Rabu, 08 Mei 2013

TIPOLOGI KONFLIK ELITE

Oleh: Gun Gun Heryanto
 (Tulisan ini telah dipublikasikan di Opini Suara Pembaruan, 12 Februari 2013)

Konflik elite yang didominasi para politisi, kian mengemuka dan terpapar di media massa. Tiada hari tanpa pemberitaan konflik, baik di internal partai maupun relasi kuasa antara kekuatan yang bermuara pada Pemilu 2014. Terkini, sebut saja konflik internal Partai Demokrat yang bersumber dari posisi Anas Urbaningrum. Nyata dan teraba, faksionalisme di tubuh Demokrat belum usai hingga sekarang. Hasil riset SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang memosisikan elektabilitas Demokrat terjun bebas, menjadi katalisator hubungan antagonistik di antara elite Demokrat sendiri. Sebenarnya, konflik elite juga terasa di partai-partai lain. Terekspos atau tidaknya konflik para elite tersebut, sangat dipengaruhi manajemen konflik dan manajemen isu para politisi bersangkutan.   

Memetakan Konflik

Menarik untuk memetakan sejumlah konflik yang ada atau terprediksi mencuat sepanjang 2013 hingga Pemilu 2014. Paling tidak ada empat tipologi konflik para elite.

Pertama, konflik legal-formalistik. Jenis konflik ini muncul dari determinan hukum. Sejumlah elite dihantam kasus hukum mulai kelas ringan hingga kelas berat. Kasus Hambalang misalnya, sudah menyeret sejumlah nama politisi Demokrat seperti Mohammad Nazaruddin, Andi Alifian Mallarangeng, Angelina Sondakh. Kasus ini bak bola panas dan menghantam Anas Urbaningrum. Meskipun hingga kini posisi Anas masih sebagai saksi, tetapi kasus ini benar-benar telah memosisikan Anas dalam situasi tak nyaman dan tak pasti. Anas tentu tak tinggal diam, sejak lolos dari jeratan kasus Wisma Atlit, dia mengonsolidasikan kekuatan eksekutif partai dari pusat hingga daerah.
Anas sukses membangun stelsel aktif pertahanan dengan cara membentuk kepengurusan yang bisa dia kendalikan. Perlahan tapi pasti, Anas pun mulai mengembangkan strategi menghadapi tokoh-tokoh senior yang dominannya berada di Dewan Pembina sekaligus menjadi orang lingkar dalam SBY. Jika Anas lolos kasus Hambalang, maka bukan mustahil dia akan semakin percaya diri dan lebih leluasa memainkan manuvernya. Tetapi jika dia tersandung dan ditetapkan sebagai tersangka, maka akan menjadi the end of history bagi Anas di Demokrat.

Konflik legal formalistik ini pun terjadi bukan semata di internal melainkan juga antar partai. Sebut saja kasus korupsi pengadaan Al Qur’an yang membelit citra Golkar, kasus Century yang masih menyandera partai Demokrat, suap sapi impor yang menodai reputasi PKS dan sejumlah kasus hukum lainnya yang kian terbuka. Tahun 2013, akan kian ramai bermunculan sejumlah kasus yang melibatkan para politisi. Meminjam istilah salah seorang anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok, terbukanya korupsi para politisi itu ibarat arisan. Tinggal menunggu giliran siapa yang kena, karena prilaku koruptif ini telah menyebar dan nyaris merata di hampir seluruh partai politik.

Kedua, konflik struktural-organisasional terkait adanya hubungan buruk di antara para politisi dalam memosisikan aktor-aktor utama di tubuh partai mereka. Konflik di tubuh partai Nasional Demokrat (NasDem) menjadi contoh nyata jenis konflik ini. Dimana, saat NasDem bermetamorfosis menjadi partai muncul dua aktor utama yang sama-sama menjadi ikon partai berslogan “restorasi Indonesia” ini. Kedua aktor tersebut yakni Surya Paloh (SP) dan Hary Tanoesoedibjo (HT). Karena posisi figur lebih kuat dibanding sistem, maka gesekan antar aktor utama ini pun tak terelakan. Dampaknya, HT pun harus mundur dengan konsekuensi munculnya konflik lanjutan yang sifatnya struktural-organisasional. Misalnya, sejumlah pengurus DPP dan juga DPD yang merasa tak nyaman dengan kemunduran HT, berpotensi turut serta keluar barisan.

Ketiga, konflik instrumentalistik. Konflik ini dipicu oleh sejumlah faktor instrumental dalam kaitannya dengan pemilu 2014. Misalnya konflik dalam penetapan Daftar Caleg Tetap (DCT), calon presiden dan wakil presiden, Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan sejumlah faktor lainnya. Sebagai contoh, kita bisa melihat relasi yang kurang harmonis antara Abrizal Bakrie (ARB) dengan Akbar Tandjung. Kondisi tersebut dipicu oleh mekanisme pencapresan ARB yang terkesan terburu-buru dan kurang melalui tahapan demokrasi internal partai. Konflik ini, bisa saja sementara mendingin seiring komunikasi yang dibangun ARB dengan sejumlah elite Golkar. Tetapi, tak menutup kemungkinan jelang pemilihan nanti, konflik ini akan kembali eskalatif bahkan yang terburuk lagi adalah ketidaksolidan mesin partai dalam pemenangan capres mereka. Demikian pula dalam pemilu legislatif, akan muncul dampak proporsional terbuka dimana caleg akan sangat ditentukan suara terbanyak di daerah pemilihan. Konflik bukan saja terjadi antar caleg beda partai, teman satu kandang pun sangat mungkin “baku hantam”.

Keempat, konflik simbolik. Ini merupakan konflik yang banyak dipicu oleh perang kata dan opini baik melaluimedia massa maupun media sosial. Sepanjang 2013 hingga pemilu 2014 kita kan menemukan sejumlah perang urat saraf dan propaganda bertebaran di mana-mana. Opini menyudutkan dan mendelegitimasi akan memenuhi ruang publik kita. Tentu, yang menjadi sasaran adalah melemahnya simbol kuasa seseorang atau institusi. Perang simbolik ini, bisa kita amati misalnya dari pernyataan Presiden PKS, Anis Matta soal adanya konspirasi besar terkait kasus LHI. Tak tanggung-tanggung, dia pun menyerukan untuk melawan penggunaan otoritas dalam proses pemberantasan korupsi yang bersifat tirani.  Pernyataan verbal agresif seperti ini juga akan sangat sering digunakan oleh para elite lain sesuai dengan kepentingan dan target sasaran masing-masing.

Modernisasi Partai

Di tengah pusaran konflik elite seperti sekarang, sudah saatnya para politisi kita mulai memikirkan dan mengupayakan modernisasi partai politik. Ada beberapa karakteristik partai modern yang sebaiknya diadopsi partai-partai di Indonesia.

Pertama, meminimalisir kekuatan rujukan (referent power). Tak disangkal bahwa setiap partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Gejala feodalisasi di tubuh partai yang mesti diwaspadai adalah menguatnya kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan figur utama di puncak hirarki partai. Kesadaran diskursif maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar dalam penstrukturan organisasi.

Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996) penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumberdaya oleh anggota kelompok.  Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan sumberdaya manusia selalu menggantungkan kekuatannya  pada satu figur dan garus keturunannya, maka tentu partai bersangkutan tak akan pernah menjadi partai modern.

Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity). Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tak bisa berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan prilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai yang terjebak dalam gejala groupthink. Kecermatan dalam merumuskan dan mengaplikasikan platform partai menjadi keniscayaan, bukan semata fokus pada rencana pragmatis figur utama.

Ketiga, partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi. Tahapan tersebut berjalan secara integratif yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai, lantas membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam jabatan-jabatan publik di internal maupun eksternal partai. Misalnya di legislatif, eksekutif maupun di struktur kepengurusan partai.
Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimana pun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik. Partai dapat menjadi saluran tepat saat konflik muncul dan eskalatif, sekaligus menjadi pengontrol yang efektif dalam proses konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik. ***

Tidak ada komentar: