(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO, 28 Maret 2012)
Saat ini hingga 11 Juli 2012, keriuhan Jakarta akan semakin bertambah
seiring dengan tahapan demi tahapan Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI.
Bahkan atmosfer rivalitas politik diprediksi tak akan berakhir hanya
saat hari H pencontrengan, melainkan akan terus bergulir hingga fase
laporan KPUD kepada KPU mengenai penetapan hasil tahapan pemilihan
gubernur dan wakil gubernur DKI pada 18–19 Agustus.
Oleh
karenanya semua elemen, baik pasangan kandidat, partai politik, tim
sukses maupun pemilih, harus memahami potensi- potensi konflik dalam
pilgub sehingga sedini mungkin bisa menghindari konflik dan menjaga
Pilgub DKI yang berwibawa, sah,serta demokratis.
Dampak Langsung
Banyak
pemilihan kepala daerah (pilkada) yang tidak melahirkan legitimasi.
Hasil yang ditetapkan memunculkan gelombang penentangan dari berbagai
pihak, terutama dari para pendukung calon yang kalah. Sejumlah faktor
pun berpotensi menjadi penyebab konflik dalam Pilgub DKI.
Pertama,konflik muncul sebagai dampak langsung setiap tahapan pilgub
yang tidak memuaskan banyak pihak.
Misalnya, seusai fase
pendaftaran 13–19 Maret, sangat mungkin ada calon yang gugur atau tidak
lolos verifikasi oleh KPUD.Tak lolosnya pasangan calon yang mendaftar
akan diketahui pada 10–11 Mei. Tahapan berikutnya yang krusial adalah
saat pengesahan dan pengumuman daftar pemilih sementara (DPS) pada 13
April hingga fase penetapan daftar pemilih tetap (DPT) pada 20–22 Mei.
Konflik
juga sangat mungkin lahir dari masa kampanye. Berbagai upaya pemasaran
politik (marketing of politic) untuk meraih simpati publik dalam
praktiknya kerap dibarengi dengan tindakan menyerang, mendiskreditkan,
black campaign,pembunuhan karakter yang melukai dan menimbulkan rasa
sakit hati pihak lain. Jika pasangan kandidat dan pendukungnya tidak
arif dan tidak mengedepankan hukum serta etika politik, sangat mungkin
hal demikian menjadi akselerator konflik pilgub.
Praktis
sejak 24 Juni hingga 7 Juli Jakarta akan dibanjiri beragam publisitas,
janji, retorika, iklan politik, bahkan sangat mungkin propaganda. Dalam
konteks komunikasi politik,kampanye yang sifatnya menyerang itu ada
yang negative campaign, yakni menyerangpihaklaindenganfakta atau
data.Misalnya menyerang kegagalan incumbent dari sejumlah indikator
program kerja yang gagal diwujudkan di periode kekuasaannya yang
pertama.
Attackingsemacam ini biasanya boleh
dilakukan.Yang tidak diperkenankan adalah black campaign, yakni
menyerang pihak lain dengan isu yang sangat sulit diverifikasi dan
diperdebatkan. Misalnya, melalui hasutan untuk menurunkan legitimasi
elektoral kandidat lain dan hasutan itu berisi fitnah semata. Tahapan
lain yang biasanya krusial adalah tahapan penetapan pemenang
pemilu.Fenomena yang sering muncul adalah pihak yang kalah biasanya
mengangkat isu penggelembungan suara atau banyak warga yang menjadi
pendukungnya tidak terdaftar di DPT sehingga diklaim sebagai sumber
kekalahan.
Kegagalan Komunikasi
Kedua,
konflik juga bisa bersumber dari kegagalan komunikasi politik
antarelemen dalam pilgub. Di level informations roles konflik bisa
muncul karena ketidakpercayaan atas peran yang dimainkan oleh
penyelenggara pemilu dalam hal ini terhadap KPUD. Akan banyak kecurigaan
bahwa KPUD memihak dalam pemenangan kandidat tertentu.Pola alur
informasi yang berjalan antara KPUD dengan para kandidat kerap didera
banyak masalah.
Misalnya,ketidakjelasan alur informasi
dalam hal DPT, distribusi logistik pemilu, jadwal rekapitulasi data
hasil pemilihan, dan hal-hal teknis lain. Faktor lain adalah tidak
relevannya equevocal communication (EC) dari para
penyelenggara pilgub. Menurut Janet Beavin Bavelas (1990), term EC ini
memiliki pengertian pengemasan pesan yang sengaja dibuat tak jelas, tak
langsung, dan tak lugas.
Jika EC terjadi dalam hal-hal
yang sangat membutuhkan informasi yang jelas dan mendesak diketahui
publik, hal itu bisa berpotensi menimbulkan perselisihan. Misalnya,
dalam proses penyampaian aturan main dan tata kelola pilgub.
Sosialisasi aturan mengharuskan pesan sampai secara jelas dan
menimbulkan kepastian hukum sehingga pilgub bisa berjalan sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Konflik pilgub juga sangat mungkin muncul karena pengaruh terpaan media massa (media exposure).
Media massa secara sadar menstimulasi konflik jika turut masuk terlalu
dalam pada prilaku memprovokasi berbagai pihak yang bertarung di
pilgub.Tugas media adalah mengabarkan sekaligus mengontrol perhelatan
demokrasi di DKI ini agar sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi, bukan
menjadi agen provokasi.Terakhir, yang berpotensi menyulut konflik
adalah sifat agresi yang dominan dari kelompok elite politik.
Memperkuat KPUD
KPUD
harus independen, profesional, dan bermartabat. Peranan ini sangat
penting dimiliki KPUD guna menghindari lemahnya kredibilitas
penyelenggaraan pilgub DKI. Untuk mengelola pilgub di metropolitan ini,
butuh komisioner- komisioner yang bertipe problem solver dengan
legitimasi dan dukungan finansial serta moral memadai. Tentu
tarik-menarik kepentingan, terutama yang bergerilya di panggung belakang
(backstage) melalui proses lobi dan negosiasi, akan menguat.
Pusaran
uang dan kekuasaan akan menjadi godaan sehingga sangat mungkin
penyelenggara pilgub mengubah peran mereka menjadi hamba sahaya dari
pasangan yang memiliki reward power. Sudah bukan rahasia bahwa
di banyak pilkada kerap terjadi perselingkuhan antara KPUD dengan
pasangan calon yang berambisi merengkuh kekuasaan dengan cara apa pun.
Pilgub DKI seyogianya menjadi prototipe pilkada demokratis, bukan
sebaliknya menjadi contoh buruk muka praktik demokrasi elektoral.
Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/481332/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar