Jumat, 03 Juni 2011

DILEMA KONSOLIDASI DEMOKRASI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 28 April 2011)


Polemik seputar wacana peningkatan angka Parliamentary Threshold (PT) kian mengerucut ke angka kompromistik. Rapat pleno Badan Legislatif (Baleg) DPR RI pada Senin (4/4), akhirnya menyepakati angka 3 persen dalam draf RUU Pemilu Legislatif. Sebagaiman kita ketahui, batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah sebesar 2,5 persen. Dengan ketentuan ini, parpol yang tidak memperoleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Angka 2,5 persen tersebut kemudian diusulkan oleh beberapa parpol untuk naik. Alasannya, demi konsolidasi dan pemapanan demokrasi di Indonesia.

Sebelumnya, sempat muncul empat polarisasi usulan. Pertama, usulan peningkatan menjadi 5 persen yang didukung Golkar, dan PDIP. Kedua, usulan untuk tetap 2,5 persen yang didukung oleh Hanura, Gerindra, PPP, PKB dan PAN. Ketiga, 3 hinga 4 persen yang diusung PKS. Terakhir, usulan 4 persen yang terlontar dari Demokrat. Memang polemik soal peningkatan PT untuk konsolidasi demokrasi ini, menjadi dilema tersendiri bagi para politisi di DPR, mengingat banyaknya desakan untuk mengakomodir kepentingan parpol dalam konfigurasi kekuasaan legislatif di periode mandatang.

Angka Kompromistik

Merujuk ke pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu ada sembilan parpol yang lolos ke parlemen, antara lain Demokrat (20,85 persen), Golkar (14,45 persen), PDIP (14,03 persen), PKS (7,88 persen), PAN (6,01 persen), PPP (5,32 persen), PKB (4,94 persen), Gerindra (4,46 persen), dan Hanura (3,77 persen). Jika data tersebut menjadi dasar prediksi perolehan suara di Pemilu 2014, maka angka PT 5 persen akan melahirkan penyusutan jumlah parpol di DPR menjadi hanya 5 atau 6 parpol saja. Tentu, wacana ini akan sangat ditentang oleh parpol-parpol kecil yang sekarang tak terakomodasi di DPR sekaligus juga mendapat resistensi dari parpol papan tengah yang gamang dan belum percaya diri bisa meningkatkan suara melebihi ambang batas 5 persen.

Proses loby dalam penyusunan ambang batas ini memang cukup krusial bagi eksistensi parpol-parpol papan tengah di DPR. Sehingga, wajar jika polarisasi dan perdebatan seputar rencana peningkatan PT ini menjadi satu di antara prioritas pertarungan di DPR. Langkah Baleg DPR yang memutuskan angka 3 persen untuk masuk ke dalam draf RUU Pemilu Legislatif ini bisa dibaca sebagai arah kompromositik di antara parpol-parpol penghuni Senayan. Dengan angka tersebut, kemungkinan 9 parpol yang ada sekarang masih memiliki peluang besar kembali menghuni “rumah rakyat” di Senayan pasca Pemilu 2014.


Tentu, masih ada peluang dalam pembahasan RUU Pemilu Legislatif ini, karena momentum perdebatan masih terbuka lebar di rapat paripurna DPR masa persidangan IV 2010-2011, Mei mendatang . Hanya saja, inisiasi ini juga menjadi penanda nyata bahwa sepertinya usulan dan keinginan sebagian pihak untuk melakukan penyederhanaan parpol kian sulit memperoleh dukungan dari parpol-parpol yang ada parlemen.

Penyederhanaan

Logika peningkatan angka PT bisa diposisikan sebagai konsolidasi demokrasi melalui pelembagaan politik yang kian mapan. Bukti paling kongkritnya adalah bagaimana menyederhanakan sistem multipartai ekstrem yang ada sekarang menjadi multipartai sederhana. PT tentu saja bukan alat untuk pemberangusan eksistensi parpol dan kesempatan orang berserikat, berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan sebagaimana diatur oleh Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945. Sejatinya keinginan berserikat itu tetap diakui dan diakomodir. Hanya dalam praktik berdemokrasi, tentu ada pilihan-pilihan desain institusional dan tipe kekuasaan yang disepakati.

Kita telah bersepakat dengan desain presidensialisme. Pilihan ini, bukan persoalan benar atau salah melainkan cocok atau tidaknya dengan karakteristik, fakta dan dinamika politik yang berkembang di Indonesia. Sudah menjadi fakta politik, bahwa persandingan antara presidensialisme dengan multipartai ekstrem hanya akan melahirkan sejumlah paradoks. Problem utamanya adalah pada penguatan dan pelembagaan politik akibat carut-marutnya multipartaisme.

Formula kompromistik angka PT menjadi 3 persen hanya menaikan setengah persen saja dari ambang batas di Pemilu 2009. Itu artinya, konfigurasi
kekuatan politik yang akan ada di DPR periode mendatang tak akan jauh berbeda dari komposisi sekarang. Dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa langkah kompromistik ini tidak mengacu pada upaya perbaikan dan cita-cita penyederhanaan, melainkan lebih pada pelanggengan kekuatan parpol pengisi parlemen seperti yang ada sekarang.

Padahal, jika dinaikan menjadi 4 atau 5 persen, maka kemungkinan Pemilu 2014 akan kian menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di DPR. Model PT ini, sekali lagi bukan mengamputasi parpol secara semena-mena, melainkan uji publik melalui kontestasi Pemilu yang terbuka. Sehingga semakin ke depan kita akan semakin menikmati atmosfir demokrasi yang solid dan kuat, dengan polarisasi yang tidak begitu kompleks.

Harapan kita, pembahasan revisi terkait angka PT yang diakomodir dalam revisi UU Pemilu Legislatif ini, akan memberi dorongan bagi kiprah parpol yang lebih berdaya guna dan bernilai guna pada sistem politik kita. Sekaligus, juga memiliki variabel yang ketat untuk menyeleksi parpol berdasarkan suara yang mereka peroleh di Pemilu. Bukan melalui cara-cara kompromistik yang kerap berujung kesia-sian dan kian menjauhkan kita dari keinginan melakukan konsolidasi demokrasi melalui penataan sistem kepartaian dan pemilu.

Tentu, harus ada solusi untuk mengatasi suara rakyat yang akan hangus jika terjadi peningkatan angka PT. Menurut penulis, skema stambush accord atau kesepakatan penggabungan suara bisa dipertimbangkan. Di Pemilu 2009 kemarin, stambush accord baru dipraktikkan di daerah tingkat I dan II. Solusi lain adalah diakomodasinya gagasan penggabungan parpol baik dalam format fusi maupun konfederasi. Masing-masing format penggabungan parpol tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Jalan terjal menghadang, karena tradisi kepartaian di Indonesia yang sangat pekat dengan basis transaksional dibanding basis ideologi dan platform organisasi. Sudah saatnya regulasi soal pemilu, kita dorong menuju penyederhanaan politik bukan terus menerus berada dalam labirin demokrasi yang menyesatkan. Tentu peningkatan angka PT bukan satu-satunya alat konsolidasi demokrasi. Namun demikian, menjadi salah satu penanda nyata bahwa politik kita sedang menuju arah yang benar dan memberi harapan.***

Sumber photo:
www.okezone.com

Tidak ada komentar: