Selasa, 18 September 2007

WAJAH RAMADHAN DI TELEVISI

Oleh : Gun Gun Heryanto*

(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO)

Suasana Ramadhan semarak kembali di tengah masyarakat. Bulan suci bagi umat Islam ini, selain menjadi momentum perbaikan diri untuk kembali ke jiwa yang fitri dalam perspektif agama, juga biasanya menghadirkan ritus tahunan yang mapan di tengah masyarakat. Ritus yang tak hanya menempatkan ibadah dalam ranah privat, melainkan juga telah melembaga dalam budaya populer sebagian besar masyarakat Indonesia. Wajar kiranya, jika gebyar Ramadhan telah hadir menjadi tradisi komunal yang sarat makna. Mulai dari pemaknaan religiusitas, komitmen sosial, hingga pemaknaan yang sifatnya ekonomis-pragmatis oleh sebagian kalangan.
Kemasan Ramadhan
Salah satu fenomena yang menarik kita perhatikan di hampir setiap bulan Ramadhan adalah semaraknya acara TV dengan berbagai kemasan (package) program bernafas agama. Mulai dari reality show, sinetron, talk show, komedi, ceramah keagamaan dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak yang dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadhan. Kesemarakan kian lengkap dengan hadirnya selebritis dalam paket kemasan tersebut.
Kenyataannya, kiprah stasiun-stasiun TV dalam menyemarakan Ramadhan masih banyak menuai kritik. Kerapkali tuduhan keras terlontar, bahwa TV hanya memanfaatkan Ramadhan sebagai ladang bisnis tahunan, tanpa mengkaji lebih dalam substansi Ramadhan itu sendiri. Menurut penulis, ada beberapa catatan penting dalam menilai posisi media massa termasuk TV dalam konteks Ramadhan.
Pertama, harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh dan berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini penulis setuju dengan pendapat Shoemaker (1991 :121), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan (Smythe, 1997 : 1). Stasiun-stasiun televisi komersil tentunya memakai logika berpikir yang sama dalam memaknai Ramadhan. Selama bulan Ramadhan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut.
Khalayak yang puas dengan pemakaian media akan berdampak pada kumulasi modal. Dimmick dan Rothenbuhler (1984) dalam hal ini mengatakan, ada tiga sumber kehidupan bagi media yakni content, capital dan audiences. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula ratting program tersebut. Akibat lebih lanjut, tentu saja para pengiklan akan semakin berminat mamasang iklan pada program yang bersangkutan. Dalam konteks ini, tampilan media televisi yang kental dengan wajah industri tak bisa dipersalahkan.
Ramadhan sama halnya dengan momen perhelatan World Cup dan Euro Championship pada permainan sepakbola atau pun momen kampanye saat Pemilu. Sama-sama memiliki segmen khalayak yang jelas, yang dipersatukan oleh ideologi tertentu. Piala dunia dan Euro pada perhelatan sepakbola misalnya, dipersatukan oleh “ideologi kulit bundar”, kampanye di persatukan oleh ideologi politik, sementara Ramadhan dipersatukan ideologi agama. Momentum tersebut sama-sama membentuk basis massa dan segmen khalayak yang jelas bagi media.
Kedua, meskipun wajah industri nyata tergambar dalam gebyarnya paket Ramadhan di televisi, tak bisa dinafikan bahwa televisi menjadi entitas sosial yang sangat berpengaruh. Framing yang dikonstruksinya meminjam istilah Goffman ibarat kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas (dalam Alex Sobur, 2001: 62). Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas Ramadhan telah memungkinkan individu khalayak dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi serta memberi label. Dengan keperkasaannya sebagai institusi sosial yang memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan menjangkau khalayak luas, televisi tampil kian digandrungi.
Kiprah stasiun-stasiun televisi menonjolkan fenomena Ramadhan dalam konteks ini patut dihargai. Karena bisa jadi, exposure (terpaan) tentang Ramadhan membentuk dampak yang kuat karena media menerapkan prinsip konsonansi. Dalam literatur komunikasi massa, konsonansi diartikan sebagai isi informasi tentang sesuatu yang disampaikan oleh berbagai media massa yang relatif sama atau serupa. Kesamaan dalam hal materi isi, arah dan orientasinya termasuk juga dalam hal waktu, frekuensi dan cara penyajiannya. Berbagai stasiun TV yang rame-rame menanyangkan sinetron, talkshow, reality show, ceramah yang berbau Ramadhan seyogyanya tidak dapandang secara skeptis. Karena realitas simbolik tentang Ramadhan yang diusung TV, bisa menghadirkan suasana Ramadhan hingga ke ruang-ruang keluarga.
Substansi Program
Catatan kritis yang perlu penulis kemukakan adalah menyangkut kualitas program yang ditampilkan. Pertama, kualitas bahasa dan tindakan simbolis yang digunakan untuk menyimbolkan keagungan bulan Ramadhan seyogyanya terjaga. Jangan karena mengejar keuntungan tayangan, stasiun-stasiun TV terjebak pada model identifikasi mitis dan distansi alegoris. Identifikasi mitis artinya melebih-lebihkan kesatuan identitas Ramadhan, antara tindakan simbolis dengan apa yang disimbolkannya. Sementara distansi alegoris, justru mengkonstruksi realitas Ramadhan terlampau berbeda dengan substansinya, sehingga menyebabkan keterasingan Ramadhan dari hakekat yang sesungguhnya. Ramadhan cukup disimbolkan sebagai bulan evaluasi dan refleksi dalam peneguhan sosok manusia penyabar, peduli, memiliki komitmen sosial dan mampu mengendalikan dirinya. Sehingga khalayak dapat menyingkap simbol itu dan terpengaruh baik secara kognisi, afeksi maupun konasinya.
Kedua, harus ada perimbangan antara program yang bermuatan edukasi dengan yang entertainment. Dengan konsep dan inovasi kreatif serta didukung produksi yang baik, tentu bisa lebih menghadirkan kesemarakan Ramadhan di layar TV, tanpa mendistorsi muatan nilai yang terkandung di dalamnya. Kita memang tidak bisa menafikan keberadaan TV sebagai entitas industri. Mengutip Gordon, Smythe membagi tiga hal yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengidentifikasi karakteristik suatu indusri media. Yakni customer requirments, merujuk pada harapan konsumen tentang produk yang mencakup aspek kualitas, diversitas dan ketersediaan. Competitive environment, yaitu lingkungan pesaing yang dihadapi perusahaan, dan terakhir social expectation yang berhubungan dengan tingkat harapan masyarakat terhadap keberadaan industri. Semakin tersedia program Ramadhan yang bagus, semakin beragam format acaranya dan semakin bagus kualitasnya, maka akan muncul kepuasan pada khalayak.
Memang kerapkali industri juga memiliki kelemahan. Diantaranya, industri media lebih berorientasi pada pemenuhan keinginan market sesuai dengan kriteria apa yang paling memungkinkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Kerap kali kita perhatikan, produk media pada paket acara Ramadhan bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan substansi Ramadhannya. Misalnya, cermah dan disuksi keagamaan di beberapa stasiun TV, justru diisi bukan oleh ahlinya, melainkan oleh selebritis yang dari ukuran komersial dianggap menguntungkan. Kalau pun ada kyai atau ustadz sesungguhnya, rumusannya adalah memakai kyai atau ustadz yang ngetop dan ngepop. Begitu juga dalam paket program buka puasa dan sahur, substansi acara keagamaan justru hanya menjadi pelengkap penderita. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dalam konteks industri kapitalis, produk media lebih merupakan mode of productions. Namun demikian, terlepas dari plus minusnya media dalam sistem industri, televisi tetap menjadi media massa yang dibutuhkan khalayak.


Daftar Rujukan
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, (1991), Mediating the Message : Theories of Influence on Mass Media Content, New York : Longman Publishing Group
Smythe, Dallas, (1997), Communication: blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol. I No.3
Dimmick, J and Rothenbuhler, E., the Theory of the Niche : Quantifying Among Media Industries, dalam Journal of Communication, Winter, 1984

Sobur, Alex, (2001), Analisis Teks Media, Bandung : Rosdakarya

Tidak ada komentar: