(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnas, 11 April 2012)
PETA pertarungan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI semakin jelas
setelah fase pendaftaran 13-19 Maret. Kini ada enam pasangan kandidat
yang resmi mendaftar: empat pasangan dari jalur partai politik (parpol),
dua pasangan dari jalur independen. Khusus untuk pasangan kandidat dari
jalur parpol, injury time banyak drama politik terjadi dan
semakin menunjukkan asumsi bahwa tak ada yang pasti bagi parpol hingga
menit akhir pengumuman. Bongkar pasang kandidat tidak hanya
menggambarkan pergerakan strategi, tetapi juga sangat mungkin transaksi
atau orientasi popular vote mengingat DKI merupakan wilayah pertarungan terbuka sekaligus prestisius.
Efek Elektoral
Memenangi
Pilgub DKI bukan semata menguasai simbol kuasa wilayah metropolitan,
tetapi juga akan menyumbang prestise sekaligus efek elektoral bagi
Pemilu 2014, terutama bagi mereka yang akan bertarung di 2014. Dalam
semangat itulah, kita bisa memaklumi “kengototan‘ parpol besar dan
menengah dalam perang terbuka di DKI. Tiga partai besar seperti Golkar,
PDIP dan Demokrat mengusung kandidat berbeda, demikian pula PKS yang
konsisten sejak Pilgub DKI lalu menyodorkan kandidatnya sendiri.
Memang
Pilgub DKI kali ini punya banyak nuansa baru, misalnya fenomena
kandidat independen yang bisa menjadi figur harapan bagi kelompok para
pemilih yang tidak lagi percaya dengan kiprah partai politik dalam
konfigurasi beragam persoalan kebangsaaan saat ini.
Namun demikian, parpol juga seolah mulai menyadari bahwa margin rasional voter yang semakin membesar di DKI akan menjadi tantangan bagi mereka jika tidak menyodorkan kandidat yang memiliki popular vote
memadai. Sehingga di menit-menit akhir, beberapa parpol akhirnya
menyodorkan kandidat yang punya rekam jejak populis dan sukses saat
menjadi kepala daerah di luar Jakarta seperti Joko Widodo (Jokowi).
Atas
pertimbangan elektoral itu pula beberapa partai lain mengubah skema
pencalonan, misalnya kemunculan Hidayat Nur Wahid di PKS dan
dipadukannya Fauzi Bowo dengan Nachrowi Ramli di buku Demokrat. Ketatnya
pertarungan enam pasang kandidat tersebut menyebabkan prediksi Pilgub
DKI akan berlangsung dua putaran sangat mungkin terjadi.
Kriteria Pemimpin
Terlepas
dari apa dan bagaimana enam pasangan kandidat itu bertarung dan
memenangi Pilgub DKI, satu yang pasti: masyarakat di kota metropolitan
ini sangat membutuhkan adanya gubernur transformatif. Sosok pemimpin
tipe ini adalah pemimpin yang mampu menggerakkan harapan rakyat untuk
senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan.
Dalam perspektif penulis ada beberapa syarat gubernur transformatif ini. Pertama,
memiliki kemampuan refleksivitas yang memadai. Poole, Seibold dan
McPhee dalam Hirokawa, R.Y. & M.S Poole (1986: 237-264), memandang
perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya
membangun perbaikan organisasi, termasuk birokrasi. Refleksivitas pada
dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan
dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada
pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.
Dengan
membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap
masa depan yang jauh lebih baik. Pemerintah seharusnya memiliki dua
kesadaran dalam proses refleksivitas ini yakni, kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).
Kesadaran diskursif, merujuk pada kemampuan untuk menjelaskan kepada
khalayak atas sejumlah sikap, kebijakan dan tindakan pemerintah sehingga
khalayak bisa memahaminya dengan baik.
Kenyataannya,
kesadaran diskursif ini hingga sekarang masih tertutupi oleh prasangka
berlebihan, mekanisme pertahanan diri, dan sejumlah pembenaran yang
kerap berlebih-lebihan versi pemilik otoritas kekuasaan dan aparaturnya.
Sementara kesadaran praktis (practical conciousness), terkait dengan kemampuan pemimpin untuk dirasakan kehadiran dan manfaat kepemimpinnya di tengah masyarakat.
Kedua, gubernur transformatif ini harus memiliki basis asketisme politik yang memadai. Kata asketisme bermula dari bahasa Yunani ascesis
yang bermakna “pelatihan‘. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
asketisme diberi arti “paham yang mempraktikkan kesederhanaan,
kejujuran, dan kerelaan berkorban‘. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2
(2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup
kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa
yang sempurna.
Dengan demikian, asketisme politik secara
umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik
berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan
tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak
dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan
kekayaan semata-mata, melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan
negara. Artinya, asketisme politik tak sekadar moralitas, melainkan juga
tindakan sosial. Dalam konstruksi berpikir Habermas, tindakan sosial
ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis, yakni kerja dan interaksi.
Ketiga, memiliki sumberdaya politik (political resources) yang memadai untuk mendukung performa komunikatifnya. Pemimpin terpilih harus mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power)
sebagai produk dari pilgub langsung. Dalam menjaga performa, tentu
terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan
agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas sosok
gubernur dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan
program kerja nyata gubernur ke depan.
Citra penting
tetapi bukan segalanya, karena jika pemimpin secara dominan terjebak ke
dalam politik citra saja, maka akan selalu menciptakan hiperealitas.
Tentu pemimpin transformasional tidak akan menjadikan politik citra
sebagai segala-galanya karena basis tindakannya adalah selalu mengacu
pada agenda kerja.
Gubernur transformatif ini hanya
dimungkinkan lahir dari sebuah proses pencalonan yang tidak membebani.
Jika sejak awal pencalonan kandidat sudah dibebani upeti ke partai
politik, atau menerima investasi dari para pengusaha, apalagi beririsan
dengan kelompok mafioso, tentu orientasi kekuasaanya bukan menjadi
pelayan publik, melainkan hamba sahaya dari ambisi pribadi dan para
investor politiknya.
Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.jurnas.com/epapers/20120411
Tidak ada komentar:
Posting Komentar