Kamis, 21 April 2011

POLITIK TANPA LITERASI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Politika, Harian Jurnal Nasional, 30/03/2011)

Jika asumsi banyak orang terkait praktik politik kekinian di Indonesia disederhanakan, maka kemungkinan akan muncul tiga kata yang mewakilinya yakni traksaksional, pertarungan dan kekuasaan. Ketiga penggambaran tersebut, seolah memiliki tautan dengan realitas dan dinamika politik yang kini berkembang dari hari ke hari. Pemilu 2014 masih lama, tapi kontestasi yang melibatkan manajemen konflik, strategi menaikan legitimasi diri dan mendelegitimasi kekuatan yang lain sudah membuat jagat politik kita sangat gaduh sebelum waktunya. Seluruh energi elit tercurah pada pemetaan kekuataan dan matematika politik untuk pergantian kekuasaan pasca Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tahun Kontestasi

Tahun 2011 memang sudah diprediksi akan menjadi tahun kontestasi. Bahkan muncul gejala komplikasi yang menyebabkan politik kita tak sehat. Kontestasi yang paling mencolok terjadi di tiga bidang.

Pertama, kontestasi dalam mengisi dan menentukan arah dari tipe kekuasaan eksekutif yang telah menjadi pilihan. Saat ini, Indonesia menganut sistem presidensialisme meski kerap bercitarasa parlementarisme. Dinamika multipartai di Indonesia hingga sekarang, masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam sistem presidensialisme.

Problem mendasar kita saat ini adalah praktik presidensialisme banyak tereduksi oleh sistem multi partai ekstrem. Misalnya dalam membentuk pemerintahan, SBY-Boediono harus mengakomodasi begitu banyak kepentingan parpol sehingga zaken kabinet yang idealnya bisa dilakukan presiden dan wakil presiden yang memenangi pemilu dengan meyakinkan, akhirnya sulit terwujud. Birokrasi kerap tersandra oleh politik representasi.

Kita bisa melihat dengan kasat mata, bagaimana etika politik dari mitra koalisi yang kerap tidak terjaga. Tekanan politik yang signifikan, justru lebih banyak datang dari dalam lingkar kekuasaan. Dalam hal ini, dari partai-partai yang memproklamirkan diri sebagai mitra koalisi. Golkar dan PKS misalnya bisa dengan leluasa menikmati atmosfir kekuasaan yang dibagikan oleh SBY, dan di saat bersamaan juga menerapkan strategi mirip oposisi. Tentu saja, hal ini tak terlepas dari upaya mereka menaikan daya tawar di kekuasaan dan memperkuat legitimasi menuju 2014.

SBY lebih mengedepankan politik harmoni dalam penyelsaian kegaduhan politik pasca pengajuan Hak Angket Pajak yang sempat membuat hubungan antar mitra koalisi merenggang. Memang kondisi politik penuh paradoks ini, memberi pilihan dilematis bagi SBY. Saat itu, sempat beredar empat formula yakni PKS dikeluarkan dari koalisi dan mempertahankan mitra yang lain. Ini artinya total kursi kekuatan SBY di DPR sebanyak 366 kursi (65,36 persen). Pilihan lain, PKS-Golkar sama-sama ditendang dari gelanggang artinya SBY akan didukung oleh 260 kursi (46,43 persen). Sebuah peta kekuatan yang sangat riskan bagi eksistensi pemerintahan SBY ke depan. Formula berikutnya yang tersedia adalah PKS dicerai dan menggandeng pasangan baru yakni Partai Gerindra serta tak mengubah posisi mitra lainnya. Skenario ini akan menghasilkan peta kekuatan 392 kursi (70 persen). Terakhir, PKS-Golkar “ditalak empat” dan memasukan Gerindra ke dalam koalisi. Skenario ini akan menghasilkan dukungan kursi di DPR berjumlah 286 (51,07 persen).

Hingga kini, SBY memang belum membuat perubahan komposisi. Mitra koalisi lama masih dipertahankan dan berupaya menjaga stabilitas guna menyelsaikan pemerintahan hingga 2014. Meskipun, formula menjaga kongsi yang ada sekarang pun bukan tanpa resiko. Diprediksi, hak angket pajak maupun sebelumnya hak angket Century akan menjadi prototipe bagi mitra koalisi untuk menerapkan strategi dua kaki. Artinya masih sangat mungkin, tindakan bercitarasa oposisi ini akan mencuat lagi pada kasus berbeda di masa mendatang. Sehingga, berpotensi melahirkan langkah para mitra yang tak lagi ritmis. Dalam tipe kekuasaan presidensialisme, sesungguhnya SBY memiliki posisi yang menentukan dalam eksekutif. Terlebih saat Pemilu, SBY memenangi dukungan suara signifikan yang bisa menjadi modal percaya diri sekaligus legitimasi untuk mengefektifkan kerja-kerja eksekutif. Jika selalu tersandra oleh politik representasi berbasis harmoni, maka penulis khawatir SBY tak akan bisa memaksimalkan langkah menjawab harapan publik yang teramat besar di periode kedua pemerintahannya ini.

Kedua, kontestasi juga akan kian eskalatif di parlemen. Terutama menyangkut sejumlah regulasi yang akan menentukan aturan main dalam zona political game ke depan. Misalnya kontestasi paling kongkret terdapat dalam pembahasan paket UU Politik. Dari keempat paket UU Paket Politik yang sudah tuntas dibahas baru perubahan atas UU No.2 tahun 2008 tentang partai politik. Masih ada sejumlah regulasi lain yang sangat krusial yakni perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD dan DPD, kemudian UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.

Kontestasi dalam ramah legislasi ini terutama dalam konteks perumusan aturan-aturan yang paling menguntungkan bagi kekuatan politik masing-masing. Jejak rekam pembahasan sejumlah regulasi dari satu periode ke periode kekuasaan yang lain, bukan diorientrasikan pada penyempurnaan aturan, melainkan pada motif rasionalitas pragmatis agar aturan-aturan tersebut menjadi pintu masuk bagi kemudahan-kemudahan politik para pembuatnya. Meskipun, kerapkali rasionalitas yang dibangun mereka menciderai harapan publik. Misalnya, dalam aturan main menyangkut penyelenggara Pemilu, ramai-ramai partai mengusulkan agar orang-orang partai politik dibolehkan terlibat sebagai penyelenggara Pemilu. Gagasan ini tentu saja bertolak belakang dengan harapan publik agar penyelenggara Pemilu independen untuk menjaga kredibilitas dan kualitas Pemilu ke depan.

Ketiga, kontestasi juga akan terjadi di domain media massa. Mulai sekarang hingga menjelang 2014, akan selalu muncul serangkaian strategi dan pola menggarap opini publik media. Sebagaimana kita ketahui, salah satu karakteristik opini publik itu adalah dikonstruksi. Media menjadi ranah pertarungan para pemilik modal, petualang dan pemilik kekuasaan politik. Realitas simbolik media diperebutkan untuk mengkonstruksi legitimasi diri sekaligus mendelegitimasi kekuatan lawan. Kita bisa melihat misalnya bagaimana sekarang PKS harus berjibaku dengan isu keretakan internal akibat manuver Yusuf Supendi dan sejumlah isu lain. Jika PKS tak hati-hati dalam mengelola manajemen konflik sekaligus PRC (Public Relation Crisis) akan sangat mungkin muncul delegitimasi PKS di basis masa utamanya maupun di masyarakat umum.

Inkonsistensi Logis

Kontestasi dalam politik tentunya hal yang wajar. Tetapi jika seluruh energi bangsa ini setiap saat tersedot ke dalam pusaran konflik elit juga akan melahirkan disonansi kognitif pada khalayak luas. Menurut Leon Festinger dalam West & Turner, Introducing Communication Theory: Analysis and Application (2008) desonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antar elemen kognisi. Hal ini merupakan perasaan tak seimbang yang dimiliki orang ketika mereka menemukan sesuatu yang berbeda antara apa yang mereka pikirkan dengan apa yang mereka rasakan.

Hubungan disonan ini menyebabkan inkonsistensi logis pada khalayak. Jika awalnya mereka punya pandangan bahwa politik itu memiliki harapan untuk perubahan sehingga mereka turut berpartisipasi dalam Pemilu, maka sekarang bisa jadi harapan itu menjadi absurd. Konflik elit yang terus-menerus tidak memberikan literasi politik. Politik yang dilakukan kaum elit seharusnya memberi pengetahuan, keterampilan dan impresi sikap politik dalam penguatan politik kewargaan. Muatan literasi politik ini tergambar dari dua hal yakni partisipasi dan kritisisme masyarakat. Jika masyarakat semakin jenuh dan cenderung makin apolitis maka tentu ada yang salah dari prilaku politik elit dalam mengedukasi dan menyosialisasikan nilai-nilai serta prilaku politik mereka. ***

Sumber Karikatur:

www.matanews.com

Tidak ada komentar: