Kamis, 21 April 2011

TITIK NADIR CITRA DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, Senin, 11/04/2011)


Citra DPR hingga saat ini masih menjadi “si buruk rupa”.Seolah tak pernah mau belajar dari berbagai kesalahan para anggota DPR periode sebelumnya, wakil rakyat periode 2009-2014 ini pun kerap terjerembab pada berbagai tindakan yang paradoks dengan identitas simboliknya yang terhormat. Belakangan ini, citra DPR tampak terjun bebas seiring dengan sikap keras mereka untuk tetap melanjutkan pembangunan gedung baru.

Di tengah proyek mercusuar pembangunan gedung baru, pada Jumat (8/4) juga mencuat perilaku tidak etis Arifinto, salah satu anggota dewan yang membuka situs porno di tengah rapat paripurna yang sedang membicarakan urusan rakyat. Meski tak ada hubungannya dengan rencana pembangunan gedung baru, publik bertanya, pantaskah mereka mendapatkan kehormatan berlebih di tengah melorotnya kinerja dan fungsionalisasi peran DPR?

Bukan Wakil Rakyat

Tanpa sebuah riset opini publik yang ilmiah sekalipun, tampak sudah sangat kasat mata bahwa rencana pembangunan gedung baru DPR ini mendapatkan penentangan yang sangat luar biasa dari publik. Rapat konsultasi antarpemimpin DPR, pemimpin fraksi, dan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pada Kamis (7/4) memutuskan dengan sangat gagah berani bahwa proyek tersebut jalan terus, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Hanya ada dua fraksi yang menolak, yakni Fraksi Amanat Nasional (F-PAN) dan Fraksi Partai Gerindra. Selebihnya, mereka gagah berani menentang suara rakyat yang jelas-jelas tidak rela Rp 1,3 triliun uangnya digelontorkan hanya untuk memuaskan obsesi segelintir kelompok elite. Terlebih, politikus elite Senayan itu banyak yang tak amanah atas fungsi dan perannya sebagai wakil rakyat.

Tampak ada kekeliruan basis logika sangat mendasar dalam proses berlanjutnya pembangunan gedung baru DPR. Pertama, keputusan tersebut mencederai kehakikian tugas mereka sebagai wakil rakyat. Seorang anggota DPR dalam praktik demokrasi perwakilan seharusnya mewakili kepentingan rakyat. Elite harus mau mendengar dan menyalurkan tuntutan, desakan serta alternatif pemikiran rakyat, bukan sebaliknya, memanipulasi dan sombong dengan menyatakan rakyat tak perlu diajak bicara dalam konteks urusan yang sedang menjadi perhatian mereka. Kalau urusannya sekadar prosedur pembangunan yang sudah berjalan, mekanisme rapat konsultasi pemimpin atau forum rapat paripurna DPR bisa saja menganulir rencana tersebut.

Kedua, setumpuk pekerjaan rumah 2011 belum usai. Sejumlah RUU dan revisi atas UU mendesak untuk segera dituntaskan. Akan lebih elegan jika DPR mengawali paruh pertama 2011 ini dengan menunjukkan stimulus kerja optimal ke publik, baik pada fungsi legislasi, kontrol maupun anggaran. Bukan sebaliknya, serta merta menstimulasi rakyat dengan rencana pembangunan gedung baru. Lagi-lagi, ini menunjukkan cara berkomunikasi politik yang lemah. Kita tentu masih ingat bagaimana Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010 sangat amburadul karena banyaknya bahasan yang belum tuntas.

Ketiga, tampak ada permainan tak elok di panggung media mengenai sikap para anggota DPR dan elite parpol yang seolah-olah pro opini masyarakat untuk menentang rencana pembangunan gedung baru, tetapi dalam praktiknya fraksi mereka sangat bulat mendukung keberlanjutan rencana. Penolakan bersifat basa-basi sekadar urusan pencitraan di media saja. Bahkan, penulis menangkap ada semacam persekongkolan berjamaah dalam rencana ini. Sepatutnyalah kita mewaspadai kepentingan ekonomi yang dominan di balik ini.

Menurut Vilfredo Pareto sebagaimana dikutip William D Perdue (Sociological Theory: Explanation, Paradigm and Ideology, 1986) kepentingan ekonomi yang dimaksud adalah tindakan logis yang mengarahkan pada maksimalisasi kepuasan serta kerap menihilkan nilai dalam memahami sistem sosial. Seribu satu cara bisa dilakukan untuk membuat argumentasi logis, seolah-olah semua fasilitas itu memang layak dan seharusnya diberikan kepada anggota dewan untuk mendukung optimalisasi kinerja mereka.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga turut andil dalam penolakan model basa-basi ini. Dalam konteks ini, SBY menginstruksikan perlunya penghematan anggaran, terutama dalam pembangunan gedung kantor serta rumah-rumah dinas, jika tidak memiliki urgensinya. Ironisnya, seolah tidak menghiraukan pernyataan SBY, para elite di DPR melanjutkan misi “petualangan” mereka. Menarik memosisikan SBY dalam konstelasi ini, terutama hubungannya dengan sikap Partai Demokrat sebagai partai besar. SBY di luar jabatannya sebagai presiden adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Arahannya sangat didengar kebijakan Demokrat, karena secara geneologi politik, SBY merupakan figur yang teramat menentukan di dalam tubuh partai berlambang bintang mercy ini. Instruksi presiden SBY soal penghematan anggaran nyatanya tak memperoleh tautan respek publik yang memadai, karena SBY sangat terlambat merespons isu ini, sekaligus terkesan basa-basi. Hasilnya pun bisa ditebak, fraksi Demokrat tetap mendukung rencana pembangunan gedung baru.

Moralitas Politikus

Satu hal lagi faktor yang menyebabkan citra DPR di titik nadir adalah persoalan moralitas dan etika. Kegaduhan opini publik kini bersumber dari sosok politikus PKS, Arifinto. Perbuatannya membuka situs porno di saat rapat paripurna telah menjadi penyempurna wajah buruk DPR kita. Terlepas dari sengaja atau tidak tindakan ini sudah out of context dari fungsi dan peran anggota dewan.

Tentu ini merupakan pukulan telak bagi brand image fraksi PKS di DPR, karena saat ini kampanye mereka banyak mengusung tema bersih dan peduli, selain gencar menyuarakan moralitas dalam berpolitik dengan identitas sebagai partai dakwah. Tentu, PKS bukan hanya Arifinto, karena masih banyak kader lainnya. Oleh karenanya, PKS diimbau lebih terbuka dan tidak menjadi bungker pertahanan orang bermasalah.

Perbuatan melihat situs porno di saat sidang paripurna tidak saja merusak nama partai tempat si politikus berada, melainkan juga kian mendelegitimasi kehormatan DPR. Oleh karenanya, Badan Kehormatan (BK) DPR juga harus transparan menindaklanjuti masalah ini. Jika tidak, DPR benar-benar akan sampai di titik nadir.***

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/titik-nadir-citra-dpr/

Sumber gambar:

www.kebebasaninformasi.org

Tidak ada komentar: