Rabu, 08 Mei 2013

STRATEGI GANDA PENGENDALIAN DEMOKRAT


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom Pakar Media Indonesia, 11 Februari 2013)

Demokrat memasuki fase turbulensi politik. Terjun bebasnya elektabilitas Demokrat yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memantik relasi antagonistik antar elite Demokrat di ruang publik. Tentu, hasil riset hanyalah variabel minor dalam pembacaan dinamika konflik aktual di tubuh partai pemenang pemilu ini. Sejatinya, relasi kuasa yang mengerucut pada tumbuhkembangnya faksionalisme di tubuh Demokrat tak pernah usai sejak konggres 2010, di Bandung.

Meski para elite Demokrat selalu membangun kesan solid, fakta politik kekinian yang mengharuskan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung menjadi bukti nyata retaknya kapal demokrat. Pidato SBY tentang 8 poin solusi penyalamatan partai, juga tak menghasilkan impresi memadai. Substansi wacana yang disodorkan SBY tetap memiliki sejumlah kerumitan untuk diimpelementasikan terutama terkait posisi Anas seabagai nahkoda partai.

Pembonsaian Politik

 Jika kita perhatikan secara seksama, 7 dari 8 poin solusi penyelamatan Demokrat secara eksplisit menegaskan otoritas Majlis Tinggi Partai dimana SBY menjadi ketuanya. Dengan balutan gaya komunikasi politik yang high context culture SBY memosisikan kata demi kata terlihat santun, aman, dan tidak terkesan verbal agresif. Meskipun, substansinya menyuguhkan aroma korporatisme politik yang kental tak hanya pada kuasa bahasa tetapi juga pada operasionalisasi organisasi.

Proses keluarnya 8 poin solusi itu juga menarik,karena SBY memadukan antara teknik icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear erousener yang menekankan pada ancaman hukuman dan tekanan mental. Teknik pertama, merupakan pra kondisi solusi, saat SBY mengirim SMS dari depan Ka’bah di kota Mekkah. Isi pesan tersebut membangun hubungan emosional dengan menyatakan bahwa SBY terus memohon petunjuk Allah agar Demokrat dibebaskan dari cobaan berat, sekaligus meminta agar turut didoakan untuk menemukan solusi yang tepat, bijak dan bermartabat. Ini pra kondisi khas SBY untuk membangun harmoni.

Sementara teknik kedua, fokus pada bahasa kuasa untuk pengendalian dan penegasan otoritas. SBY memulai solusi dengan menyatakan bahwa Ketua Majlis Tinggi Partai berwenang, dan bertanggungjawab untuk memimpin penyelamatan dan konsolidasi partai. Meski 8 poin itu merupakan satu kesatuan utuh, tetapi yang paling inti bisa kita raba pada nomor dua saat SBY menyatakan segala keputusan, kebijakan dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan oleh Majlis Tinggi Partai. SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi akan mengambil keputusan dan arahan yang penting serta strategis. Ini mengunci beberapa poin lain seperti mekanisme pertanggungjawaban elemen-elemen utama partai, penataan, penertiban dan pemberesihan  partai, keputusan Majelis Tinggi Partai yang  mutlak diindahkan dan dijalankan, termasuk poin yang membahas posisi Anas Urbaningrum.

Tekanan mental bisa kita temukan dalam pernyataan SBY yang mengancam siapapun yang tak menjalankan keputusan Majlis Tinggi Partai akan diberi sanksi organisasi secara tegas. Bahkan SBY eksplisit mempersilahkan orang Demokrat yang tak nyaman dengan kondisi elektabilitas serta misi penyelamatan partai yang dipimpinnya untuk meninggalkan partai. Hampir seluruh narasi pernyataan SBY bermuara pada strategi AUM (uncertainty and unxiety management strategy) yang tentunya dipakai untuk mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpastian sekaligus memosisikan SBY di puncak hirarki otoritas partai.

Dampak Lanjutan
Secara substansi, sulit menghindari tafsir politis atas posisi Anas di Demokrat sejak pernyataan SBY, Jum’at (8/2). Diakui atau tidak, telah terjadi pembonsaian politik Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Secara De jure Anas tetap diposisikan sebagai ketua umum yang sah, sekaligus sebagai Wakil Ketua Umum Majlis Tinggi Partai. Tetapi secara De facto, kewenangan Anas dalam menjalankan fungsi-fungsi ketua umum dipreteli. SBY eksplisit menyatakan, akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan dan penertiban partai serta mempersilahkan Anas untuk fokus menghadapi dugaan masalah hukum.

Inilah langkah dua tahap (two step flow strategy) yang sangat lazim digunakan pemimpin bercorak hati-hati. SBY tentu sudah berhitung cermat kemungkinan dukungan nyata di struktur kepengurusan DPP hingga DPD dan DPC terhadap Anas. Sehingga tak mengambil langkah frontal menggeser atau melengserkan Anas. Jika skenarionya pelengseran Anas, tentu akan muncul geger politik di internal partai, karena hingga sekarang Anas belum menjadi tersangka satu kasus hukum pun. Memaksakan kehendak pelengseran Anas akan menyebabkan zero sum game yang membuat partai luluh lantak.

SBY secara halus sedang menerapkan mekanisme sirkulasi elite. Dalam perspektif Vilpredo Pareto The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elit itu digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respon institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan.

Makanya, strategi pertama yang diambil SBY adalah tetap memosisikan Anas sebagai ketua umum Demokrat tetapi dibatasi, ditakar untuk tak tumbuh kembang di luar kehendak SBY. Singkatnya,  inilah skenario korporatisme politik atau pembonsaian Anas di tubuh Demokrat. Sementara strategi kedua akan sangat ditentukan oleh status hukum Anas di KPK. Jika Anas menjadi tersangka, tentu akan menjadi the end of history dalam konstelasi politik Demokrat karena SBY tentu sudah mengantongi sejumlah nama potensial untuk didorong ke jabatan tersebut jika Anas nantinya mengundurkan diri atau dipecat partai.


Situasi dinamis Demokrat setelah  pernyataan SBY tentang solusi partai, tentu akan melahirkan sejumlah kemungkinan dampak lanjutan. Kemungkinan pertama, mengokohkan gejala groupthink di tubuh Demokrat. Situasi ini terkait dengan genealogi Demokrat itu sendiri. Partai ini lahir, tumbuh dan berkembang hingga akhirnya menjadi pemenang dengan sebaran konstituen meyakinkan di Pemilu 2009, tak lepas dari sosok SBY. Resikonya memang, politik figur yang sangat kuat ini, biasanya melahirkan gejala groupthink.

Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elite utamanya dalam konteks ini adalah SBY. Dengan demikian, sangat mungkin apa yang sudah ditetapkan SBY sebagai solusi akan diikuti meskipun tidak semua merasa happy. Terlebih SBY hingga 2014 masih mengendalikan kuasa tak hanya di internal partai melainkan juga sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sehingga, orang-orang di lingkaran SBY terutama di level elite tentu akan berpikir seribukali untuk berbeda pandangan dengan SBY. Meski dinamikanya bisa saja berbeda jika SBY sudah tak lagi berkuasa.

Kedua, sangat mungkin juga muncul skenario “perlawanan” Anas dengan cara yang sama seperti dilakukan SBY. Dalam hal ini Anas dan para pendukungnya menerapkan soft strategy untuk tetap eksis mengendalikan eksekutif partai. Anas tidak secara frontal memberi pernyataan bersebrangan dengan SBY, tetapi memberi tafsir yang tidak tunggal atas pilihan kata dalam poin yang secara langsung berhubungan dengan posisinya. Misalnya pernyataan Anas di media massa tentang dirinya yang diminta fokus pada kasus hukum. Anas secara enteng menafsirkan bahwa yang dimaksud SBY itu adalah agar dirinya tidak alfa  pada kasus hukum yang dituduhkan padanya, sehingga tetap memungkinkan dia melakukan kerja-kerja kepartaian seperti biasanya.  Bukti tindakan show must go on itu, terlihat dari pilihan aktivitas Anas untuk tetap datang ke DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Disengaja atau tidak, momentum tetap turun ke struktur bawah ini menjadi pesan dari Anas kepada publik bahwa dirinya tak terpengaruh oleh perubahan apapun. Bahkan,  bisa jadi Anas akan tetap turun ke bawah (turba) dengan kemasan kata yang sama dengan SBY yakni atas nama konsolidasi partai. Sangat mungkin, perlawanan halus Anas ini, memosisikan wacana “garang” SBY hanya pada level kesadaran diskursif tetapi tidak kesadaran praktis saat diimplementasikan di lapangan.

Terlepas dari berbagai kemungkinan dinamika internal partai Demokrat, satu hal yang dikhawatirkan publik adalah tersedotnya energi kreatif SBY sebagai presiden. Pernyataan SBY yang akan memimpin langsung gerakan penataan, pembersihan dan penertiban partai, tentu akan membagi fokus perhatian SBY di 1,5 tahun masa akhir kekuasaanya. Muncul paradoks, di satu sisi SBY telah meminta dengan tegas agar para menterinya yang berasal dari partai untuk tetap fokus bekerja di kabinet meski memasuki tahun politik, tetapi di sisi lain SBY justru mengambilalih peran utama konsolidasi partai Demokrat. Artinya, SBY akan berada dalam titik episentrum persoalan-persoalan internal partai. Sehingga, sulit menghindar dari peran ganda kekuasaan. Padahal para pemimpin kita kerap diingatkan dengan ucapan terkenal dari Mantan Presiden Filipina, Manuel L Quezon (1878-1944) “loyalitas kepada partai berakhir, saat loyalitas pada negara dimulai”.  Tentu, masyarakat akan mengkritisi jika pemimpin yang diberi mandat berkuasa lebih mendahulukan loyalitas pada diri dan kelompoknya. (***)

Tidak ada komentar: