Minggu, 28 Desember 2008

PARADOKS LIPUTAN INFOTAINMENT




Oleh : Gun Gun Heryanto


Akhir tahun 2008 ini, ditutup dengan petaka bagi pencitraan para pesohor yang sedang “dikemas” oleh para pekerja infotainment. Di antara pesohor yang sedang diburu dari segala “penjuru mata angin” di penghujung tahun ini, adalah Marcella Zaliyanti, Ananda Mikola dan Moreno Soeprapto. Nyaris tak ada yang kelewat, seluruh rincian fakta diramu dengan sejumlah asumsi dan berbagai framing yang kian memperkuat unsur dramatis realitas perilaku kekerasan yang ditudingkan kepada mereka. Sehingga, mereka terjerembab di titik nadir dari asumsi positif khalayak. Tentu, sepanjang tahun ini, tak hanya mereka yang menjadi sasaran bidik, deretan nama lain pun menjadi sumber “asupan” bagi bertahannya eksistensi tayangan infotainment di industri televisi maupun media cetak.

Jurnalisme Infotainment ?
Amati sejumlah judul yang dalam sekejap bisa meluluhlantakkan jejak rekam para pesohor tadi. Judul-judul dengan tulisan mencolok seperti “Ananda Jadi Debt Colector”, “Dari Bapalan Menjadi Preman”, “Artis Manis Berprilaku Bengis” merupakan sedikit contoh dari penanda dahsyatnya kemasan kata. Yang terjadi di liputan televisi lebih heboh lagi, tak hanya narasi yang menggiring, visualisasinya juga sudah menjadi vonis tersendiri sebelum hukuman pengadilan dijatuhkan. Terlepas dari apakah memang Marcella dan Ananda melakukan tindak premanisme, kepatutan untuk mengembangkan prinsip imparsialitas dan asas praduga tak bersalah sudah selayaknya menjadi pedoman para jurnalis. Itu pun jika para pekerja infotainment konsekuen dengan klaim bahwa mereka mengidentifikasi diri sebagai jurnalis.
Istilah para pekerja infotainment sengaja digunakan dalam konteks tulisan ini, mengingat masih menjadi suatu perdebatan, apakah peliput jagat hiburan dan para pesohor di ruang publik ini sebagai jurnalis ? Sehingga, muatan kerja mereka dapat kita kategorikan sebagai jurnalisme infotainment, atau mereka semata-mata pekerja hiburan yang sedang meminjam ranah peran para wartawan untuk legitimasi profesi di masyarakat.
Konsep infotainment mulanya dipopulerkan oleh para penggiat di Jhon Hopkins University (JHU), Baltimore, AS. Mereka bukan orang-orang yang bekerja untuk media, melainkan dalam misi kemanusiaan meningkatkan kesejahteraan manusia melalui berbagai aspek kesehatan. Misi mereka didukung oleh Center of Communication Program (CCP) yang bertugas mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan guna mengubah prilaku kesehatan masyarakat. Para pakar komunikasi di CCP termasuk Everet M Roger, merumuskan formula jitu metode penyampaian pesan, maka lahirlah konsep infotainment. Ini merupakan neologisme yang menggabungkan information dan entertainment. Basis utamanya adalah informasi, adapun hiburan disisipkan sebagai pancingan untuk memalingkan perhatian khalayak. Dengan demikian porsi terbesarnya tentu saja adalah informasi itu sendiri bukan hiburannya.
Saat infotainment diadopsi dalam kerja media massa, terjadi salah kaprah. Dimana infotainment dimaknai sebagai informasi tentang hiburan. Sehingga, hiburan menjadi fokus dan kerapkali makna substantif dari sebuah informasi direduksi. Misalnya dengan dramatisasi fakta, dugaan berlebihan, penggiringan opini, liputan yang sepihak serta sejumlah standar etika lainnya yang telah diabaikan secara sadar.
Faktanya, hingga saat ini kecendrungan tayangan infotainment makin meningkat. Bahkan, bagi stasiun-stasiun televisi seolah menjadi bagian utuh dari the logic of accumulation and ecxlusion . Ini merupakan tesis pemikiran Douglas Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan bahwa ada kecenderungan siaran televisi lebih banyak diatur “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan hak akumulasi modal sebebas-bebasnya.
Dalam penelitian Agus Maladi (2007), tercatat jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode. Sementara menurut data yang dimiliki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tahun 2002 tercatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari), dan tahun 2007 menjadi 15 jam sehari atau lebih dari 210 episode dalam seminggu. Tahun 2008, tayangan jenis ini bukannya menyurut melainkan kian menjadi-jadi. Acara semacam Was-was, Check and Recheck, Go Spot, Insert, Hallo Selebriti, Kasak-Kusuk dan sejumlah nama tayangan sejenis mengepung ruang keluarga dengan menu gosip hangat seputar kehidupan para pesohor. Melihat kecendurungan kerja liputan infotainment di berbagai stasiun televisi kita, berat rasanya mengakategorikan infotainment sebagai bagian dari kerja jurnalistik. Terjadi paradoks antara kerja jurnalistik yang seharusnya berdasarkan fakta dan independensi, dengan infotainment yang mengusung semangat bergosip.

Common Storyteller
Tak dapat disangkal bahwa televisi menjadi penyampai dari sekian ragam informasi publik yang menghubungkan satu generasi ke genarasi. Kekuatan audio visualnya, di level tertentu mampu menghadirkan suatu ”dunia” yang tadinya di luar khalayak menjadi tergambar dalam pikiran mereka. Peran sebagai common storyteller mampu menghadirkan realitas, meski hanya realitas absurd sekali pun.
Peran penting dalam konteks ini terkait dengan pembentukan opini publik. Media massa membingkai ”realitas ada” menjadi menonjol dalam perhatian publik, sehingga merangsang khalayak untuk melakukan respon aktif. Opini publik sejak diteliti secara serius oleh Walter Lipman pada Perang Dunia I hingga sekarang, senantiasa memiliki empat karakter, yakni merupakan respon aktif masyarakat, dikonstruksi, menyumbang citra dan yang terpenting terkait dengan isu–isu yang memiliki dampak luas bagi khalayak. Ketika berbicara kenaikan BBM, kenaikan tarif dasar listrik, korupsi di sebuah instansi dan contoh-contoh lain yang sejenis, tentu saja hal-hal tersebut dapat kita simak hubungannya dengan hajat hidup orang banyak yang mengaksesnya. Berbeda dengan saat media menginformasikan pacar, selingkuhan serta prosesi kawin-cerai para selebritis tidak memiliki dampak apa pun, kecuali hiburan semata-mata. Infotainment tak akan hilang, oleh karenanya khalayak mesti memiliki pilihan selektif dan mulai berpikir untuk tidak kecanduan infotainment.

1 komentar:

fieafrians mengatakan...

Realita itu yang saat ni terjadi, begitu hebatnya media,"powerful"! Media menjadi konstruktor yang dapat memainkan pikiran penikmatnya. Sehubungan dengan tulisan ini, infotainmen merupakan alat/instrumen bagi konstruktor2 tersebut. Begitu banyak orang yang telah terkena imbas infotainment.Gossip dapat dikatakan telah menjadi perilaku sehari-hari untuk dikonsumsi oleh sebagian orang. Agama sekalipun kurang bisa mengontrol kuatnya arus gossip di infotainment. Padahal gossip/menggunjingkan orang lain adalah tidak baik menurut ajaran agama dengan penganut mayoritas di negara ini, yaitu Islam. Siapa yang paling bertanggung jawab akan kondisi ini? Sebagian kita belum memiliki kesadaran akan Melek Media, bahkan orang-orang di dalam dunia ilmu komunikasi sekalipun. Hal ini hendaknya dimulai dari diri sendiri, seterusnya meluas pada lingkungan sekitar, hingga lingkup terluas. Apa yang akan terjadi pada bangsa yang sebagian penduduknya hidup dengan gossip di Infotainment yang hanya sarat dengan hibran belaka? Sebagian kita belum memiliki pemahaman mengenai persoalan ini. Pola pikir mereka tidak secara dalam memandang infotainment dan media, jadi hanya menerima apa yang diberikan. Pola pikir masyarakat juga aspek penting yang harus dibenahi melalui kita sendiri, keluarga dan terus meluas melalui proses brainstorming. Diantara hal-hal positif pada media terselip sebongkah hal negatif yang selalu seirng sejalan. Jikalau infotainment tak akan hilang, semoga akan muncul sesuatu yang dapat mengimbanginya. Semua, termasuk media masih dan pasti dapat dikendalikan. Hidup ini dinamis begitu pula media, meliliki dinamika yang akan terus terjadi sampai kapanpun. (numpang nulis2 boleh kan pa'... cuma skedar opini aj, maaf klo sok tau. Hhe..)