Sabtu, 29 Desember 2012

G20S/DKI ?


  
Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di SINDO pada 17 September 2012)

Suhu politik di Jakarta kian eskalatif dan mencapai titik kulminasinya pada 20 September. Rivalitas yang terkonsentrasi pada dua kandidat calon gubernur-wakil gubernur, yakni pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Basuki, menyebabkan gerilya pencarian dukungan kian ketat.

Hari pencoblosan akan menjadi momentum menentukan untuk DKI lima tahun ke depan. Meskipun, titik panas Pilkada diprediksi belum akan berakhir meski sudah diketahui siapa pemenangnya di hari menentukan tersebut.

Modus Gerakan

Kalau kita buat pemetaan dalam konteks komunikasi politik, paling tidak ada tiga modus aktivitas dominan yang dilakukan para kandidat dan para pendukungnya jelang babak akhir Pilkada DKI. Pertama, sangat intensifnya aktivitas political publicity dengan cara memanfaatkan beragam momentum dan isu guna memersuasi pemilih.Modus ini dipakai kedua kandidat dengan titik tekan yang cukup berbeda.

Pasangan Foke-Nara tampak lebih banyak memanfaatkan free ride publicity,yakni dengan menyinergikan beragam eventyang digelar pihak ketiga dan mengasosiasikan Foke-Nara dengan basis pemilih dari organisasi atau figur politik level elite yang berhasil dilibatkannya. Misalnya, dia sangat ngotot menguasai gerbong-gerbong parpol yang kalah di putaran pertama sekaligus memanfaatkan efek domino koalisi besar tersebut guna memersuasi basis pemilih partai bersangkutan. Foke-Nara melibatkan peran organisasi massa dan keagamaan secara lebih eksplosif.

Terlihat dari beragam brosur, spanduk, rilis media berisi dukungan yang deras bermunculan jelang putaran kedua. Pasangan ini mengombinasikan strategi tadi dengan paid-publicity melalui pembelian banyak ruang publikasi di media massa. Meski strategi tersebut dalam hal-hal tertentu juga dilakukan Jokowi-Basuki, secara dominan pasangan penantang ini lebih menekankan pure publicity.Yang menjadi menu utama bauran pemasaran dari brand pasangan ini justru terletak pada sosok Jokowi sendiri. Gaya low profile Jokowi dengan segala macam kesan protagonisnya di media massa dan situs jejaring sosial inilah yang lebih dikedepankan.

Saat isu SARA dan segala macam kampanye penyerangan, baik kampanye negatif maupun kampanye hitam, berembus kencang ke pasangan ini, Jokowi hadir sebagai formula penetral sekaligus kerap sukses membalikkan serangan menjadi peneguh identitas politisnya sebagai sang penantang yang membawa harapan. Tanpa mengecilkan kontribusi Basuki, memang figur Jokowilah yang menjadi simpul kekuatan pasangan kandidat ini. Sedikit berbeda dengan pasangan Foke-Nara yang harus berjibaku dengan stigma negatif dan relasi antagonis dengan media, Jokowi jelang putaran kedua lebih banyak menjaga konsistensi hubungan baik sekaligus meneguhkan sosoknya sebagai media darling.

Kedua adalah operasi propaganda. Ini biasanya operasi yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang secara terorganisir, bentuknya manipulasi psikologis untuk melegitimasi propagandis sekaligus mendelegitimasi lawan. Contoh propaganda tersebut adalah penyebaran video di YouTube yang sifatnya intimidatif. Teknik propaganda cardstacking banyak dilakukan guna menimbulkan efek domino dari satu pesan atau tindakan agar membentuk atau mengarahkan kekitaan yang dimanipulasi secara psikologis.

Dari beragam isu propaganda yang mencuat pra-masa kampanye putaran kedua, lebih tepatnya lagi di antara 11 Juli hingga akhir Agustus, posisi Jokow-Ahok yang paling diuntungkan dalam banyak pemberitaan media. Terlepas dari siapa yang melancarkan serangan propaganda tersebut, tampak tidak banyak mengubah persepsi para pemilih Jokowi-Basuki di putaran pertama,bahkan muncul peluang pasangan ini mengapitalisasi isu dengan memosisikan diri mereka sebagai korban operasi propaganda. Ketiga, kampanye negatif (negative campaign).

Kampanye jenis ini menyerang kandidat lain dengan sejumlah data atau fakta yang bisa diverifikasi. Dengan cara menampilkan fakta-fakta pendukung yang menjadi titik lemah dari kandidat lawan. Kedua kubu melancarkan operasi kampanye negatif yang hampir sama, misalnya menyerang rekam jejak masing-masing selama menjadi birokrat seputar isu korupsi, pelayanan publik, prestasi, dan orientasi kekuasaan.

Lagi-lagi di sisi ini pun kubu Foke-Nara memang jauh lebih berjibaku karena stigma kegagalan yang telanjur dilekatkan pada periode pertama kekuasaan Foke. Termasuk serangan menohok yang dilakukan Wakil Gubernur Prijanto yang cukup membahayakan posisi keterpilihannya di putaran kedua.

Kalkulasi Akhir

Sulit memprediksi siapa yang akan memenangi pertarungan di Pilkada DKI. Beberapa lembaga survei memang sudah merilis bahwa perburuan suara akan sangat ketat dan pemenang hanya unggul tipis dari rivalnya. Survei Soegeng Sarjadi School for Government (SSSG) memprediksi Jokowi- Basuki memperoleh 36,74% unggul tipis dari Foke-Nara yang diprediksi mengantongi 29,47%.

Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) bekerja sama dengan majalah Tempo memprediksi 44,7% untuk Foke-Nara dan 45,6% untuk Jokowi-Basuki. Di banyak diskusi, muncul analisis menarik bahwa pemenang Pilkada DKI kali ini akan ditentukan oleh G20S/DKI (Gerakan 20 September Pilkada DKI). Maksudnya, siapapun yang mampu memalingkan perhatian kelompok pemilih yang belum memutuskan (undecided voters) inilah yang akan menang di akhir perburuan suara. Sebagai landasan kalkulasi politik, kita bisa melihat peta putaran pertama terlebih dahulu.

Jokowi-Ahok di putaran pertama mengantongi 42,60% dan Foke-Nara 32,05%,sisanya adalah pemilih kandidat lain sebesar 23,35%. Di luar itu, ada kelompok yang tidak berpartisipasi dalam putaran pertama sebesar 36,38%. Prototipe pemilih akan teridentifikasi menjadi tiga. Pertama, loyalis kedua pasangan yang konfigurasinya tidak berbeda jauh seperti putaran pertama. Kedua, kelompok swing voters, artinya di putaran pertama mereka memilih kandidat gubernur lain dan di putaran kedua harus menentukan pilihan baru.

Angka yang diperebutkan kurang lebih 23%an.Meski Foke-Nara menguasai gerbong dan elit partai,belum tentu berimbas pada kesamaan pandangan dengan basis akar rumput partai-partai yang dikuasainya. Mereka juga belum tentu memilih pasangan Jokowi-Basuki, seperti tergambar dari kelompok pemilih kandidat independen yang banyak menyatakan tidak berminat memilih di putaran kedua. Ini ceruk cair yang akan diperebutkan kedua pasangan. Ketiga,kelompok yang sama sekali belum memutuskan pilihan karena beragam pertimbangan.

Komposisi tipe ketiga ini biasanya diisi oleh kelompok pemilih yang secara kelas sosial ekonomi dan pendidikan berasal dari kelas menengah atas. Jikapun mereka memilih, sikap mereka akan ditentukan di pengujung waktu tanggal pemilihan. Kelompok ini pula yang sebelumnya menjadi kunci kemenangan Jokowi-Basuki di putaran pertama. Dengan demikian, asumsi bahwa putaran kedua akan ditentukan oleh G20S/DKI sepertinya akan terkonfirmasi. Selamat memilih warga Jakarta!

Tidak ada komentar: