Sabtu, 29 Desember 2012

MENGELOLA HARAPAN PUBLIK


 Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 6 Oktober 2012)

Secara resmi, pasangan Foke-Nara tidak menggugat hasil Pilkada DKI ke Mahkamah Konstitusi. Artinya, pada Oktober ini, Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama akan dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Setelah melalui proses pilkada yang panjang, akhirnya pasangan itu secara resmi ditetapkan KPU DKI sebagai pemenang.

Rapat pleno rekapitulasi suara KPU DKI, Jumat (28/9), menetapkan Jokowi-Basuki mendapat 2.472.130 suara (53,82 persen) dari suara sah, sementara pasangan Foke-Nara mendapat suara 2.120.815 (46,18 persen). Tak ada waktu bagi Jokowi-Basuki untuk larut dalam euforia kemenangan karena tugas berat harus dihadapi sejak hari pertama mereka bertugas di Ibu Kota.

Hierarki Tantangan

Tantangan terbesar keduanya adalah mengelola harapan publik yang begitu membubung. Berbagai citra (current image) Jokowi yang terkonstruksi selama kampanye sebagai fi gur populis, humanis, low profile, bersih, pekerja keras, dan berpengalaman akan mulai diverifi kasi dan dikonfi rmasi setiap saat sepanjang lima tahun ke depan.

Citra itu menjadi semakin berat saat warga DKI begitu merindukan perubahan (cukup cepat). Citra akan bersanding erat dengan harapan (wish image). Posisi ini membuat Jokowi tidak hanya harus mau dan mampu bekerja keras, tetapi juga cerdas dan cepat. Kerja keras dibutuhkan untuk mewujudkan setiap janji kampanye dalam beragam program pemerintahan. Kerja cerdas penting dalam konteks skala prioritas untuk memosisikan kepemimpinannya on the track menuju pemenuhan harapan publik yang tinggi.

Di banyak kasus, pemimpin populis yang terpilih, harapan publik secepat kilat menguap dan tergantikan skeptisme karena tak mampu membangun impresi memadai di paro pertama momentum kekuasaannya. Saat kepercayaan memudar drastis, pemimpin tersebut mengalami kendala, bahkan kesenjangan, psiko-politis dalam menjalankan program-program yang dicanangkannya. Ada hierarki tantangan yang harus menjadi catatan Jokowi dalam mengelola harapan publik, mulai dari level ma k r o , mezo, hingga level mikro.

Di level makro, tantangannya adalah mengubah watak sekaligus wajah kepemimpinan pemerintahan Provinsi DKI yang elitis-birokratis ke teknokratikhumanis. Untuk ini, Jokowi tidak terlampau susah mewujudkan karena sudah lama dipraktikkan di Solo. Tantangannya, konsistensi untuk menjadikan seluruh elite di birokrasi Pemprov DKI bekerja melayani warga dengan pendekatan-pendekatan profesional, humanis, tanggap, bersih, dan transparan.

Hal itu tentu terkait dengan stigma warga yang sudah lama melekat bahwa Pemprov DKI sangat elitis dan birokratis. Asumsinya, jika para elite di Pemprov DKI memiliki komitmen pada good dan clean government, pelaksanaan beragam program oleh seluruh staf Pemprov DKI dan juga rekanan dari pihak swasta akan bermuara pada output yang sama, kebermanfaatan birokrasi untuk warga Jakarta.

Di level mezo, ada banyak tantangan. Di antaranya problem transparansi yang indikatornya keterbukaan informasi publik seperti besaran anggaran dan kegunaannya. Kemudian pola komunikasi birokrasi dengan warga Jakarta. Kesenjangan komunikasi kerap melahirkan prasangka buruk, kekecewaan, bahkan tentangan yang kurang proporsional.

Hal itu terkait dengan beragam informasi yang seharusnya disampaikan Pemprov DKI secara strategis, terencana, t e r b u k a , dan berkelanjutan yang dalam praktiknya justru kabur dan distorsif. Lalu pola hubungan antara Pemrov DKI dan pemerintah pusat, serta pemda-pemda sekitar. Pada periodeperiode sebelumnya, ini menjadi salah satu tantangan nyata dan menjadi kendala optimalisasi kerja gubernur.

Lainnya, relasi kuasa antara Jokowi- Basuki dan DPRD DKI. Suka tidak suka, salah satu tantangan adalah kekuatan politik di DPRD. Jika patokannya kekuatan pendukung pilkada, modal utama dukungan keduanya ada pada PDIP dan Gerindra. Tetapi tentu saja politik itu selalu dinamis, masih terbuka lebar kesempatan membangun komunikasi politik dengan partai-partai yang bukan pengusung utamanya.

Hanya, gubernur dan wakil juga jangan sampai terjebak pada skenario membangun harmoni dengan DPRD dan larut dalam skema pragmatisme kaum elite legislatif. Jika pun ada relasi antagonistik antara Jokowi-Basuki dengan DPRD saat mereka ingin merealisasikan beragam program populisnya, tentu rasionalitas warga harus tetap menjadi acuan utama. Opini publik akan membangun cara dan logikanya sendiri dalam menginisiasi dukungan terhadap pemimpin mereka yang secara faktual memiliki komitmen pada perbaikan Jakarta.

Di level mikro, terkait hal-hal teknis berbagai kerja leading sector seperti transportasi publik, penanganan ketertiban umum, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Hal ini tentu saja berkaitan dengan operasionalisasi program yang langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh warga Jakarta.

Tentu, karena kompleksnya persoalan Jakarta, tidak mungkin seluruh masalah bisa diurai dengan cepat. Tapi warga tetap membutuhkan bukti kampanye "Jakarta Baru" yang selama ini digelorakan.

Disonansi Kognitif

Jika harapan publik tidak terkelola dengan baik, dikhawatirkan muncul desonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982), disonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antarelemen kognisi.

Pengetahuan, pendapat, keyakinan, atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi. Tidak konsistennya antara yang dipikirkan dan yang dirasakan atau dialami menyebabkan kekecewaan, bahkan frustrasi.

Dalam konteks pilkada DKI, jika masyarakat memahami Jokowi-Basuki terpilih dalam satu mekanime demokratis dan diasumsikan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik, sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan para elite partai politik, maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan warga.

Ini merupakan keadaan psikologis tidak menyenangkan yang timbul saat pemilih mengalami konfl ik dua kognisi antara pengetahuan mengenai pentingnya mewujudkan partisipasi politik warga dalam pilkada dan ketidakyakinan akan kualitas pilihan. Kondisi ini yang oleh para ahli teori disonansi kognitif seperti Festinger disebut sebagai inkonsistensi logis.

Disonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik, bisa menyebabkan warga apatis, bahkan apolitis, di kemudian hari. Pemilu seyogianya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna. Dia harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk warga yang rasional, berdaya, dan memiliki daya tawar.

Bibit keraguan atas langkah mulus kepemimpinan Jokowi-Basuki pun mulai tebersit ketika belum dilantik pun, elite partai-partai pendukung utama, PDIP dan Gerindra, terlibat dalam debat kusir. Mereka bertanya siapa yang paling berhak mendapat free ride publicity dari kemenangan pilkada. Jika benar kedua partai ini kapok berkoalisi, secara psiko-politis tentu juga akan menambah beban gubernur dan wakil.

Mengingat tantangan keduanya amat berat, seluruh komponen seperti warga dan media massa juga harus memberi ruang dan waktu untuk optimal mengelola harapan publik. Seluruh program yang sudah dalam ingatan dan catatan media selama kampanye satu per satu harus direalisasikan! Ini pertaruhan, karena kalau Jokowi-Basuki yang terpilih secara demokratis saja gagal, entah harapan apa lagi yang nanti tersisa pada warga Jakarta.

Sumber tulisan:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/102343

Tidak ada komentar: