

Baru-baru ini, Lembaga Survei Nasional(LSN) menarik perhatian media terutama terkait dengan publikasi hasil riset yang menyatakan Aburizal Bakrie (ARB) disebut sebagai capres 2014 paling favorit di kalangan muda. ARB menurut riset tersebut dipilih oleh 18,6 persen mengungguli Wiranto 16,4 persen dan Prabowo 12,5 persen. Hasil survei ini,memiliki perspektif berbeda dengan survei-survei pra pemilu 2014 yang regular dilakukan oleh lembaga survei lainnya dan kali pertama memosisikan ARB dalamposisi favorit. Benarkah gambaran hasil survei tersebut?

Prematur jika kita menyimpulkan ARB benar-benar favorit! Alasannya, pengukuran opini publik itu dinamis. Satu publikasi hasil riset tentang capres perlu diuji lagi dalam rentang waktu sesudahnya. Ini penting terutama untuk melihat trend solidnya opini publik.Meskipun awalnya opini publik itu beragam, acak dan terserak tetapi lama-lama akan mengalami fase solid dan menunjukkan trend yang cenderung sama. Selain itu,objek yang sama juga bisa kita komparasikan dengan hasil riset lembaga-lembaga lain. Nanti, bisa kita peroleh apakah hasil riset itu memungkinkan diterima secara ilmiah atau tidak. Jika hasil survei berbeda sendiri dan kecenderungannya menjadi opini minor, kita layak mempertanyakan kredibilitas hasil survei yang bersangkutan.

Inilah menariknya survei ilmiah, kita bisa mengonfirmasi berdasarkan standar metodologis yang diterima dan bisa diuji semua pihak. Dalam praktiknya, aktivitas survei itu terbagi menjadi  survei non-scientific seperti SMS Survey (call in survey), internet survey, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh partikel kecil yang menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas kandidat termasuk juga perubahan prilaku pemilih.

Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.Dalam praktiknya, muncul skeptisme publik atas nilai etis lembaga-lembagasurvei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orangatau lembaga yang punya kepentingan politik dalam kontestasi elektoral. Sangatterbuka lebar kemungkinan adanya conflict of interest dalam survei yang didanai oleh client yang sedang bertarung.

Di level metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu terjerembab ke dalam kekeliruan mendasar misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan elementer ini akan sangat mudah terdeteksi karena hasil riset bisasaja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain. Oleh karenanya, sangatpenting mengonfirmasi prosedur sampling yang dirumuskan sekaligusoperasionalisasinya di lapangan.

Di level publikasi hasil survei jugakerap memancing kontroversi. Hal ini berkaitan dengan bandwagon effect dari rilis hasil survei, yakni kecenderungan pengonsumsi media untuk memilih orang atau partai yang diunggulkan dalam survei. Kita kerap melihat, lembaga survei menaikan suatu isu dari hasil riset dan kurang mengangkat hasil lainnya. Publikasi hasil riset tidak komprehensif dan itu juga diamini media mengingatketerbatasan rubrik  atau air time,serta agenda  setting yang menjadipilihan mereka.

Senyawa kepentingan pemesan survei dan bingkai agenda media kerap menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil.  Inilah yang saya sebut sebagai era komodifikasi survei, karena ternyata hasil riset ini pun menjadi komoditi yang sexy dalam partarungan isu media.

Kembali ke posisi ARB yang konon katanya difavoritkan pemilih muda, ada baiknya khalayak melakukan apresiasi kritis.Tetap menghormati hasil survei tersebut, tetapi juga jangan menelan mentah-mentah gambaran angka yang disodorkan. Media bisa menjadi katalisator pendidikan politik terkait hasil survei ini. Caranya, harus ada standarisasi publikasi hasil survei. Metodologi yang digunakan saat mengurai hasil harus dijelaskan secara komprehensif.

Selain itu, pemberitaan jangan bersifat linear hanya mempublikasikan data dari lembaga survei. Harus ada analisis imparsial dari ahli yang relevan guna memberi perspektif atas hasil survei yang akan menjadi asupan bagi masyarakat.****

Tidak ada komentar: