Kamis, 21 April 2011

FENOMENA POLITISI LOMPAT PAGAR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Kamis 14/04/2011)

Sudah dipastikan Partai Amanat Nasional (PAN) tak akan lagi menjadi rumah politiknya Dede Yusuf. Dinamika lompat pagar politisi yang saat ini menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat telah menjadi perhatian publik tak hanya di tingkat lokal melainkan juga di nasional.

Fenomena lompat pagar dari satu partai ke partai lain yang dilakukan para politisi yang menjabat di pemerintahan daerah, tak hanya dialami Dede Yusuf dan PAN. Pikiran Rakyat (Rabu,13/04) menyebutkan sejumlah nama antaralain Aceng Fikri (Bupati Garut) dari independen ke Golkar. KH. Nashiruddin AM (Bupati Kebumen) dari partai PDIP yang menyebrang ke Demokrat. Mardani H Maming (Bupati Tanah Bambu) dari PKB ke PDIP. Satono (Bupati Lampung Timur), Palino Popang (Wakil Bupati Toraja) dan Vicky Lumenttut (Wali Kota Manado) hijrah dari Golkar ke Demokrat. Deretan nama tersebut tentu masih akan bertambah seiring dengan dinamika internal partai dan hitung-hitungan politik para politisi ke depan.

Jika kita identifikasi, paling tidak ada sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab mengapa para politisi lompat pagar. Pertama, adanya rasionalitas pragmatis berbasis matematika politik yang ditelah dibuat oleh para politisi terkait dengan karir politiknya di masa mendatang. Tentu, sebagai politisi yang masih memiliki peluang untuk berkuasa, hasrat mempertahankan kekuasaan menjadi sesuatu yang lumrah dan seolah apa adanya.

Dalam konteks menyusun basis dukungan dan pemetaan kekuatan inilah, kerapkali politisi tergoda untuk menyebrang dari rumah politiknya, karena dia tak lagi yakin dengan simpul dan jejaring basis suara partainya sekarang. Pemilukada Jabar akan berlangsung 2013. Sangat mungkin Dede Yusuf membaca peta dan memiliki asumsi bahwa Partai Demokrat akan lebih memungkinkan dirinya maju dan memenangi Pemilukada. Rasionalitas pragmatis ini basis dasarnya adalah kepentingan, eksternalisasi diri, penyesuaian diri serta mekanisme pertahanan diri.

Kedua, gagalnya kaderisasi parpol. Hal ini terkait dengan mekanisme internal partai yang kerap tidak berjalan karena lemahnya fungsi-fungsi organisasi dalam membentuk dan menyalurkan kader ideologis. Dalam tahapan kaderisasi yang baik partai seharusnya tak hanya mampu merekrut, tetapi juga membina kader loyalis dan ideologis. Sejak Pemilu 1999 hingga 2009, banyak parpol bertindak pragmatis dengan mengisi jabatan-jabatan publik yang diperolehnya melalui mekanisme transaksional.

Selain itu, banyak juga yang mengusung politisi wakil untuk mengisi kursi DPRD, DPR-RI hingga jabatan kepala-kepala daerah. Politisi wakil biasanya bukan berasal dari kader, melainkan dari figur-figur tertentu yang dianggap memiliki popularitas sehingga diharapkan menjadi vote getter (pendulang suara).

Ketiga, adanya oligarki partai dalam mekanisme pembuatan keputusan. Plato dalam maha karyanya Republic yang pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elit. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.

Jika melihat fenomenanya saat ini, ketiga faktor tadi sangat dominan mewarnai parpol-parpol yang ada sekarang. Jadi, tidak mengherankan jika banyak politisi yang sudah menjabat dan berhitung dengan jabatannya ke depan, akan berpikir pragmatis seperti selama ini disimulasikan oleh parpol di mana dia bernaung. Sebuah pelembagaan karakter politik berbasis traksaksional.***

Sumber Gambar:

www.buletininfo.com

TITIK NADIR CITRA DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, Senin, 11/04/2011)


Citra DPR hingga saat ini masih menjadi “si buruk rupa”.Seolah tak pernah mau belajar dari berbagai kesalahan para anggota DPR periode sebelumnya, wakil rakyat periode 2009-2014 ini pun kerap terjerembab pada berbagai tindakan yang paradoks dengan identitas simboliknya yang terhormat. Belakangan ini, citra DPR tampak terjun bebas seiring dengan sikap keras mereka untuk tetap melanjutkan pembangunan gedung baru.

Di tengah proyek mercusuar pembangunan gedung baru, pada Jumat (8/4) juga mencuat perilaku tidak etis Arifinto, salah satu anggota dewan yang membuka situs porno di tengah rapat paripurna yang sedang membicarakan urusan rakyat. Meski tak ada hubungannya dengan rencana pembangunan gedung baru, publik bertanya, pantaskah mereka mendapatkan kehormatan berlebih di tengah melorotnya kinerja dan fungsionalisasi peran DPR?

Bukan Wakil Rakyat

Tanpa sebuah riset opini publik yang ilmiah sekalipun, tampak sudah sangat kasat mata bahwa rencana pembangunan gedung baru DPR ini mendapatkan penentangan yang sangat luar biasa dari publik. Rapat konsultasi antarpemimpin DPR, pemimpin fraksi, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pada Kamis (7/4) memutuskan dengan sangat gagah berani bahwa proyek tersebut jalan terus, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Hanya ada dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi Amanat Nasional (F-PAN) dan Fraksi Partai Gerindra. Selebihnya, mereka gagah berani menentang suara rakyat yang jelas-jelas tidak rela Rp 1,3 triliun uangnya digelontorkan hanya untuk memuaskan obsesi segelintir kelompok elite. Terlebih, politikus elite Senayan itu banyak yang tak amanah atas fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.

Tampak ada kekeliruan basis logika sangat mendasar dalam proses berlanjutnya pembangunan gedung baru DPR. Pertama, keputusan tersebut mencederai kehakikian tugas mereka sebagai wakil rakyat. Seorang anggota DPR dalam praktik demokrasi perwakilan seharusnya mewakili kepentingan rakyat. Elite harus mau mendengar dan menyalurkan tuntutan, desakan serta alternatif pemikiran rakyat, bukan sebaliknya, memanipulasi dan sombong dengan menyatakan rakyat tak perlu diajak bicara dalam konteks urusan yang sedang menjadi perhatian mereka. Kalau urusannya sekadar prosedur pembangunan yang sudah berjalan, mekanisme rapat konsultasi pemimpin atau forum rapat paripurna DPR bisa saja menganulir rencana tersebut.

Kedua, setumpuk pekerjaan rumah 2011 belum usai. Sejumlah RUU dan revisi atas UU mendesak untuk segera dituntaskan. Akan lebih elegan jika DPR mengawali paruh pertama 2011 ini dengan menunjukkan stimulus kerja optimal ke publik, baik pada fungsi legislasi, kontrol maupun anggaran. Bukan sebaliknya, serta merta menstimulasi rakyat dengan rencana pembangunan gedung baru. Lagi-lagi, ini menunjukkan cara berkomunikasi politik yang lemah. Kita tentu masih ingat bagaimana Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 sangat amburadul karena banyaknya bahasan yang belum tuntas.

Ketiga, tampak ada permainan tak elok di panggung media mengenai sikap para anggota DPR dan elite parpol yang seolah-olah pro opini masyarakat untuk menentang rencana pembangunan gedung baru, tetapi dalam praktiknya fraksi mereka sangat bulat mendukung keberlanjutan rencana. Penolakan bersifat basa-basi sekadar urusan pencitraan di media saja. Bahkan, penulis menangkap ada semacam persekongkolan berjamaah dalam rencana ini. Sepatutnyalah kita mewaspadai kepentingan ekonomi yang dominan di balik ini.

Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip William D Perdue (Sociological Theory: Explanation, Paradigm and Ideology, 1986) kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah tindakan logis yang mengarahkan pada maksimalisasi kepuasan serta kerap menihilkan nilai dalam memahami sistem sosial. Seribu satu cara bisa dilakukan untuk membuat argumentasi logis, seolah-olah semua fasilitas itu memang layak dan seharusnya diberikan kepada anggota dewan untuk mendukung optimalisasi kinerja mereka.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga turut andil dalam penolakan model basa-basi ini. Dalam konteks ini, SBY menginstruksikan perlunya penghematan anggaran, terutama dalam pembangunan gedung kantor serta rumah-rumah dinas, jika tidak memiliki urgensinya. Ironisnya, seolah tidak menghiraukan pernyataan SBY, para elite di DPR melanjutkan misi “petualangan” mereka. Menarik memosisikan SBY dalam konstelasi ini, terutama hubungannya dengan sikap Partai Demokrat sebagai partai besar. SBY di luar jabatannya sebagai presiden adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Arahannya sangat didengar kebijakan Demokrat, karena secara geneologi politik, SBY merupakan figur yang teramat menentukan di dalam tubuh partai berlambang bintang mercy ini. Instruksi presiden SBY soal penghematan anggaran nyatanya tak memperoleh tautan respek publik yang memadai, karena SBY sangat terlambat merespons isu ini, sekaligus terkesan basa-basi. Hasilnya pun bisa ditebak, fraksi Demokrat tetap mendukung rencana pembangunan gedung baru.

Moralitas Politikus

Satu hal lagi faktor yang menyebabkan citra DPR di titik nadir adalah persoalan moralitas dan etika. Kegaduhan opini publik kini bersumber dari sosok politikus PKS, Arifinto. Perbuatannya membuka situs porno di saat rapat paripurna telah menjadi penyempurna wajah buruk DPR kita. Terlepas dari sengaja atau tidak tindakan ini sudah out of context dari fungsi dan peran anggota dewan.

Tentu ini merupakan pukulan telak bagi brand image fraksi PKS di DPR, karena saat ini kampanye mereka banyak mengusung tema bersih dan peduli, selain gencar menyuarakan moralitas dalam berpolitik dengan identitas sebagai partai dakwah. Tentu, PKS bukan hanya Arifinto, karena masih banyak kader lainnya. Oleh karenanya, PKS diimbau lebih terbuka dan tidak menjadi bungker pertahanan orang bermasalah.

Perbuatan melihat situs porno di saat sidang paripurna tidak saja merusak nama partai tempat si politikus berada, melainkan juga kian mendelegitimasi kehormatan DPR. Oleh karenanya, Badan Kehormatan (BK) DPR juga harus transparan menindaklanjuti masalah ini. Jika tidak, DPR benar-benar akan sampai di titik nadir.***

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/titik-nadir-citra-dpr/

Sumber gambar:

www.kebebasaninformasi.org

ZONA PERANG INFORMASI GLOBAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Jum'at 08/04/2011)

Laporan utama harian Seputar Indonesia, Kamis (7/4), mengulas secara khusus opini negatif yang belakangan kembali marak menyerang Indonesia.

Tulisan “Indonesia Diserang Opini Negatif” seolah mengingatkan pembaca akan sebuah konstelasi perang global yang kerap luput dari perhatian khalayak, yakni perang informasi. Relasi kuasa antarnegara serta antarblok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zona of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Media menjadi alat pengendalian isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi”yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.

Strategi Perang

Perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui tiga strategi. Pertama, strategi pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolaholah “kepribadian” masingmasing media.Fenomena inilah yang oleh C Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.

Dalam konteks ini, sangatlah wajar jika muncul pembacaan ulang, bahwa apa yang diberitakan The Age, Sydney Morning Herald (SMH), Times, The Wall Street Journal terkait juga dengan upaya menjadikan Indonesia dalam zona perang informasi. Pada 11 Maret 2011, The Age dan SMH yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media secara berbarengan memublikasikan informasi yang mendiskreditkan SBY.Judul besar The Age misalnya, Yudhoyono ‘Abused Power’, menjadi headline dan didedah dengan bahasa yang provokatif yang bersumber dari bocoran WikiLeaks. Terlepas dari benar tidaknya substansi pemberitaan tersebut, ada garis merah penyetingan agenda terkait dengan momentum ledakan informasi tersebut.

Isu itu dicuatkan bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Berita negatif soal Indonesia juga dipaparkan dalam tulisan Kelley Currie di harian The Wall Street Journal yang berjudul Indonesia’s Seven-Year Itch.Kemasan artikel opini yang dimuat 30 Maret 2011 ini pun langsung menusuk kredibilitas SBY yang dianggap gagal mengelola sistem politik,hukum,dan HAM. Berita terkini yang sama negatifnya soal Indonesia adalah berita Majalah TimeHolidays in Hell: Bali’s Ongoing” yang ditulis oleh Andrew Marshall yang menulis secara provokatif soal Bali.

Marshall sengaja menggunakan istilah neraka untuk menggambarkan Bali yang penuh sampah, limbah industri, dan kemacetan lalu lintas yang akut.Secara faktual laporan Marshall tersebut memang banyak benarnya.Hanya pengemasan kata-kata yang sangat provokatif dan sinis membuat kita seolah sedang membaca media kuning bukan majalah bereputasi baik di dunia Internasional. Menurut Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media (1972) dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa,maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.Sangat mungkin media massa dijadikan instrumen dalam perang informasi di era modern seperti sekarang.

Strategi kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negaranegara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. Sebanyak 60–70% berita media di antero dunia bersumber dari AP (Associated Press), UPI (United Press International), Reuters, dan AFP (Agence France Presse). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini.

Strategi ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games.Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan.Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm.

Pola Implementasi

Dalam praktik perang informasi melalui media massa,ada beberapa pola yang biasanya bisa kita baca. Pertama,memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang simetris. Hal ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name calling atau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Contohnya pemberian label “neraka”, abuse of power,pemimpin gagal,pelanggar HAM, gang of nih, Nine Dragon, dan lain-lain.

Kedua, biasanya perang dihembuskan oleh komunikator dalam hal ini penulis dan media yang memiliki reputasi, sehingga diharapkan memberi impresi sekaligus gaung yang kuat pada khalayak yang dituju. The Wall Street Journal yang terbit di New York misalnya, merupakan koran sangat berpengaruh di AS.Koran ini bertiras 1,8 juta eksemplar. Pernah nomor satu di AS dengan tiras 2,6 juta eksemplar, meski sekarang menjadi nomor dua setelah USA Today.Begitu pun Time,The Age dan SMH merupakan media-media yang berpengaruh. Para penulisnya seperti Kelley Currie yang menulis di The Wall Street Journal merupakan peneliti senior Project 2049 Institute,sebuah lembaga think-tank di Washington. Philip Dorling yang menulis di The Age dan SMH, adalah sejarawan alumni program doktor dari Flinders University yang saat ini tercatat sebagai visiting fellow pada Australian Defence Force Academy yang berafiliasi pada University of New South Wales, Australia.

Perpaduan antara reputasi media dan penulisnya ini dalam perang informasi menjadi modal penting terutama untuk peneguhan pengaruh saat informasi didistribusikan ke khalayak internasional. Zona perang informasi global memang nyata ada di hampir seluruh negara di dunia, oleh karenanya Indonesia harus terus mencermati pergerakannya sehingga tak sekadar menjadi korban atau pelengkap penderita.●

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/391695/

Sumber gambar:

www.arrahmah.com

POLITIK TANPA LITERASI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Politika, Harian Jurnal Nasional, 30/03/2011)

Jika asumsi banyak orang terkait praktik politik kekinian di Indonesia disederhanakan, maka kemungkinan akan muncul tiga kata yang mewakilinya yakni traksaksional, pertarungan dan kekuasaan. Ketiga penggambaran tersebut, seolah memiliki tautan dengan realitas dan dinamika politik yang kini berkembang dari hari ke hari. Pemilu 2014 masih lama, tapi kontestasi yang melibatkan manajemen konflik, strategi menaikan legitimasi diri dan mendelegitimasi kekuatan yang lain sudah membuat jagat politik kita sangat gaduh sebelum waktunya. Seluruh energi elit tercurah pada pemetaan kekuataan dan matematika politik untuk pergantian kekuasaan pasca Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tahun Kontestasi

Tahun 2011 memang sudah diprediksi akan menjadi tahun kontestasi. Bahkan muncul gejala komplikasi yang menyebabkan politik kita tak sehat. Kontestasi yang paling mencolok terjadi di tiga bidang.

Pertama, kontestasi dalam mengisi dan menentukan arah dari tipe kekuasaan eksekutif yang telah menjadi pilihan. Saat ini, Indonesia menganut sistem presidensialisme meski kerap bercitarasa parlementarisme. Dinamika multipartai di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme.

Problem mendasar kita saat ini adalah praktik presidensialisme banyak tereduksi oleh sistem multi partai ekstrem. Misalnya dalam membentuk pemerintahan, SBY-Boediono harus mengakomodasi begitu banyak kepentingan parpol sehingga zaken kabinet yang idealnya bisa dilakukan presiden dan wakil presiden yang memenangi pemilu dengan meyakinkan, akhirnya sulit terwujud. Birokrasi kerap tersandra oleh politik representasi.

Kita bisa melihat dengan kasat mata, bagaimana etika politik dari mitra koalisi yang kerap tidak terjaga. Tekanan politik yang signifikan, justru lebih banyak datang dari dalam lingkar kekuasaan. Dalam hal ini, dari partai-partai yang memproklamirkan diri sebagai mitra koalisi. Golkar dan PKS misalnya bisa dengan leluasa menikmati atmosfir kekuasaan yang dibagikan oleh SBY, dan di saat bersamaan juga menerapkan strategi mirip oposisi. Tentu saja, hal ini tak terlepas dari upaya mereka menaikan daya tawar di kekuasaan dan memperkuat legitimasi menuju 2014.

SBY lebih mengedepankan politik harmoni dalam penyelsaian kegaduhan politik pasca pengajuan Hak Angket Pajak yang sempat membuat hubungan antar mitra koalisi merenggang. Memang kondisi politik penuh paradoks ini, memberi pilihan dilematis bagi SBY. Saat itu, sempat beredar empat formula yakni PKS dikeluarkan dari koalisi dan mempertahankan mitra yang lain. Ini artinya total kursi kekuatan SBY di DPR sebanyak 366 kursi (65,36 persen). Pilihan lain, PKS-Golkar sama-sama ditendang dari gelanggang artinya SBY akan didukung oleh 260 kursi (46,43 persen). Sebuah peta kekuatan yang sangat riskan bagi eksistensi pemerintahan SBY ke depan. Formula berikutnya yang tersedia adalah PKS dicerai dan menggandeng pasangan baru yakni Partai Gerindra serta tak mengubah posisi mitra lainnya. Skenario ini akan menghasilkan peta kekuatan 392 kursi (70 persen). Terakhir, PKS-Golkar “ditalak empat” dan memasukan Gerindra ke dalam koalisi. Skenario ini akan menghasilkan dukungan kursi di DPR berjumlah 286 (51,07 persen).

Hingga kini, SBY memang belum membuat perubahan komposisi. Mitra koalisi lama masih dipertahankan dan berupaya menjaga stabilitas guna menyelsaikan pemerintahan hingga 2014. Meskipun, formula menjaga kongsi yang ada sekarang pun bukan tanpa resiko. Diprediksi, hak angket pajak maupun sebelumnya hak angket Century akan menjadi prototipe bagi mitra koalisi untuk menerapkan strategi dua kaki. Artinya masih sangat mungkin, tindakan bercitarasa oposisi ini akan mencuat lagi pada kasus berbeda di masa mendatang. Sehingga, berpotensi melahirkan langkah para mitra yang tak lagi ritmis. Dalam tipe kekuasaan presidensialisme, sesungguhnya SBY memiliki posisi yang menentukan dalam eksekutif. Terlebih saat Pemilu, SBY memenangi dukungan suara signifikan yang bisa menjadi modal percaya diri sekaligus legitimasi untuk mengefektifkan kerja-kerja eksekutif. Jika selalu tersandra oleh politik representasi berbasis harmoni, maka penulis khawatir SBY tak akan bisa memaksimalkan langkah menjawab harapan publik yang teramat besar di periode kedua pemerintahannya ini.

Kedua, kontestasi juga akan kian eskalatif di parlemen. Terutama menyangkut sejumlah regulasi yang akan menentukan aturan main dalam zona political game ke depan. Misalnya kontestasi paling kongkret terdapat dalam pembahasan paket UU Politik. Dari keempat paket UU Paket Politik yang sudah tuntas dibahas baru perubahan atas UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik. Masih ada sejumlah regulasi lain yang sangat krusial yakni perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD dan DPD, kemudian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Kontestasi dalam ramah legislasi ini terutama dalam konteks perumusan aturan-aturan yang paling menguntungkan bagi kekuatan politik masing-masing. Jejak rekam pembahasan sejumlah regulasi dari satu periode ke periode kekuasaan yang lain, bukan diorientrasikan pada penyempurnaan aturan, melainkan pada motif rasionalitas pragmatis agar aturan-aturan tersebut menjadi pintu masuk bagi kemudahan-kemudahan politik para pembuatnya. Meskipun, kerapkali rasionalitas yang dibangun mereka menciderai harapan publik. Misalnya, dalam aturan main menyangkut penyelenggara Pemilu, ramai-ramai partai mengusulkan agar orang-orang partai politik dibolehkan terlibat sebagai penyelenggara Pemilu. Gagasan ini tentu saja bertolak belakang dengan harapan publik agar penyelenggara Pemilu independen untuk menjaga kredibilitas dan kualitas Pemilu ke depan.

Ketiga, kontestasi juga akan terjadi di domain media massa. Mulai sekarang hingga menjelang 2014, akan selalu muncul serangkaian strategi dan pola menggarap opini publik media. Sebagaimana kita ketahui, salah satu karakteristik opini publik itu adalah dikonstruksi. Media menjadi ranah pertarungan para pemilik modal, petualang dan pemilik kekuasaan politik. Realitas simbolik media diperebutkan untuk mengkonstruksi legitimasi diri sekaligus mendelegitimasi kekuatan lawan. Kita bisa melihat misalnya bagaimana sekarang PKS harus berjibaku dengan isu keretakan internal akibat manuver Yusuf Supendi dan sejumlah isu lain. Jika PKS tak hati-hati dalam mengelola manajemen konflik sekaligus PRC (Public Relation Crisis) akan sangat mungkin muncul delegitimasi PKS di basis masa utamanya maupun di masyarakat umum.

Inkonsistensi Logis

Kontestasi dalam politik tentunya hal yang wajar. Tetapi jika seluruh energi bangsa ini setiap saat tersedot ke dalam pusaran konflik elit juga akan melahirkan disonansi kognitif pada khalayak luas. Menurut Leon Festinger dalam West & Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application (2008) desonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antar elemen kognisi. Hal ini merupakan perasaan tak seimbang yang dimiliki orang ketika mereka menemukan sesuatu yang berbeda antara apa yang mereka pikirkan dengan apa yang mereka rasakan.

Hubungan disonan ini menyebabkan inkonsistensi logis pada khalayak. Jika awalnya mereka punya pandangan bahwa politik itu memiliki harapan untuk perubahan sehingga mereka turut berpartisipasi dalam Pemilu, maka sekarang bisa jadi harapan itu menjadi absurd. Konflik elit yang terus-menerus tidak memberikan literasi politik. Politik yang dilakukan kaum elit seharusnya memberi pengetahuan, keterampilan dan impresi sikap politik dalam penguatan politik kewargaan. Muatan literasi politik ini tergambar dari dua hal yakni partisipasi dan kritisisme masyarakat. Jika masyarakat semakin jenuh dan cenderung makin apolitis maka tentu ada yang salah dari prilaku politik elit dalam mengedukasi dan menyosialisasikan nilai-nilai serta prilaku politik mereka. ***

Sumber Karikatur:

www.matanews.com