Jumat, 03 Juni 2011

METAMORFOSIS TERORISME


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 26 April 2011)

Teroris seolah tak ada matinya. Bak pepatah lama, hilang satu tumbuh seribu. Matinya tokoh-tokoh teroris sekelas Noordin M Top, Dr Azhari, Imam Samudra dan Amrozi tak lantas mematikan jaringan aktif kaum teroris. Hingga kini, mereka tetap leluasa menjadikan Indonesia sebagai zona tindakan teror meski para pelakunya bisa jadi tak berada dalam satu jaringan yang sama. Bom buku, bom bunuh diri Mohammad Syarif, dan paket bom di jalur pipa gas sekitar Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, menjadi bukti teroris masih menjadi ancaman serius.

Jika kita melihat para pelaku teror bom buku yang ditangkap, faktanya mereka rata-rata sarjana. Bahkan yang mengagetkan, kaum teroris pun kini berupaya melibatkan jurnalis dalam desain perilaku terornya. Teroris kini berupaya mentransformasikan diri dengan menyasar lebih banyak lagi kalangan potensial di masyarakat.

Bagaimana pun, terorisme telah menjadi kejahatan utama bagi kemanusiaan. Gerakan ini laten dan bisa kembali aktual kapan pun dalam sosok serta jaringan yang sama atau pun berbeda. Doktrin ajaran tak toleran dan radikal yang meliputi ide, gagasan, pemikiran sekaligus tindakan pragmatisnya masih tertanam di banyak kader.

Terorisme telah disemai dan tumbuh subur di tengah balutan ideologisasi agama dengan tafsir yang keliru, kemiskinan, kelengahan pengelola dan aparatur negara, serta ketidakpedulian masyarakat. Embrio terorisme siap menetas, menjadi stelsel aktif yang mengimplementasikan semangat dan cara pandang teroris di kemudian hari. Terlebih bangsa ini kerap menjadi bangsa pelupa di tengah bekerjanya gurita para pemilik otoritas modal dan kekuasaan yang kerap dengan sengaja membuat proyek lupa. Satu kasus sengaja didorong ke permukaan untuk menutupi kasus-kasus lain yang mengancam si pemilik otoritas. Sehingga, masyarakat masuk ke dalam dimensi lupa yang sengaja diciptakan dan dilembagakan.

Kita perlu mewaspadai transformasi terorisme baik di level gagasan ideologis, spirit gerakan radikal maupun pola dan sosok pelakunya. Terlebih jika mereka memiliki role model yang keliru tentang konsep diri “pejuang”, “syuhada”, “pembawa kebenaran”, “imam atau amir” dan lain sebagainya. Kini, bisa jadi teroris tak semata faktual melainkan juga simbolis. Artinya, teroris tak hanya ada dalam realitasnya sebagai pribadi, tetapi juga menjadi kesadaran kelompok terbagi yang penetratif ke berbagai kalangan potensial seperti kaum muda. Sungguh berbahaya jika terorisme telah mengalami konvergensi simbolis di berbagai kelompok masyarakat.

Menurut Ernest Bormann dalam John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998) menyatakan, konvergensi simbolis ini merupakan kekuatan komunikasi dibalik penciptaan kesadaran umum (realitas simbolis) yang disebut sebagai visi retoris. Menyediakan sebuah drama dalam bentuk cara pandang, ideologi, dan paradigma berpikir.

Jika cara pandang menghalalkan bom bunuh diri, membunuh atau menebar teror menjadi kesadaran kelompok bersama, maka terorisme akan sangat berbahaya karena satu tahap lagi akan memanen banyak pelaku organik tindakan teror.

Teror dan Media

Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin masif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisasi dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan.

Oleh karenanya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatis. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi kejadian sangat luar biasa (extra ordinary news). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity, yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa.

Mereka sangat sadar bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya diliput media. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional. Bagi para pelaku, bukan hanya sekadar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional, dan situasi yang serba tak menentu.

Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustrasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detail dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan peristiwa extra ordinary seperti pemboman.

Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tak terjebak oleh keinginan para pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tak mengembus-embuskan asumsi- asumsi liar tanpa bukti memadai. Memori publik diingatkan pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005), bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (2009) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya.

Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya, sehingga kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.

Opini publik seputar tindakan kaum teroris dapat berjalan liar, yang kemudian menjadi bola api yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu, perlu kearifan semua pihak terutama para elite politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror.

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=81054

Sumber Karikatur :

Karya Herpri Yanto di www.humorreview.blogspot.com

Tidak ada komentar: