Rabu, 08 Mei 2013

Membaca Tahun Politik


 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Gagasan di Koran Jakarta, 5 Januari 2013)



Tirai tahun politik sudah dibuka seiring dengan momentum waktu yang memasuki 2013. Seluruh kekuatan politik memanaskan mesin utama kontestasi, sekaligus melakukan serangkaian manuver pendahuluan guna mengetahui posisi kawan dan lawan jelang puncak perhelatan demokrasi lima tahunan di 2014. Dapat diprediksi dengan mudah, sepanjang tahun ini tensi politik akan eskalatif seiring dengan munculnya beragam kelompok yang unjuk kekuatan.

Jika dipetakan, ada beberapa faktor yang menjadi katalisator tahun 2013 menjadi tahun politik. Tahun ini akan menjadi momentum paling menentukan dalam manajemen konflik antarpartai maupun antarcalon presiden dan wakil presiden. Hampir seluruh partai politik terutama yang saat ini memiliki akses ke eksekutif maupun legislatif dirundung persoalan hukum.

Para politikus lintas partai terjerat korupsi. Sebagian di antaranya masih berada di wilayah abu-abu antara salah dan tidak. Modus mekanisme pertahanan diri para politikus dengan membuka dan menutup kasus tertentu guna menghidupkan sejumlah peluang negosiasi.

Alat tekan yang sering dimanfaatkan tentunya rekayasa opini publik. Efek domino dari perang hukum tersebut melahirkan atmosfir politik gaduh, keruh dan penuh tipu muslihat.

Selain konflik antarkekuatan berbeda, sesungguhnya rivalitas juga sangat mungkin terjadi di internal partai. Faksionalisme di Demokrat, misalnya, masih sangat mungkin memberi peluang para petualang memanfaatkan ketidaksolidan. Ini juga terjadi di Golkar terkait capres.

Terkait branding dan pemasaran politik para elite sepanjang tahun ini dilakukan dengan strategi tertentu. Publisitas politik, konstruksi dan rekonstruksi opini publik, serta optimalisasi saluran-saluran komunikasi politik mulai dari face-to-face informal, pemanfaatan struktur sosial tradisional, saluran input dan output hingga media massa.

Juga dengan pendekatan hype politic, yakni dengan membuat gaduh di media agar khalayak berpaling. Atau melalui manajemen reputasi politik dan pembangunan komunitas guna menciptakan rasa memiliki partai pada basis pemilih. Maka, sepanjang tahun ini upaya menanamkan brand dari kekuatan baru, dan rebranding dari kekuatan lama yang sadar mengalami titik jenuh akan tercurah masif dan sistemis.

Jagat politik Indonesia dari pusat hingga daerah akan disesaki sosialisasi, publisitas dan propaganda. Tentu politik akan menjadi santapan dominan pemberitaan media dan diskursus di ruang publik lainnya.

Sepanjang tahun ini juga akan ditandai dengan pergerakan para aktor dalam membangun komunikasi politik lintas kekuatan. Parpol sangat sadar, ikatan antara basis konstituen dan partai dari waktu ke waktu kian melemah. Hal ini, ditandai dengan merosotnya identifikasi kepartaian dari satu ke pemilu berikutnya.

Penjajakan

Dalam konstelasi seperti ini, berbagai penjajakan kerja sama antarkekuatan dilakukan secara intensif para elite, utamanya persiapan pencapresan 2014. Semua kekuatan sangat menyadari, nyaris belum ada figur yang benar-benar kuat dan meyakinkan.

Nyaris mustahil dalam peta politik seperti sekarang, partai bisa melaju sendirian dalam pencapresan tokoh yang dikehendakinya. Mereka harus realistis dengan penggabungan kekuatan parpol. Maka, sepanjang tahun ini akan tampak bongkar pasang nama yang akan disandingkan di 2014.

Sejumlah nama pasangan yang digadang-gadang baik dari kalangan internal partai maupun nonpartai masih sangat tentatif. Paruh pertama tahun ini, masyarakat akan disuguhi uji reaksi publik dengan menghidupkan sejumlah peluang. Namun, di paruh terakhir tahun 2013 akan ada finalisasi capres dan cawapres sejumlah partai untuk disosialisasikan secara masif jelang 2014.

Komplikasi dalam dunia kesehatan adalah bercampurnya beragam penyakit secara bersamaan karena munculnya penyakit baru yang menjadi tambahan penyakit lama. Komplikasi juga bisa berarti pencampuran yang kusut dan rumit dari berbagai hal. Dalam konteks politik di tahun 2013, ada sejumlah faktor yang dapat menjadi sebab komplikasi politik. Jika tak diwaspadai, bukan mustahil ini dapat membusukkan politik (political decay). Dampaknya kegagalan konsolidasi demokrasi.

Ada beberapa penyakit dalam praktik politik. Misalnya, kian akutnya demokrasi kolusif yang mengacu pada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Ini tampak dalam akomodasi politik yang sangat pragmatis dan mengabaikan aturan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah. Sehingga, kerap muncul perilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain yang sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologi serta kerap mengingkari konstituen mereka.

Hasilnya pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena disibukkan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Inilah penyakit lama pascareformasi yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan, sehingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Kemudian, tunduknya sistem dalam hegemoni para politikus. Posisi ini kerap menimbulkan paradoks dalam praktik sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Negara demokrasi yang baik, biasanya menempatkan sistem yang kuat dan mampu mengatasi fragmentasi kekuatan politik karena memiliki prinsip-prinsip kredibel, konsisten dan berdaya guna.

Penyakit lama bangsa, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan perselingkuhan abadi para pengusaha dan penguasa. Para pemilik kapital dan pemangku otoritas berkolaborasi dalam mengamankan sejumlah proyek “bancakan.” Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi.

Jika tak ada ”obat” yang tepat, maka bukan mustahil 2013 akan membuat bangsa ini semakin sakit. Untuk mengatasinya, butuh partisipasi dan kedewasaaan semua kekuatan politik yang akan bertarung agar mereka memainkan peran politik dengan menyandarkan pada aturan main yang kuat dan tegas.

Rivalitas itu lumrah. Hanya, seluruh pemain yang siap turun ke gelanggang juga harus menyadari bahwa setiap permainan ada aturan. Penghormatan atas aturan itulah yang menjadi kesejatian manusia beradab!

Tulisan bisa diakses di:
http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/109570

Tidak ada komentar: