Sabtu, 23 Juni 2012

Gubernur Transformatif

 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnas, 11 April 2012)

PETA pertarungan pemilihan gubernur (Pilgub) DKI semakin jelas setelah fase pendaftaran 13-19 Maret. Kini ada enam pasangan kandidat yang resmi mendaftar: empat pasangan dari jalur partai politik (parpol), dua pasangan dari jalur independen. Khusus untuk pasangan kandidat dari jalur parpol, injury time banyak drama politik terjadi dan semakin menunjukkan asumsi bahwa tak ada yang pasti bagi parpol hingga menit akhir pengumuman. Bongkar pasang kandidat tidak hanya menggambarkan pergerakan strategi, tetapi juga sangat mungkin transaksi atau orientasi popular vote mengingat DKI merupakan wilayah pertarungan terbuka sekaligus prestisius.

Efek Elektoral

Memenangi Pilgub DKI bukan semata menguasai simbol kuasa wilayah metropolitan, tetapi juga akan menyumbang prestise sekaligus efek elektoral bagi Pemilu 2014, terutama bagi mereka yang akan bertarung di 2014. Dalam semangat itulah, kita bisa memaklumi “kengototan‘ parpol besar dan menengah dalam perang terbuka di DKI. Tiga partai besar seperti Golkar, PDIP dan Demokrat mengusung kandidat berbeda, demikian pula PKS yang konsisten sejak Pilgub DKI lalu menyodorkan kandidatnya sendiri.

Memang Pilgub DKI kali ini punya banyak nuansa baru, misalnya fenomena kandidat independen yang bisa menjadi figur harapan bagi kelompok para pemilih yang tidak lagi percaya dengan kiprah partai politik dalam konfigurasi beragam persoalan kebangsaaan saat ini.

Namun demikian, parpol juga seolah mulai menyadari bahwa margin rasional voter yang semakin membesar di DKI akan menjadi tantangan bagi mereka jika tidak menyodorkan kandidat yang memiliki popular vote memadai. Sehingga di menit-menit akhir, beberapa parpol akhirnya menyodorkan kandidat yang punya rekam jejak populis dan sukses saat menjadi kepala daerah di luar Jakarta seperti Joko Widodo (Jokowi).

Atas pertimbangan elektoral itu pula beberapa partai lain mengubah skema pencalonan, misalnya kemunculan Hidayat Nur Wahid di PKS dan dipadukannya Fauzi Bowo dengan Nachrowi Ramli di buku Demokrat. Ketatnya pertarungan enam pasang kandidat tersebut menyebabkan prediksi Pilgub DKI akan berlangsung dua putaran sangat mungkin terjadi.

Kriteria Pemimpin

Terlepas dari apa dan bagaimana enam pasangan kandidat itu bertarung dan memenangi Pilgub DKI, satu yang pasti: masyarakat di kota metropolitan ini sangat membutuhkan adanya gubernur transformatif. Sosok pemimpin tipe ini adalah pemimpin yang mampu menggerakkan harapan rakyat untuk senantiasa melakukan perbaikan-perbaikan.

Dalam perspektif penulis ada beberapa syarat gubernur transformatif ini. Pertama, memiliki kemampuan refleksivitas yang memadai. Poole, Seibold dan McPhee dalam Hirokawa, R.Y. & M.S Poole (1986: 237-264), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi, termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar refleksivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang.

Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Pemerintah seharusnya memiliki dua kesadaran dalam proses refleksivitas ini yakni, kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness). Kesadaran diskursif, merujuk pada kemampuan untuk menjelaskan kepada khalayak atas sejumlah sikap, kebijakan dan tindakan pemerintah sehingga khalayak bisa memahaminya dengan baik.


Kenyataannya, kesadaran diskursif ini hingga sekarang masih tertutupi oleh prasangka berlebihan, mekanisme pertahanan diri, dan sejumlah pembenaran yang kerap berlebih-lebihan versi pemilik otoritas kekuasaan dan aparaturnya. Sementara kesadaran praktis (practical conciousness), terkait dengan kemampuan pemimpin untuk dirasakan kehadiran dan manfaat kepemimpinnya di tengah masyarakat.

Kedua, gubernur transformatif ini harus memiliki basis asketisme politik yang memadai. Kata asketisme bermula dari bahasa Yunani ascesis yang bermakna “pelatihan‘. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asketisme diberi arti “paham yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban‘. Sementara dalam Encyclopedia of the Middle Ages, Volume 2 (2000: 118) asketis merupakan sejumlah latihan penyesalan diri, hidup kekurangan, menahan malu atau aib, serta kontemplasi untuk menuju jiwa yang sempurna.

Dengan demikian, asketisme politik secara umum bisa kita pahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak. Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan pribadi untuk mengejar kekuasaan dan kekayaan semata-mata, melainkan demi tujuan kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik tak sekadar moralitas, melainkan juga tindakan sosial. Dalam konstruksi berpikir Habermas, tindakan sosial ini biasanya melibatkan dua dimensi praksis, yakni kerja dan interaksi.

Ketiga, memiliki sumberdaya politik (political resources) yang memadai untuk mendukung performa komunikatifnya. Pemimpin terpilih harus mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power) sebagai produk dari pilgub langsung. Dalam menjaga performa, tentu terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan cara pandang masyarakat atas sosok gubernur dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata gubernur ke depan.

Citra penting tetapi bukan segalanya, karena jika pemimpin secara dominan terjebak ke dalam politik citra saja, maka akan selalu menciptakan hiperealitas. Tentu pemimpin transformasional tidak akan menjadikan politik citra sebagai segala-galanya karena basis tindakannya adalah selalu mengacu pada agenda kerja.

Gubernur transformatif ini hanya dimungkinkan lahir dari sebuah proses pencalonan yang tidak membebani. Jika sejak awal pencalonan kandidat sudah dibebani upeti ke partai politik, atau menerima investasi dari para pengusaha, apalagi beririsan dengan kelompok mafioso, tentu orientasi kekuasaanya bukan menjadi pelayan publik, melainkan hamba sahaya dari ambisi pribadi dan para investor politiknya.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://www.jurnas.com/epapers/20120411

Tidak ada komentar: