Jumat, 09 November 2007

KONVERGENSI PANGGUNG POLITIK

KONVERGENSI PANGGUNG POLITIK
Oleh : Gun Gun Heryanto*

(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO, Rabu 21 November 2007)

Wajah politik Indonesia kontemporer makin memapankan fenomena politik pencitraan. Dunia hiburan dan dunia politik menyatu menyediakan panggung simbolis yang memproduksi dan mengkonstruksi tindakan politik para aktor yang ada di dalamnya. Kenyataan itulah kiranya, yang menyadarkan Presiden SBY hingga dia harus berjibaku menyediakan waktu khusus untuk mengawal popularitasnya. Contoh pencitraan ala SBY yang belakangan dilakukannya adalah peluncuran album Rinduku Padamu di Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta, 28 oktober lalu. Di album perdananya yang diproduksi The One Production inilah, SBY menulis 10 lagu dalam rentang April 2006-Oktober 2007. Meski timnya berupaya meyakinkan publik bahwa peluncuran album yang nantinya akan didistribusikan melalui PT Nagaswara Sakti tersebut murni komersial, tak dapat disangkal bahwa album tersebut juga merupakan bagian dari political marketing SBY.
Konvergensi
Tak hanya SBY yang kini memanfaatkan panggung pencitraan. Sejumlah tokoh dan politisi sibuk mengemas pesona dirinya melalui panggung hiburan. Ketua Mahkamah Kontitusi Jimly Asshidiqie misalnya, pernah bermain dalam ketoprak guyon dengan Paguyuban Puspo Budoyo di Taman Ismail Marzuki (25/5). Politisi PPP yang sebelumnya di PKB Saifullah Yusuf dan politisi PBB Yusril Ihza Mahendra kini menjadi bintang film di Sinetron Laksamana Ceng Ho yang akan mulai tayang akhir Januari 2008. Di Sinetron produksi Kantana Film (Thailand) dan Jupiter Global (Indonesia), Saifullah Yusuf yang mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini memerankan Raja Majapahit Wikramawardhana, sementara mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra memerankan sosok Laksamana Ceng Ho.
Sederet nama lain yang menjelajah panggung hiburan adalah Ketua Lemhanas Muladi, Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Goeltom, kandidat calon Presiden RI tahun 2009 yang juga mantan Gubernur DKI Sutiyoso, Jaksa Agung Hendarman Supandji mereka bermain ketoprak di beberapa panggung pertunjukan berbeda. Seolah tak mau ketinggalan, banyak kepala daerah yang juga menggunakan panggung hiburan baik seni peran atau pun seni suara dalam konteks pemasaran politik mereka.
Selebrisasi di dunia politik ini merupakan fenomen menguatnya konvergensi di ranah politik pencitraan antara panggung politik dan panggung hiburan. Sedikit berbeda dengan era sebelumnya, dimana dulu kita lebih banyak melihat fenomena hijrahnya selebritis-selebritis panggung hiburan ke panggung politik karena mereka kerap dijadikan vote getter. Sementara saat ini, sekat-sekat antara penghibur dan politisi sudah mulai kabur. Banyak politisi yang masuk langsung melakukan politik pengemasan diri atau personal branding melalui industri hiburan. Bahkan di banyak kasus, pengemasan diri mereka menyesuaikan dengan standar profesional dunia hiburan.
Begitu pun sebaliknya, banyak penghibur atau artis yang terjun ke dunia politik secara sungguh-sungguh seolah-olah menegaskan bahwa mereka tak mau hanya menjadi sekedar pelengkap penderita. Mewakili industri hiburan, kita dapat menyebut sederat nama yang terjun ke politik praktis antaralain Sys NS (NKRI), Dede Yusuf (PAN), Angelina Sondakh (Demokrat), Wanda Hamidah (PAN), Marisa Haque (sekarang kader PPP), Komar (Demokrat), Rieke Dyah Pitaloka (PKB) dll.
Masifikasi dan Imitasi
Konvergensi panggung politik dan hiburan semakin kuat karena beberapa fakor. Pertama, terjadinya masifikasi industri hiburan yang diperkuat oleh dukungan industri media massa baik cetak maupun elektronika. Realitas simbolik media massa telah berhasil memotong jalur komunikasi yang selama ini berpengaruh bagi khalayak yakni keluarga, pendidikan, institusi-institusi keagamaan dan institusi-institusi kebudayaan. Terpaan media mampu mengkonstruksi realitas simbolik yang diproduksinya menjadi realitas objektif dalam pemahaman khalayak. Dengan demikian, media menjadi sangat ampuh mempengaruhi masyarakat terlebih di tipe masyarakat Indonesia yang secara umum masih belum melek informasi. Industri hiburan yang berkolaborasi dengan industri media massa telah menyediakan instrumen persuasi bahkan di level tertentu berhasil melakukan brainwashing terhadap kesadaran publik. Oleh karena sifatnya yang masif inilah, dunia hiburan memainkan peran signifikan dalam politik pencitraan.
Kedua, panggung politik dan panggung hiburan kita memiliki kesamaan terutama dalam proses reinforment imitasi. Miller dan Dollard (1941) dalam perspekti Sosiologi Komunikasi Massa memahami bahwa sebuah proses reinforment imitasi tercipta melalui pengkondisian instrumental (instrumental conditioning).
Dalam dunia politik dan hiburan, secara teknis pengkondisian instrumental dilakukan melalui tiga prilaku imitasi yakni pertama, stimuli lingkungan yang sama sehingga individu memberi respon yang sama (same behahior). Politik dan hiburan sama-sama menciptakan mekanisme yang terpola sehingga khalayak memiliki prilaku serupa. Kesadaran individu sering dimanipulasi sehingga relevan dengan apa yang diinginkan oleh aktor.
Kedua, pencocokan perilaku individu sedekat mungkin dengan perilaku orang lain biasanya melalui sosok figur atau tokoh (copying). Elit opinion, figure head, atau pun tokoh kharismatik lainnya memunculkan rule model. Tak heran jika dunia hiburan mengenal fans club, yang di era sekarang ini juga berlaku di dunia politik.
Ketiga, matched-dependent behavior yakni pengkondisian kecenderungan kuat tindakan si model seolah-olah peniru memperoleh imbalan dari prilaku tiruannya (imitatifnya). Hal ini terkait dengan mekanisme yang dibuat untuk membuat khalayak selalu tergantung pada apa yang diinginkan aktor. Khalayak tak independen dan tak cukup kritis untuk mempertanyakan apa yang telah dilakukan mereka, misalnya buat apa mereka memilih ? karena mereka mengorientasikan dirinya sesuai dengan prilaku tokoh tempat mereka bergantung. Hal seperti inilah yang sesungguhnya melanggengkan feodalisme di dalam sistem politik Indonesia.
Simbol ke Substansi
Presiden SBY merupakan Presiden RI yang teramat peduli dengan politik pencitraan. Hal ini bisa dimaklumi, karena salah satu faktor utama keberhasilan SBY di Pemilu 2004 adalah pencitraan personalnya. Namun relevankah jika saat ini politik pencitraan masih di level simbolis?. Tentu saja tidak, karena pencitraan simbolis hanya akan menempatkan diri SBY dalam egoisme individunya. Ego untuk selalu diperhatikan, dipuja atau dieluk-elukan, dengan sendirinya akan menjadi virus bagi dirinya di massa mendatang, karena tak lagi mendapatkan kritisisme dari khalayak secara memadai.
Kini saatnya politik pencitraan yang mengalami konvergensi antara panggung politik dengan panggung hiburan mengubah strategi kerjanya dari simbolis ke substansial. Dari sekedar pidato dan publisitas melalui berbagai media massa berganti dengan program yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak. Tidak ada yang salah jika seorang presiden bernyanyi atau mencipta lagu, politisi main sinetron atau pun manggung di pentas kesenian tradisional, yang salah adalah jika mereka para pemimpin itu tak dapat merasakan penderitaan yang dirasakan khalayaknya.
Keasyikan menikmati panggung simbolis lambat tapi pasti akan mengalami degradasi sehingga sangat pasti jika kemasan simbolis tersebut tak lagi berfungsi sebagai pendongkrak suara. Bahkan bisa menjadi boomerang jika mengemas dirinya secara salah, karena bagaimana pun rakyat akan memilih dan mengkritisinya. Strategi politik pencitraan sudah sepatutnya menekankan tak hanya pada unsur attractiveness, melainkan juga pada kompetensi untuk membawa khalayak menuju kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar: