Kamis, 02 September 2010

RUMAH ASPIRASI UNTUK SIAPA?


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 10/08/10)

Kata aspirasi rupanya menjadi sangat populer di kalangan anggota DPR. Bak pepatah, habis dana aspirasi terbitlah rumah aspirasi. Kedua usulan itu sama-sama membuat gegap gempita pemberitaan media sekaligus perbincangan publik yang kian hari kian resisten. Bedanya, dana aspirasi belum memiliki rujukan hukum, sementara rumah aspirasi sudah disebutkan eksplisit di dalam UU No 27/2009 tentang Parlemen (MPR, DPR, DPD, DPRD atau UU MD3).

Penentangan keras masyarakat terhadap proposal dana aspirasi yang dimotori Partai Golkar beberapa waktu lalu, membuat isu ini harus menepi dan sepi. Namun, seperti biasa Senayan selalu punya ledakan dan kejutan, yang menjadi rangkaian utuh "the political game" para pelaku. Hari-hari belakangan ini, isu rumah aspirasi menjadi topik kontroversial yang berembus kencang dari Senayan. Benarkah substansi rumah aspirasi ini untuk rakyat?

Hakikat Aspirasi

Dalam perspektif komunikasi politik tindakan menyerap aspirasi dengan cara mendengarkan, mencatat, mengobservasi, merumuskan dan menjadikan keinginan rakyat sebagai masukan atau tuntutan merupakan sebuah keniscayaan. Menyerap aspirasi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Pertama, melalui formula "face to face informal" dengan pendekatan lobi dan komunikasi persuasif langsung dengan konstituen di daerah pemilihan (dapil). Makin rekat hubungan politisi parlemen dengan pemilih maka akan makin membuka kesempatan bagi optimalisasi peran sebagai wakil rakyat. Proses komunikasi interpersonal yang tak hanya bersifat spontan dan sporadis, melainkan terencana, terukur, dan matang.

Kedua, melalui formula struktur sosial tradisional, hal ini lazim dilakukan melalui jejaring elite yang secara sosial memperoleh pengakuan informal sebagai tokoh yang berpengaruh di sebuah masyarakat. Di setiap dapil para anggota DPR semestinya dekat dan mendengar suara tokoh-tokoh masyarakat yang biasa dijadikan referensi masyarakat awam (general public). Ketiga, melalui formula input politik, dengan mengefektifkan cara mendengar dan cara menindaklanjuti suara dari kelompok berperhatian (public attentive) yang umumnya memberi masukan sudah “setengah matang”. Misal, masukan dari kelompok penekan (pressure group), kelompok kepentingan (interest group). Antara lain, aspirasi dari kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, kolumnis, ataupun asosiasi profesi dan lain-lain.

Keempat, melalui formula "output" dengan cara mengamati dan memiliki akses pada berbagi instansi yang terkait pengusulan, pembahasan dan pengesahan sebuah kebijakan publik di dapil tempat dia berasal. Sekaligus memantau bagaimana kebijakan publik itu diimplementasikan. Aspirasi tentu bukan rumus pasti, yang memiliki presisi saat formula ditetapkan maka hasil akan seperti itu. Aspirasi itu bermula dari ide cair, lalu mengalami intersubyektivitas makna kemudian konsolidasi sebagai konsensus. Namun, dalam implementasi, bisa kembali cair terutama saat terbuka ruang interpretasi beragam dari apa yang telah dikonsensuskan. Hingga membutuhkan pengawalan dalam implementasinya.

Kelima, melalui formula media masa tradisional dan media baru (new media). Media tradisional misal, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain, terkait berbagai keluhan, usulan, protes, hingga berbagai isu terkait basis konstituen di dapil. Sementara new media dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika secara lebih interaktif, multimedia dan realtime dari kondisi masyarakat yang menjadi dapil. Misal, anggota DPR memanfaatkan Facebook, Twitter, blog dan lain-lain, terutama dapil yang sebagian besar konstituen telah adaptif dengan kemajuan internet, lebih spesifik lagi situs jejaring sosial. Berbagai narasi dari para pengguna internet di dapil bisa diserap sebagai salah satu sumber informasi aspirasi.

Dalam konteks inilah, aspirasi menjadi inti dari proses komunikasi politik antara para anggota DPR dengan rakyat di daerah pemilihan. Gabriel Almond dalam buku lawasnya The Politics of the Developing Areas (1960:45) menyatakan, ketujuh fungsi lain dalam sistem politik yakni sosialisasi politik, perekrutan politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan, pelaksanaan aturan, dan fungsi penghakiman aturan, semua dibentuk komunikasi politik.

Dengan begitu, karena penyerapan aspirasi bagian dari strategi komunikasi politik, dengan sendirinya menjadi sangat penting dan menentukan. Seluruh fungsi DPR seperti fungsi legislasi, pengawasan dan anggaran tidak akan berjalan optimal jika anggota DPR semena-mena menelantarkan konstituen dan hanya berbasa-basi akan memperjuangkan aspirasi mereka kala belum terpilih. Hanya, tentu saja formula penyerapan aspirasi ini jangan sampai salah kaprah. Alih-alih melakukan penyerapan aspirasi sebagai wujud fungsi representasi, yang ada malah mereduksi aspirasi itu menjadi komoditas alias proyek bancakan uang negara sekadar citra dan penghasilan tambahan para anggota dewan.

Biaya Sendiri

Menyerap aspirasi rakyat sebagai bagian dari komunikasi politik di dapil tentu menjadi keniscayaan politik modern. Terlebih di dalam pilihan sistem politik saat ini, rakyat memilih langsung dalam pemilu. Namun, pembahasan rumah aspirasi di DPR justru mengarah ke ironi. Ada dua faktor utama yang menyebabkan publik bertanya penuh curiga atas rencana implementasi kebijakan rumah aspirasi di tahun anggaran 2011.

Pertama, rumah aspirasi didesain menggunakan dana rakyat yang tak sedikit. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Pius Lustrilanang mengungkapkan, ke berbagai media masa (3/8), usulan rumah aspirasi itu, setiap anggota dewan akan mendapat kucuran dana Rp374 juta per tahun. Dana ini untuk sewa rumah di dapil masing-masing. Juga kegiatan operasional seperti sekretariat dan biaya pertemuan dengan konstituen di rumah aspirasi itu. Dengan jumlah anggota DPR 560 orang, anggaran yang dikeluarkan per tahun mencapai Rp209 miliar. Saat bersamaan deretan penghasilan anggota DPR mulai dari gaji pokok, tunjangan listrik, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, tunjangan pengawasan yang rutin diterima setiap bulan diakumulasikan dengan penghasilan-penghasilan lain nonrutin yang semua dibiayai dari dana rakyat.

Jika anggota DPR serius mau menyerap aspirasi rakyat di dapil semestinya mau dan mampu menggunakan dana yang selama ini mereka nikmati. Sebut saja, tunjangan komunikasi intensif yang rutin diterima setiap bulan. Ada juga dana penyerapan (reses) Rp31,5 juta. Dalam satu tahun sidang, ada empat kali reses jika ditotal per tahun Rp126 juta. Mengapa dana-dana itu tidak dipergunakan mengoperasionalisasikan rumah aspirasi? Publik tentu setuju dan mendukung gagasan rumah aspirasi dengan catatan rumah itu harus dibiayai sendiri oleh anggota DPR, bukan menggunakan dana rakyat.

Kedua, DPR sekarang ini tampak secara demonstratif melegitimasi gagasan rumah aspirasi sebagai amanat UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan tatib DPR yang harus dilaksanakan dan ditanggung APBN. Pasal 203 Tata Tertib DPR memang menyebutkan, dalam melaksanakan representasi rakyat, anggota dalam satu daerah pemilihan (dapil) dapat membentuk rumah aspirasi. Kata “dapat” sesungguhnya mengandung makna bisa dilaksanakan bisa juga tidak, tergantung konsensus para anggota dewan. Menyerap aspirasi tentu merupakan pekerjaan penting dan bukan sampingan.

Namun sesungguhnya, jika berbagai partai politik mampu mengoptimalkan fungsi-fungsi partai mulai dari level provinsi, kabupaten, kecamatan serta desa, tentu sekretariat parpol yang bersangkutanlah yang dapat memerankan diri sebagai rumah aspirasi. Sayangnya, banyak parpol tak siap, hingga para anggota DPR harus menjustifikasi rumah aspirasi sebagai keharusan. Jika pun rumah aspirasi jadi direalisasikan, maka didedikasikan untuk rakyat bukan pencitraan DPR.

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=139875&pagecomment=1

Tidak ada komentar: