Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 15/5/2013)
Mengikuti pemberitaan seputar Calon Anggota Legislatif (Caleg)
2014 seolah mendengar lagu lama yang diputar ulang. Nada sumbang kembali
mengalun seolah menjadi pesan bahwa perubahan sulit diwujudkan.
Problematika Pencalegan dari pemilu ke pemilu nyaris sama, yakni
minimnya persiapan matang partai politik dalam distribusi dan alokasi
orang untuk menjadi calon wakil rakyat. Model kerja sporadis dan
penyusunan nama di penghujung waktu membuat banyak orang tergopoh-gopoh
memenuhi berbagai syarat pencalegan.
Momentum Partai
Demokrasi
elektoral sejak pemilu 1999 seharusnya menjadi momentum konsolidasi
demokrasi. Paling tidak, ada tiga potensi yang seharusnya dimanfaatkan
oleh seluruh partai politik untuk lebih artikulatif dan sistemik dalam
memaknai eksistensi mereka.
Pertama,
partai memiliki kebebasan berekspresi yang terfasilitasi oleh perubahan
sistem politik pasca Soeharto. Koorporatisme politik yang dilakukan
figur sentral penguasa tak lagi bisa diterapkan. Kondisi ini secara
substantif memungkinkan modernisasi politik dari sekedar ornamen
demokrasi di era Orde Baru ke peran signifikan dalam penataan
kelembagaan meliputi performa ritual, organisasional, politis, dan
enkulturasi. Tapi setelah melalui 3 kali pemilu pasca reformasi
kondisinya tetap stagnan yakni partai tetap feodal,
oligarkis dan transaksional. Partai-partai yang ada saat ini masih
bergantung pada kekuatan figur dan kecenderungannya melembagakan
personalisasi politik bukan sistem politik. Sebagai organisasi, partai
tentu akan mengalami penstrukturan organisasi.
Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions
(1996) penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi
dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumberdaya oleh anggota
kelompok. Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan
sumberdaya manusia selalu menggantungkan kekuatannya pada satu figur
dan garus keturunannya, maka tentu partai bersangkutan tak akan pernah
menjadi partai modern.
Kedua, partai-partai
pasca reformasi sesungguhnya memiliki peluang untuk menjembatani
berbagai tuntutan dan dukungan di masyarakat. Artinya partai bisa
memfungsionalisasikan diri secara optimal tanpa terbebani oleh kekuatan
luar partai. Namun dalam praktiknya, setelah terlepas dari kuatnya
kendali penguasa di era Orde Baru, justeru partai terbebani oleh laku
politik yang dikendalikan pasar (market driven).
Indikatornya, partai kerap terjebak dalam logika M-C-M (money-commodity-more money).
Partai dan berbagai aktivitasnya kerap diposisikan sebagai komiditi
yang bisa dikapitalisasi dalam berbagai kontestasi yang terjadi di level
nasional seperti dalam pencalegan dan pencapresan maupun yang terjadi
di level lokal seperti dalam berbagai pilkada. Cara berpikir ini kerap
memosisikan partai bak mobil rental dan bisa disewa siapa saja yang
memiliki uang guna pencapaian kepentingan mereka.
Ketiga,
potensi melakukan kanalisasi sumberdaya politisi profesional yang
dibutuhkan dalam penguatan bangsa ini ke depan. Partai dalam sistem
demokrasi merupakan elemen penting yang seyogianya ada dan kuat.
Pemimpin dan calon pemimpin seharusnya bisa tumbuh kembang dari rahim
partai yang sehat dan memberdayakan. Faktanya, hingga kini partai kita
mengalami kesulitan melakukan kanalisasi SDM tersebut. Tradisi patron-client yang banyak dialami partai saat ini, justru menjadi inkubator tumbuh kembangnya para koruptor baru!
Caleg Karbitan
Yang
menarik kita telaah dari prilaku partai politik adalah gaya “nekat”
dalam pencalegan. Partai kerapkali mengabaikan tahapan-tahapan dalam
proses distrubusi dan alokasi orang ke dalam jabatan publik. Gejala yang
hampir merata dialami seluruh partai kontestan pemilu 2014. Mereka
banyak “mencomot” caleg mereka tanpa sebuah mekanisme berjenjang.
Terlebih jika caleg yang bersangkutan punya sumberdaya yang kerap
“merangsang” partai untuk mendekatinya. Sejumlah sumberdaya tersebut
adalah popularitas, basis nyata simpul suara, uang dan akses serta
konstruksi opini di media.
Popularitas
dimiliki para selebritas yang terbiasa mendapatkan ruang berita di
media massa. Basis nyata simpul suara biasanya diidentikan dengan tokoh
organisasi masyarakat, tetua adat, agamawan, yang kesehariannya
penetratif ke basis-basis pemilih. Uang dan akses biasanya menjadi alat
nego para pengusaha yang kerapkali berminat nyaleg untuk proteksi bisnis
mereka. Terakhir konstruksi opini di media melibatkan human agency
seperti pekerja media atau orang yang mengendalikan media. Makanya
jangan heran kalau di deretan caleg 2014 juga kita bisa dengan mudah
menemukan deretan nama jurnalis atau mantan jurnalis.
Sesungguhnya
yang membuat publik pesimis bukan pada latarbelakang profesi mereka,
karena sesungguhnya setiap warganegara memiliki hak memilih dan dipilih
yang melekat pada dirinya. Semua orang dengan beragam latarbelakang
profesinya harus dihormati saat berminat untuk berpartisipasi dalam
pemilu.
Yang mengkhawatirkan dan
mendapat sorotan tajam sesungguhnya adalah model dadakan dalam
pencalegan. Menjadi wakil rakyat itu amanah kekuasaan yang sangat
serius. Jabatan tersebut tidak layak dipegang oleh sejumlah orang yang
sedang belajar, coba-coba atau petualang. Perlu kesungguhan dalam
penyiapan diri sebelum mereka terpilih menjadi wakil rakyat. Caleg bukan
lahan mencari pekerjaan, karena substansi jabatan itu untuk dedikasi
dan pengabdian mewakili sejumlah basis konstituen. Setiap caleg yang
diajukan partai seharusnya memiliki komptensi intelektual, moral dan
sosial. Partai seharusnya bukan semata mendistribusikan orang tetapi
memiliki tanggungjawab untuk melakukan rekrutmen, menyamakan nilai-nilai
dan ideologi partai serta melihat rekam jejak setiap caleg mereka.
Tahapannya tak cukup hanya 1 tahun atau beberapa bulan jelang
pencalegan. Butuh sebuah sistem berjenjang dan berkelanjutan untuk
mengumpulkan sejumlah nama yang benar-benar layak.
Jika
tahapan demi tahapan dilakukan dengan baik dan tidak tergesa-gesa,
sudah pasti karut-marut pencalegan 2014 tidak akan terjadi. Saat ini
kita prihatin dengan banyaknya caleg yang tak lolos verifikasi KPU dan
jumlahnya bukan satu dua melainkan ratusan. Bahkan ada tiga partai
politik yang seluruh calegnya tak lolos verifikasi. Meskipun mereka
masih bisa memperbaiki, tetapi hal ini sudah cukup menjadi gambaran
buruknya proses pencalegan 2014.
Ada beberapa langkah yang semestinya dilakukan oleh partai untuk penyiapan distribusi dan alokasi SDM menjadi caleg. Pertama,
perlu adanya penjenjangan dalam sistem kaderisasi. Partai harusnya
membuat sebuah pola rekrutmen berjenjang dengan mempertimbangkan
keterwakilan kaum muda, perempuan, kelompok-kelompok kepentingan di
masyarakat. Rekrutmen ini tidak dilakukan hanya menjelang Pemilu
melainkan sepanjang tahun. Proses pembinaan loyalis dengan sendirinya
akan berlangsung saat sejumlah orang yang direkrut tadi dilibatkan dalam
kerja-kerja kepartaian. Ini juga akan menghindari kesenjangan
komunikasi antara partai dan caleg serta merekatkan PartyID atau
identifikasi pemilih dengan partai.
Kedua, partai harus melembagakan pendekatan Triple-C. Yakni, community relations (hubungan komunitas), community empowerment (pemberdayaan komunitas) dan community services (pelayanan komunitas).
Dengan
pendekatan tersebut secara alamiah partai akan bertemu dengan sejumlah
figur berbasis komunitas yang bisa menjadi caleg mereka. Sebenarnya
pendekatan ini menguntungkan bagi partai. Selain benar-benar sesuai
dengan konsep politik perwakilan dalam trias politika, partai juga punya
memiliki akar kuat di basis pemilih.
Ketiga,
partai harusnya memiliki kemampuan refleksivitas dalam setiap tahapan
pencalegan. Tidak hanya menyusun, tetapi juga melihat dinamika dan
orientasi-orientasi idealis dan strategis partai ke depan. Jika ada
caleg mereka bermain-bermain dengan aturan yang dikonsensuskan, maka
sudah seharusnya partai mencoret caleg tersebut dari DCS! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar