Sabtu, 29 Desember 2012

GELEMBUNG POLITIK KAUM ELITE

Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan pada 27 November 2012)

Atmosfer pertarungan politik 2014 sudah kian terasa. Eskalasi konflik antar-elite semakin gegap gempita mulai dari ruang media hingga situs jejaring sosial. Beragam strategi manajemen konflik dipraktikkan guna mengokohkan eksistensi aktor yang pada saat bersamaan menjadi alat delegitimasi lawan politiknya.

Pengujung 2012 ini menjadi momentum beragam parpol memanaskan mesin politik mereka sekaligus mencari sebanyak mungkin peluang guna publikasi politik kepada khalayak. Salah satu yang menonjol belakangan fenomena bubble politic yang secara sengaja ditiupkan para elite guna memalingkan perhatian masyarakat pada isu-isu stratagis.

Modus Lama

Meniup gelembung politik merupakan modus lama untuk mengonstruksi realitas. Langkah ini tentunya dirancang secara sadar dan terorganisasi untuk memengaruhi persepsi khalayak sehingga intersubjektivitas yang dibangun antarsesama bisa terbentuk atau bahkan dimanipulasi sesuai dengan keinginan aktor.

Sebagian besar sangat paham bahwa yang dominan dalam politik adalah persepsi publik sehingga beragam operasi untuk mengendalikan opini menjadi sangat penting.

Maxwell McCombs dan Donald L Shaw dalam tulisan klasik mereka The Agenda Setting Function of Mass Media yang dipublikasikan Public Opiniom Quarterly pada 1972 mengungkapkan bahwa media memberi tekanan pada suatu peristiwa, akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Perspektif agenda setting memandang media massa melakukan to tell what to think about. Artinya, membentuk persepsi khalayak tentang sesuatu yang dianggap penting. Upaya para politikus untuk mengendalikan opini tersebut mendapat konteks penjelasannya. Contoh, mereka yang di Senayan kini sibuk mengangkat kembali “zombie” Century ke permukaan.

Mereka menginisiasi hak menyatakan pendapat (HMP) dan menabuh genderang perang untuk orang lingkar istana, seperti Wakil Presiden Boediono yang saat Kasus Century meledak menjabat Gubernur Bank Indonesia.

HMP sepertinya akan dijadikan permainan politik baru sekaligus alat sandera hingga 2014. Jika para anggota DPR serius menggunakan HMP tentu sudah mereka lakukan tahun 2009 setelah hak angket tentang dana talangan Bank Century. Semua ingat, saat Pansus Century terbentuk dan menjadi panggung para politisi di DPR, maka yang diuntungkan hanyalah kaum elite yang terlibat dalam skenario kompromi.

Selain memunculkan para pesohor politik yang hampir setiap hari mendapat ruang pemberitaan media, goreng-menggoreng Century juga sukses menjadi alat tekan bagi Presiden Susilo BambangYudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat untuk menjalankan negosiasi. Ini telah dibuktikan dengan pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) dan mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) selaku menteri keuangan sebagai win-win solutions yang berujung dengan Opsi C pada Rabu, 3 Maret 2010.

Lantas apa yang didapat publik setelah gegap gempita Pansus Century tersebut? Tidak ada! Para politisi hanya melempar rekomendasi setengah hati dan bola panas pun dipindah ke KPK. Sejak itu, para politisi membiarkan kasus Century digerus kemunculan sejumlah isu lain yang menutup perhatian publik.

Seperti diduga sebelumnya, Century pun kembali "dijual" oleh para politisi yang kebetulan juga banyak menjadi news framing media. Tentu, modus agenda setting itu jelas, yakni tindakan para politisi yang dibingkai lewat media berorientasi pada efek langsung dan lanjutan (subsequent effects).

Efek langsung berkaitan dengan ada tidaknya isu Century dalam agenda khalayak (pengenalan). Kalayak memlihak isu yang terpenting (salience). Kemudian isu tersebut diranking responden dan dilihat kesesuaiannya dengan peringkat media.

Sementara itu, subsequent effects berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang kasus Century dan tindakan khalayak agar bersikap seperti yang diinginkan politisi. Singkatnya, serangkaian fakta menunjukkan niat politisi mengangkat lagi Century patut dikritisi, bukan dalam konteks menyelesaikan kasus ini, melainkan dalam upaya maksimalisasi agenda setting mereka agar memiliki momentum bermanuver di tengah polemik isu yang mereka naikkan.

Lepas dari berani-tidaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus Century hingga menyentuh orang atau sekelompok individu yang untouchable, tetapi ini jauh lebih baik jika tetap ditangani lembaga tersebut. Hanya memang butuh sebuah inisiasi dari berbagai gerakan civil society untuk mendorong KPK tak ragu melangkah. Berbagai fakta dalam perjalanan KPK menunjukkan institusi ini masih menjadi satu-satunya lembaga penegak hukum yang relatif masih dipercaya.

Di tengah nada sumbang atas keberanian KPK mengusut megaskandal Century, publik sebaiknya mengambil perannya sendiri dengan mendorong KPK untuk tetap pada komitmennya menuntaskan Century. Opini publik yang terserak jika sudah solid dan konsolidatif akan menjadi tsunami politik bagi orang atau institusi mana pun.

Masih ingat gerakan “Selamatkan KPK” dalam kasus simulator SIM di tubuh Polri. Saat opini publik menjadi menggelombang, presiden dan Polri sekalipun tak punya pilihan, kecuali harus mengikuti tuntutan publik. Elizabeth Noelle-Neumann melalui tulisannya The Spiral of Silence (1984) mengasumsikan bila opini mayoritas terbentuk, maka pendapat minoritas cenderung diam atau menyesuaikan.

Kalaupun Century mau diangkat lagi dan serius dituntaskan, publik perlu mendukung di ranah hukum agar tidak dibajak dan dijadikan komoditas di panggung politik kaum elite.

News Maker

Tak hanya kasus Century, gelembung politik juga mencuat dari sejumlah figur pejabat publik. Nama Dahlan Iskan, Dipo Alam, dan Mahfud MD secara bergantian menjadi news maker di berbagai media. Pernyataan mereka sensasional sehingga turut menyuplai berita seksi di media massa. Dahlan Iskan menyerang DPR terkait pernyataanya tentang sejumlah oknum wakil rakyat yang memeras BUMN. Serangan Dipo Alam tak kalah garang. Dia sangat yakin adanya praktik kongkalikong pembahasan anggaran di sejumlah lembaga seperti Kementerian Pertanian, Perdagangan, dan Pertahanan.

Sementara itu, Mahfud menohok istana terkait dengan pemberian grasi oleh Presiden SBY kepada Meirika Franola (Ola). Mahfud MD menduga mafia narkoba sudah masuk istana. Pernyataan yang membuat geram orang-orang di lingkaran SBY seperti Menteri Sekretaris Negara, Sudi Silalahi, yang sangat berkeberatan dan merasa terhina dengan pernyataan tersebut.

Terlepas dari beragam konteks dan tujuan pernyataan ketiga pejabat publik tersebut, yang jelas lontaran itu ditangkap khalayak luas. Ketiganya memicu polemik dan menyeret energi kreatif bangsa ini pada pusaran konflik elitis. Konflik itu lumrah karena relasi kuasa antar-elite kerap memosisikan mereka berseberangan dengan sejumlah pihak.

Namun, mereka juga tidak bisa semena-mena memberi "pepesan kosong" pada publik sebab taruhannya kredibilitas, akuntabilitas, serta profesionalitas selaku pejabat publik.

Dahlan Iskan wajib membuka secara terang benderang anggota DPR yang dituduh minta upeti ke BUMN. Kasus ini tak cukup hanya diselesaikan Badan Kehormatan DPR. Mereka harus dilaporkan ke penegak hukum.

Dipo Alam juga tak cukup hanya mengeluarkan serangan. Dia memang sudah ke KPK menyerahkan laporan, tetapi terlalu prematur bagi publik untuk mengapresiasinya. Benarkah laporan Dipo ke KPK dibarengi bukti-bukti yang kuat ataukah hanya menjadikan panggung? Tentu ini akan terjawab setelah laporan Dipo ditindaklanjuti KPK.

Mahfud jangan berkelit bahwa pernyataanya sekadar analisis sehingga tidak memerlukan pembuktian. Pernyataan para pejabat publik sepatutnya bukan pesan asal bunyi, tapi perpaduan antara kejelasan, tanggung jawab, dan visi kenegarawanan.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/106575

Tidak ada komentar: