Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom OPINI Koran Sindo, 5 Desember 2013)
INDONESIA menjadi tuan rumah acara The 3rd
International Islamic Conference on Media yang diselenggarakan
Selasa-Kamis (3-5/12) di Jakarta. Sejumlah akademisi, periset, praktisi
media dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual
terkait eksistensi media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim
dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang menjadi
sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab
sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai
kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun
hubungan antarnegara. Sejumlah topik seperti dimensi etis media, tata
informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan
masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan
oleh seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.
Dilema media
Sebagai
partisipan dalam konferensi internasional tersebut, penulis meraba
denyut kegundahan banyak kalangan, terutama tentang eksistensi media
massa yang ada di dunia saat ini. Memang tak disangkal, media memiliki
posisi penting di era yang disebut John Keane dalam tulisannya, The Humbling of the Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance
(1998), sebagai era keberlimpahan komunikasi. Terlebih, dalam praktik
negara-negara demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung
keajekan konsolidasi demokrasi adalah media.
Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi ruang publik (public sphere)
demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak
mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan,
kelompok penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di
posisi itulah media kerap mengalami dilema antara idealitas dan
profesionalitas di satu sisi serta pragmatisme di sisi lain.
Kondisi
objektif media tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia memiliki
benang merah yang sama, terutama dalam dua hal. Pertama, banyak media
yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya
maupun di dunia. Dalam skala global misalnya dinamika informasi kerap
dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantorkantor berita
besar yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus
informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara
berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara
berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor berita negara maju.
Sebesar 60-70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated
Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence
France Presse (AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama
beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi
minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147
negara.
Tentu salah satu perang informasi asimetris bisa
dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang
hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan
status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare).
Ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status
ini misalnya melalui teknik name callingatau pemberian label negatif
untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Sejumlah sebutan seperti
teroris, tiran, ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap
terpapar dalam bingkai media berjejaring global untuk mendelegitimasi
pihak-pihak tertentu yang sedang menggeliat menjadi kekuatan baru
potensial di dunia. Kedua, hal yang paling banyak dirisaukan terkait
peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi media.
Akan
semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam
rivalitas politik domestik maupun global. Beragam kasus dipublikasikan
dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik. Di
tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik
media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat
politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam, khalayak sebenarnya
akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Dengan
begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.
Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995),
memperkenalkan konsepresonansi. Ini terjadi saat media massa dan
realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan
media mengultivasi secara signifikan. Dengan caranya yang halus,
informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media
sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran sekaligus
menciptakan realitas buatan melalui beragam ikon kebudayaan yang
meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan dibanyak negara
masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka. Terlebih
jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang berkolaborasi
dengan rezim kapital.
Keadaban publik
Eksistensi
beragam media di dunia seharusnya mendorong terciptanya keadaban
publik. Menjadi katalisator literasi informasi guna memperkuat warga
dunia yang saling menghargai keberagaman, bukan sebaliknya, menjadi
provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara yang harusnya saling
menghormati.
Ada beberapa tanggung jawab sosial media yang
harus ditunaikan kepada publik. Pertama, media harus mau dan mampu
mengemban fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini
konflik politik maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia.
Penyebab utamanya rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat
kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai
representasi kebenaran. Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan
dalam narasi berita media sehingga menjadi “oase” penting sekaligus
menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah pertentangan antar kekuatan,
bukan sebaliknya, menjadikan berita berdarah-darah sebagai jualan.
Kedua,
media wajib menghadirkan role model pemberdayaan masyarakat. Benar
bahwa media saat ini sudah berada di era industri yang beroperasi dalam
logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese menulis dalam Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121),
organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang
menghubungkan para awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan
memproduksi, mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang
ditawarkan. Kendati demikian, selalu ada peluang para pekerja media
untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran tanpa
merusak keadaban publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar