Sabtu, 29 Desember 2012

LANGKAH MUNDUR PILGUB


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 15 Agustus 2012)

Salah satu kontroversi yang saat ini terus menggelinding menjadi bola panas di DPR adalah rencana mengembalikan pemilihan gubernur (pilgub) ke DPRD. Hal tersebut masuk ke dalam RUU Pilkada yang sedang intensif dibahas DPR.

Jika konsep pemerintah ini disetujui DPR, peserta pilgub mengacu ke Pasal 11 RUU Pilkada tersebut. Calon hanya dari usulan fraksi atau gabungan fraksi di DPRD Provinsi. Ide ini memiliki banyak kerancuan logika sekaligus berpotensi memutar bandul perjalanan demokrasi ke era ketertutupan seperti pada Orde Baru.

Paradoks

Argumen para pendukung RUU tersebut menimbulkan sejumlah paradoks. Misalnya, gubernur merangkap kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas muncul implikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara risiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding pemilihan bupati atau wali kota. Untuk membuat masuk akal argumentasi ini, biasanya merujuk pada proses implementasi otonomi daerah (otda) yang basis utamanya di level kabupaten dan kota.

Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otda tentu sangat rancu, mencoba menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otda, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi.

Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada aspek administrasi dan politik. Dalam perspektif desentralisasi administrasi, memungkinkan transfer tanggung jawab administratif dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas sampai terendah dalam hierarki teritorial.

Pemerintahan Orde Baru yang sentralistik telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu tandanya pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala daerah yang dikehendaki rakyat.

Hal ini akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput. Dalam konteks inilah, pilkada harus dipahami sebagai alat pemberian legitimasi rakyat kepada pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang berisiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.

Pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi baik finansial maupun sosialnya. Ini dianggap sebagai salah satu penyebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain. Apakah benar, mengembalikan pilgub ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi, mekanisme pemilihan oleh DPRD justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti kandidat ke partai-partai yang berkuasa di DPRD bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.

Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekadar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) Orde Baru. Dalam demokrasi perwakilan, kepala daerah dan wakilnya memang dipilih DPRD, sementara saat ini, demokrasi bersumber langsung pada pilihan rakyat.

Menekan biaya finansial bisa saja dibuat pengetatan aturan dalam proses pilkada, baik bagi penyelenggara pemilu maupun para kandidat, sementara mengurangi biaya sosialnya pilkada harus diselenggarakan mereka yang kredibel, independen, serta dibuat aturan yang jelas dan transparan.

Satu lagi yang harus diingat sejak lahirnya UU No 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah direvisi ketentuan penyelenggara pemilu dalam UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 32 tahun 2002 menempatkan pilkada dalam domain pemerintahan daerah, sementara UU No 22 tahun 2007 menempatkan pilkada dalam domain pemilu.

Konsekuensinya KPU dengan berbagai tugas dan kewajibannya memiliki independensi menyelenggarakan pilkada. Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD tentu akan menjadi blunder karena menempatkan pemilihan kepala daerah dalam domain politik legislator. Ini menambah keruwetan karena harus ada penyelarasan dengan pembahasan revisi UU No 22 tahun 2007 yang kini juga sedang berlangsung di DPR.

Pemilihan gubernur oleh DPRD bisa menyuburkan kembali kartelisasi politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka. Menurut Dan Slater dalam tulisannya "Indonesia's Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition" (2004), Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan kolusi demokrasi (collusive democracy).

Pemilihan oleh DPRD juga bisa memupuk feodalisasi politik karena tak terhindarinya restu para pemilik otoritas yang berada di puncak hierarki kekuasaan parpol. Pilkada langsung oleh warga, jauh lebih menarik dan lebih menjanjikan demokratisasi dibanding langkah mundur pemilihan gubernur.

Pupusnya Independen

Pemilihan gubernur oleh DPRD juga mengancam keberadaan calon-calon independen. UU No 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua dari UU No 32 tahun 2004 memberikan revisi substansial terhadap proses pilkada dengan mengakomodasi calon independen. Meski di banyak daerah calon independen kalah, mekanisme ini memberi ruang ekspresi demokrasi bagi masyarakat.

Hal ini menjadi sangat sulit dilakukan saat pemilihan dikembalikan ke DPRD yang notabene adalah representasi partai-partai politik. Bisa saja peluang kandidat independen untuk mendaftar masih terbuka berdasarkan UU baru nanti, tetapi nyaris mustahil kekuatan fraksi-fraksi di DPRD berminat memilihnya. Hal ini jelas-jelas kemunduran dalam demokrasi elektoral.

Eksistensi kandidat independen sesungguhnya bagus dan menyehatkan guna memacu partai-partai politik agar lebih kompetitif. Selain itu, kandidat independen juga menyediakan opsi berbeda bagi warga negara yang skeptis terhadap peran parpol. Pemilih membutuhkan figur yang didorong warga sendiri secara bersama-sama.

Pilkada DKI bisa menjadi contoh meskipun kandidat independen itu tidak menang, tetapi memberi literasi politik kepada partai-partai dan juga warga bahwa harus ada keseriusan dalam pencalonan kandidat yang akan mengemban amanah sebagai kepala daerah. Memang, dalam sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia hingga kini, tercatat baru ada 10 pasang kandidat independen yang memenangi pilkada.

Sudah dapat diraba apatisme publik kini semakin menjadi dan merata di hampir seluruh daerah. Kekecewaan publik tersebut dipicu perilaku parpol yang ramai-ramai melibatkan diri ke dalam kekuasaan yang korup dan tidak memberi ruang sedikit pun bagi perjuangan politik yang benar-benar pro rakyat.

Partai apa pun nyaris berperilaku sama dengan mengutamakan kepentingan diri dan kelompoknya. Mereka juga mengamankan berbagai akses ke sumber-sumber keuangan. Mekanisme sirkulasi elite cenderung memperteguh oligarki parpol. Untuk itu, dibutuhkan keberadaan kandidat independen guna memperbanyak opsi calon dalam praktik demokrasi.

Tulisan ini bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/98263

Tidak ada komentar: