(Tulisan ini telah dipubpikasikan di Harian Detik, 4 April 2012)
Setelah proses politik terkait kenaikan BBM di panggung Paripurna DPR
(31/3) usai, kini perhatian publik mengarah pada posisi Partai Keadilan
Sejehtera (PKS) dalam koalisi pemerintahan. Akankah PKS keluar atau
tetap bertahan di dalam koalisi bersama SBY dan Demokrat?
Koalisi Rapuh
Kekisruhan
konsep koalisi memang bukan hal aneh dalam pemerintahan SBY-Boediono.
Celah para mitra koalisi bermain strategi dua kaki dibuka lebar dan
mendapatkan peneguhan dari SBY sendiri. SBY sangat hati-hati dan
cenderung melembagakan zona nyaman kekuasaan sehingga sangat khawatir
dan merasa dalam keadaan tidak pasti bila mitra koalisinya berpindah
jadi oposisi. Karena keraguan SBY inilah, kebijakan yang diambil terkait
mitra koalisi menjadi ambigu. Akibatnya, Setgab tidak efektif lagi
sebagai wadah komunikasi politik untuk menyelaraskan kepentingan
partai-partai yang bermitra di kekuasaan.
Sekali lagi, hal ini memperkuat stigma terhadap leadership SBY yang bukan seorang risk taking leader (pengambil resiko). Ciri dominan yang dipraktikkan SBY selama dua periode kekuasaanya ini adalah manajemen ketidakpastian dan ketidaknyamanan (uncertainty and unxiety management)
dalam mengelola konflik kekuasaan. Dampaknya, SBY selalu memilih cara
hamoni berbasis transaksi politik untuk tetap mengamankan keutuhan para
mitra koalisinya. Menguatnya trend balik badan para mitra koalisi pun
menjadi dianggap lumrah karena ternyata berbeda secara diametral
sekalipun tidak ada sanksi tegas untuk pilihan sikap politik mereka.
Kita
bisa melihat rekam jejak sikap PKS yang berbeda dalam koalisi. 4 Maret
2010 PKS memilih opsi C dalam kasus Century dan jelas-jelas berhadapan
dengan Demokrat. PKS juga berbeda sikap dalam hal angket kasus mafia
pajak pada 24 Januari 2011. Terakhir, PKS membelot dari SBY dan Demokrat
dalam rencana kenaikan harga BBM. Artinya, di banyak hal menyangkut
sikap politik masing-masing, PKS sdh banyak bersebrangan dengan mitra
koalisi utamanya yakni SBY dan Demokrat.
Jika melihat
kecenderungannya, perbedaan sikap mitra koalisi seperti Demokrat, PKS
dan Golkar semakin hari akan semakin eskalatif. Pertama, adanya
rivalitas jelang 2014 untuk menciptakan strategi guna memperkuat
legitimasi parpol dan mendelegitimasi parpol lain yang dianggap menjadi
lawan. Faktor kedua, kebobrokan sistem partai diprediksi akan
menjadi celah bagi parpol di koalisi untuk saling sandera. Setgab
cenderung akan menjadi bagian dari mekanisme buka-tutup kasus. Menjadi
alat pertahanan sekaligus ruang negosiasi untuk menyelamatkan aset,
akses, dan problem yang mendera mereka masing-masing.
Tetap Dipertahankan?
Meski PKS kerap dianggap mitra ‘nakal’ namun bisa saja SBY tidak akan melepasnya. Kita mungkin ingat sikap SBY saat melakukan reshuffle Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) II. Desakan elit Demokrat untuk meninggalkan
PKS, ternyata tak membuat SBY terpengaruh. PKS tetap melenggang dan
makin percaya diri memosisikan diri sebagai mitra sekaligus oposisi.
Tidak dilepasnya PKS bisa jadi berdasarkan dua kalkulasi politik. Pertama,
PKS menjadi penting dalam skema perimbangan kekuasaan ala SBY. Meski
Golkar dan PKS sama-sama di dalam kekuasaan, tetapi oleh SBY diposisikan
sebagai kelompok-kelompok yang selalu punya agenda masing-masing. SBY
sadar betul modal 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan mitra koalisi di
DPR itu rapuh dan bukan kekuatan loyalis. Golkar yang menguasai 106
kursi (18,93 persen) dan PKS 57 kursi (10,18 persen) merupakan kursi
panas yang setiap saat bisa saja berubah dukungannya. Sehingga tarik
ulur dalam pengendalian kedua partai ini menjadi penting.
Jika
dalam kasus kenaikan BBM, Golkar satu hati dengan Demokrat, di lain
saat bisa saja Golkar bersebrangan sehingga posisi PKS menjadi strategis
untuk perimbangan kekuatan. Mitra loyalis seperti PAN yang memiliki 46
kursi (8,21 persen), PPP 38 kursi (6,79 persen) dan PKB 28 kursi (5
persen), tidak cukup kuat sebagai basis dukungan bagi Demokrat. Hal ini
pernah terjadi saat kasus Century yang berakhir dengan opci C di
paripurna DPR. Golkar dan PKS saat itu berbeda dengan Demokrat dan fakta
politiknya sangat merepotkan posisi politik SBY. Jika sekarang PKS
ditendang dari kekuasaan, sudah pasti posisi daya tawar Golkar akan
sangat kuat karena setiap saat bisa saja Golkar menabuh genderang sesuai
irama yang diinginkannya. SBY tentu saja tidak ingin ketergantungan
pada Golkar, sehingga dibutuhkan partai penyeimbang dalam koalisi dan
pilihannya ada di PKS, meski sikap PKS juga kerap menjadi buah
simalakama.
Kedua, SBY tentunya paham benar, bangunan
koalisi dalam sistem presidensialisme ini memiliki cacat bawaan. Koalisi
besar dalam format multipartai esktrim kerap melahirkan demokrasi
kolusif. Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporannya yang berjudul "SBY's Feet of Clay" mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.
Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair.
Penanda
nyata demokrasi kolusif nampak dalam akomodasi politik di kabinet
sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir
tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini
memiliki residu yakni aliansi politik yang tak pernah mapan. Dengan
rapuhnya basis koalisi tersebut, tentu SBY berkepentingan untuk menjaga
partai-partai yang sudah terikat kontrak politik bersamanya, untuk
mengamankan posisi SBY hingga 2014. Meskipun SBY juga sadar, di banyak
momentum kehati-hatian dalam mengamankan para mitra itu, membuat dia
kerap tersandera.
Bagi PKS sendiri, jauh akan lebih baik
jika PKS keluar dari kekuasaan. Sikap PKS yang selalu kritis terhadap
pemerintah sementara dia merupakan bagian kekuasaan akan memosisikan PKS
di titik nadir citra politiknya. Jika PKS berani keluar dari kekuasaan
bukan mustahil partai ini akan memperoleh respek sekaligus popular vote
dalam konteks demokrasi elektoral pada Pemilu 2014.
Tulisan bisa diakses di:
http://edisi.hariandetik.com/?xml=Pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar