Kamis, 21 April 2011

FENOMENA POLITISI LOMPAT PAGAR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Kamis 14/04/2011)

Sudah dipastikan Partai Amanat Nasional (PAN) tak akan lagi menjadi rumah politiknya Dede Yusuf. Dinamika lompat pagar politisi yang saat ini menjadi Wakil Gubernur Jawa Barat telah menjadi perhatian publik tak hanya di tingkat lokal melainkan juga di nasional.

Fenomena lompat pagar dari satu partai ke partai lain yang dilakukan para politisi yang menjabat di pemerintahan daerah, tak hanya dialami Dede Yusuf dan PAN. Pikiran Rakyat (Rabu,13/04) menyebutkan sejumlah nama antaralain Aceng Fikri (Bupati Garut) dari independen ke Golkar. KH. Nashiruddin AM (Bupati Kebumen) dari partai PDIP yang menyebrang ke Demokrat. Mardani H Maming (Bupati Tanah Bambu) dari PKB ke PDIP. Satono (Bupati Lampung Timur), Palino Popang (Wakil Bupati Toraja) dan Vicky Lumenttut (Wali Kota Manado) hijrah dari Golkar ke Demokrat. Deretan nama tersebut tentu masih akan bertambah seiring dengan dinamika internal partai dan hitung-hitungan politik para politisi ke depan.

Jika kita identifikasi, paling tidak ada sejumlah faktor yang bisa menjadi penyebab mengapa para politisi lompat pagar. Pertama, adanya rasionalitas pragmatis berbasis matematika politik yang ditelah dibuat oleh para politisi terkait dengan karir politiknya di masa mendatang. Tentu, sebagai politisi yang masih memiliki peluang untuk berkuasa, hasrat mempertahankan kekuasaan menjadi sesuatu yang lumrah dan seolah apa adanya.

Dalam konteks menyusun basis dukungan dan pemetaan kekuatan inilah, kerapkali politisi tergoda untuk menyebrang dari rumah politiknya, karena dia tak lagi yakin dengan simpul dan jejaring basis suara partainya sekarang. Pemilukada Jabar akan berlangsung 2013. Sangat mungkin Dede Yusuf membaca peta dan memiliki asumsi bahwa Partai Demokrat akan lebih memungkinkan dirinya maju dan memenangi Pemilukada. Rasionalitas pragmatis ini basis dasarnya adalah kepentingan, eksternalisasi diri, penyesuaian diri serta mekanisme pertahanan diri.

Kedua, gagalnya kaderisasi parpol. Hal ini terkait dengan mekanisme internal partai yang kerap tidak berjalan karena lemahnya fungsi-fungsi organisasi dalam membentuk dan menyalurkan kader ideologis. Dalam tahapan kaderisasi yang baik partai seharusnya tak hanya mampu merekrut, tetapi juga membina kader loyalis dan ideologis. Sejak Pemilu 1999 hingga 2009, banyak parpol bertindak pragmatis dengan mengisi jabatan-jabatan publik yang diperolehnya melalui mekanisme transaksional.

Selain itu, banyak juga yang mengusung politisi wakil untuk mengisi kursi DPRD, DPR-RI hingga jabatan kepala-kepala daerah. Politisi wakil biasanya bukan berasal dari kader, melainkan dari figur-figur tertentu yang dianggap memiliki popularitas sehingga diharapkan menjadi vote getter (pendulang suara).

Ketiga, adanya oligarki partai dalam mekanisme pembuatan keputusan. Plato dalam maha karyanya Republic yang pertama kali mengenalkan oligarki sebagai kekuasaan politik yang secara efektif dikuasai oleh sedikit kelompok elit. Tak hanya dalam birokrasi negara dan pemerintahan, kepemimpinan oligarkis juga sangat mungkin berkembang dan mapan di dalam birokrasi parpol.

Jika melihat fenomenanya saat ini, ketiga faktor tadi sangat dominan mewarnai parpol-parpol yang ada sekarang. Jadi, tidak mengherankan jika banyak politisi yang sudah menjabat dan berhitung dengan jabatannya ke depan, akan berpikir pragmatis seperti selama ini disimulasikan oleh parpol di mana dia bernaung. Sebuah pelembagaan karakter politik berbasis traksaksional.***

Sumber Gambar:

www.buletininfo.com

Tidak ada komentar: