Kamis, 27 Maret 2008

MEMBACA GAYA KOMUNIKASI POLITIK GUS DUR

Oleh : Gun Gun Heryant0

Mengamati sosok Gus Dur, membuka peluang bagi munculnya multi tafsir atas berbagai gaya yang ditampilkannya. Misalnya saja, pada Pemilu 2004 tidak ada yang mengira Gus Dur akan membangun komunikasi politik secara intensif dengan Partai Golkar dan Wiranto. Siapapun tahu, bahwa Gus Dur sempat disakiti oleh Partai Golkar terutama saat dirinya dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Begitu juga dengan Wiranto, di antara keduanya pernah mengalami ketidak cocokan. Sewaktu menjadi Presiden, Gus Dur dengan berani memberhentikan Wiranto dari jajaran kabinetnya. Perbedaan dengan Golkar dan Wiranto tidak lantas membuat Gus Dur bersikap kaku.
Sikap politik Gus Dur yang lentur, menjadikan dirinya sebagai kekuatan yang selalu diperhitungkan oleh siapapun. Dia tidak alergi untuk bertemu banyak orang, mendengar dan membangun kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk orang atau kekuatan politik yang pernah bersebrangan dengannya. Membaca Gus Dur ibarat membaca skenario cerita yang diwarnai oleh banyak kejadian tak terduga. Pada saat dirinya tidak lolos menjadi calon Presiden pada pemilihan Presiden secara langsung akibat persyaratan yang dibuat KPU, Gus Dur memilih untuk Golput. Secara bersamaan dia juga merestui pasangan Wiranto-Solahuddin untuk didukung kaum Nahdliyin. Dengan tegas, dia menyatakan tidak akan bekerjasama dengan Megawati karena dianggap telah melakukan kesalahan konstitusional.
Namun, lagi-lagi Gus Dur melakukan hal yang tak terduga, setelah Pemilihan Umum presiden putaran pertama yang berlangsung 5 Juli lalu menempatkan Soesilo Bambang Yudhoyono dan Megawati sebagai kandidat yang akan maju ke putaran ke dua, seolah tanpa beban Gus Dur kembali bertemu dan berdialog dengan Megawati. Begitu juga sikapnya terhadap tokoh-tokoh lain, semacam Amien Rais. Meskipun sering bersebrangan, Gus Dur secara pribadi tetap bisa berhubungan baik. Misalnya, terlihat saat Amien Rais bersama-sama dengan Gus Dur menonton pagelaran wayang dengan dalang Ki Kenthus di rumah Gus Dur di wilayah Ciganjur.
Gaya komunikasi politik Gus Dur, memang unik dan cukup berbeda dengan kebanyakan tokoh politik lain di Indonesia. Dia seringkali membuka diskursus di media massa tentang banyak hal, termasuk yang bagi sebagian orang dianggap sebagai isu sensistif. Mengkritik dan bersikap oposan terhadap orang dan kelompok tertentu yang dianggap menyeleweng seolah menjadi trade mark diri Gus Dur. Misalnya saja, secara terbuka Gus Dur sangat agresif meminta agar KPU dibubarkan. Dia mengkritik bahwa KPU di bawah Nazaruddin Syamsudin banyak melakukan tindak penyelewengan terhadap rambu undang-undang yang disepakati. Di berbagai forum dialog, Gus Dur secara lugas seringkali berkomunikasi secara terbuka. Termasuk misalnya, saat dia mengkritik Sultan Hamengku Buwono X, sosok simbol tatakrama jawa yang jarang tersentuh kritik.
Dari berbagai fenomena yang menyatu dengan diri dan kpribadian Gus Dur tersebut, menarik jika kita mencoba untuk masuk menelaah lebih jauh gaya komunikasi politik Gus Dur. Tentu saja, yang tahu persis akan hal ini adalah diri Gus Dur sendiri, akan tetapi kita mencoba untuk mendeskripsikannya dari perspektif kajian komunikasi politik.


Komunikasi Politik

Komunikasi politik merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari keseharian manusia di berbagai bidang. Dalam aktivitas politik, komunikasi memainkan peran yang dominan. Mengutip pendapat Redi Panuju (1997), apabila politik diartikan sebagai gejala manusia dalam rangka mengatur hidup bersama, maka esensi politik sebenarnya juga komunikasi. Komunikasi adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual understanding). Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya, kesepakatan menyangkut bagaimana pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat.
Gabriel Almond berpendapat, bahwa komunikasi politik merupakan salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik, dalam kalimat Almond (1960) sendiri :

All of the functions performed in the political system-political sosialization and recrutment, interest articulations, interest aggregations, rule making, rule applications, and rule adjudication- are performed by means of communications.

Kutipan di atas menunjukkan bahwa komunikasi politik bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya dijalankan. Keenam fungsi tersebut adalah sosialisasi dan rekrutmen politik, perumusan kepentingan, penggabungan kepentingan, pembuatan aturan, penerapan aturan dan keputusan aturan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inheren di dalam setiap fungsi sistem politik.
Secara harpiah, komunikasi (communication) berasal dari kata latin communis yang berarti “sama” (William Gordon, 1978) atau communicare yang berarti membuat sama atau to make common (Judy Person, 1979). Definisi komunikasi secara sederhana mengacu pada pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan atau saling berbagi informasi, gagasan dan sikap (Wilbur Schramm,1974) . Sementara definisi politik mengacu pada pendapat Deliar Noer, sebagai aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat.
Untuk memperjelas konsep komunikasi politik, menarik kiranya mengkaji komunikasi politik dari Maswadi Ra’uf. Menurutnya, komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Telaah atas substansi komunikasi politik, selalu menempatkan rumusan komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh, baik dilevel orientasi, pemikiran politik atau ideologi tertentu dalam rangka menguasai dan mempertahankan kekuasaan (Maswadi Ra'up, 1993).
Gus Dur sebagai tokoh nasional merupakan representasi satu kekuatan nyata dalam peta politik nasional. Tidak hanya karena Gus Dur menjadi motor penggerak mesin politik PKB, akan tetapi lebih dari itu, sosok Gus Dur merupakan sosok penuh kharisma di kalangan kaum Naddliyin. Sumberdaya politik Gus Dur (political resource) sangat tinggi, sehingga dia sanggup menjadi katalisator berbagai pilihan politik NU. Dalam konteks itulah Gus Dur faham betul, pemanfaatan komunikasi politik dengan berbagai kekuatan yang ada.
Ide besar yang selalu diusung Gus Dur selama ini adalah proses demokratisasi di Indonesia yang sedang mengalami peralihan. Sehingga, kalau kita perhatikan betul, Gus Dur sebisa mungkin selalu membuat berbagai dikursus di publik untuk menjelaskan aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan tumbuhnya kekuasaan yang demokratis dan mempengaruhi publik untuk mengubah atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang demokratis pula. Bertemunya Gus Dur dengan beragam orang dan kekuatan politik, bisa mengundang tafsir bahwa gaya politik Gus Dur adalah politik akomodasi.
Padahal, sesungguhnya komunikasi politik Gus Dur menekankan pada pengkoordinasian tata nilai politik yang diinginkan. sehingga mencapai tingkat kesepahaman yang tinggi antar elemen bangsa. Memang tidak bisa dinafikan bahwa Gus Dur juga seringkali melakukan mobilisasi sosial guna memperoleh dukungan, kepatuhan dan integrasi politik. Suatu hal yang lumrah, karena dalam konstelasi nasional Gus Dur tidak lagi menjadikan wilayah kultural sebagai basis perjuangannya. Gus Dur kini lebih banyak berada di ranah politik praktis, sehingga sudah semestinya Gus Dur melakukan sosialisasi sikap dan pilihan politiknya, melakukan rekrutmen politik, merumuskan kepentingan, mengagregasi kepentingan seoptimal mungkin melalui sayap politiknya (PKB) dan mempengaruhi pembuatan serta penerapan aturan yang nantinya akan dipakai oleh masyarakat.

Perlu diberi catatan, pengharapan politik rakyat pasca Pemilu 2004 ini adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar bagi siapapun pemimpin Indonesia. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Ada tiga jenis kecenderungan yang menunjukan arah perbuatan seseorang yakni kepercayaan, nilai dan pengharapan (Dan Nimmo, 1995). Dengan demikian jika bangsa Indonesia memiliki pengharapan akan perubahan, maka perubahan tersebut harus dikonsolidasikan dengan baik. Maka wajarlah jika Gus Dur bertemu banyak tokoh yang berpotensi ikut megadakan perubahan, dia juga mengkritik banyak orang sebagai bentuk kontrol atas kehati-hatian arah perubahan Indonesia di masa depan.

Perbedaan Pendekatan

Sebelum mengkaji pendekatan komunikasi yang biasa Gus Dur terapkan, akan lebih baik jika sebelumnya kita bandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia yang lain. Terdapat perbedaan pendekatan komunikasi yang dilakukan para pemimpin bangsa ini. Soekarno misalnya, banyak memakai pendekatan behavioristik. Pendekatan yang menekankan refleksitas kognisi ini amat berhubungan dengan penempaan pesan sehingga prilaku penerima pesan menjadi reflektor yang setia. Seluruh prilaku manusia, kecuali instink, dalam pendekatan ini diasumsikan sebagai hasil belajar. Belajar artinya perubahan prilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan. Pola-pola indoktrinasi ala Soekarno seperti seringnya pengulangan kata-kata “Revolusi Belum Usai”, “Kontrarevolusi”, “ganyang Malaysia” dan lainnya di berbagai forum dan kesempatan, terkadang menyisihkan rasionalitas dan otonomi individu penerima pesan terlepas dari baik-buruknya dampak indoktrinasi itu bagi masyarakat.
Di era Soeharto, pendekatan komunikasi yang digunakan bersifat transmisional dimana jalinan komunikasinya bersifat searah. Soeharto yang saat itu sangat powerfull membentuk dan mengarahkan komunikasi, sementara rakyat selalu dalam posisi sebagai receiver (penerima pesan) tanpa bisa leluasa memberikan feedback, kecuali sesuai dengan arahan dari Soeharto sendiri. Kebijakan publik yang dikeluarkannya, selalu dikomunikasikan dengan cara-cara dominatif dan eksploitatif.
Pasca Soeharto jatuh, pendekatan yang mendominasi proses komunikasi bangsa Indonesia adalah interaksional. Semua orang bebas mengekspresikan sikap dan pandangannya, sehingga jalinan komunikasinya interaktif. Kebebasan yang melahirkan euforia ini menjadi kontraproduktif karena tingkat pendidikan politik dan kesadaran berbangsa rendah. Kebebasan seringkali memunculkan kebablasan. Fenomena interaksional ini lebih mengkristal saat Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur selalu bergerak dengan percaya diri meski seringkali melawan mainstream publik.
Di tengah situasi pendekatan interaksional, Megawati tampil menggantikan Gus Dur. Ada kecenderungan Megawati dan pemerintahannya dalam batas-batas tertentu kembali menggunakan pola transmisional. Tiba-tiba banyak kebijakan publik diputuskan tanpa proses sosialisasi yang memadai di tingkat rakyat. Keengganan berkomunikasi ala Megawati sesungguhnya dapat kita analisa dengan menggunakan teori-teori produksi pesan, terutama Communication Apprehention (CA) Theory dari James McCroskey dan Sensitivitas Retoris dari Darnel dan Brockriede. McCroskey menemukan, bahwa keengganan berkomunikasi merupakan problem praktis serius bagi banyak orang, terbentang dari yang rendah sampai keengganan berkomunikasi yang bersifat patologis (McCroscky, 1984).
Keengganan berkomunikasi bisa merupakkan sifat bisa juga keadaan. Traitlike Communication Apprehention (keengganan berkomunikasi yang menjadi sifat) merupakan tendensi yang abadi dalam berbagai setting. Individu yang menderita menghindari seluruh jenis komunikasi oral. Sementara Statelike Communiaction Apprehention hanya memiliki keengganan berkomunikasi tertentu. Misalnya keengganan berbicara dan berdebat di depan publik mengenai suatu kebijakan publik. Keengganan berkomentar atau menanggapi masalah-masalah krusial, serta keengganan berpolemik dengan lawan politiknya secara langsung. Hal inilah yang rupanya dominan kita temukan dalam diri Megawati.

Gaya Gus Dur

Secara umum ada dua kecenderungan gaya komunikasi yang dilakukan Gus Dur. Pertama, kebiasaan Gus Dur memproduksi pesan politik secara equivocal. Meminjam istilah teori Janet Beaving Bavelas, komunikasi equivocal berarti pesan-pesan dengan sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung dan tidak berterus terang (Stephen W Littlejohn, 1999). Penerima pesan harus menduga artinya daripada menangkapnya secara langsung. Dalam politik sebagai Art of possibility, equivocal terkadang perlu.
Hal ini memang menjadi kebiasaan lama Gus Dur, sehingga langkah-langkahnya tidak mudah diprediksikan oleh lawan politiknya. Namun gaya seperti ini juga seringkali menjadi masalah, ketika hal itu menyangkut kebijakan mengenai hajat hidup orang banyak. Seperti saat Gus Dur menjadi presiden, banyak kebijakannya yang equivocal sehingga tidak tersosialisasikan dengan baik. Substansi kiprah Gus Dur dilihat dari pengalaman-pengalaman masa lalu sangat pro rakyat dan demokrasi, hanya saja sebagian rakyat seringkali tidak bisa menangkap metakomunikasi dari pesan yang disampaikan. Sehingga bagi yang tak mengenal sosok Gus Dur secara baik, akan muncul asumsi bahwa Gus Dur adalah simbol ketidak konsistenan (Hamid Awaludin, Harian Umum Kompas 13 Juli 2004).
Kedua, gaya komunikasi Gus Dur seringkali agresif. Hal ini menarik dikaji dari konsep agresif Dominick A. Ifante yang ditulisnya dalam buku Argumentativeness and Verbal Agressivness (Ifante, 1996). Terutama, berkaitan dengan dua sifat agresi yang dominan pada diri Gus Dur. Kedua sifat itu ialah kesukaan berdebat dan keagresifan verbal. Kesukaan berdebat merupakan tendensi mengajak bercakap-cakap tentang topik-topik kontroversial. Lihat saja polemik Gus Dur mengenai TAP MPR No.VII/2000 pasal 7 ayat (3) dan pasal 3 ayat (3) tentang pengangkatan dan pemberhentian kapolri. Polemik tentang TAP MPR No. 25, alasan pemecatan beberapa mentri, pernyataan mengenai permintaan penagguhan pemeriksaan beberapa konglemerat, gonjang-ganjing dekrit, golput di Pemilu Presiden 2004 dan masih banyak contoh lainnya.
Sementara keagresifan verbal, seringkali identik dengan gaya komunikasi Gus Dur sebelum, selama maupun sesudah dia jadi presiden. Sifat ini adalah kebiasaan menyerang ide, keyakinan, ego atau konsep diri dimana argumen bernalar. Agresi verbal Gus Dur biasanya berupa ledekan emosional yang bisa menghasilkan kemarahan bagi pihak yang dituju. Biasanya Gus Dur melakukan ini dengan pertimbangan tertentu, misalnya saat Gus Dur harus melindungi kelompok minoritas yang terancam, mengalihkan konflik di tingkat akar rumput ke konflik elit, atau saat dibutuhakn shock terapi bagi orang dan kekuatan politik besar tertentu.
Ketiga, dalam keadaan normal sebenarnya Gus Dur adalah tipe rhetorically sensitive. Yakni tipe yang memoderatkan dua kutub ekstrim noble selves dan rhetorical reflector. Sensitif retoris mewujudkan kepentingan sendiri, orang lain dan sikap situasional. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mendengar dan menerima input dari masyarakat . Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dengan penerimaan ide-ide secara meluas. Gus Dur sudah lama dikenal sebagai sosok yang pluralis, sehingga lebih banyak diterima oleh berbagai kalangan yang berbeda etnis, agama maupun ras.


Daftar Pustaka
1. Redi Panuju, Sistem Komunikasi Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 115).
2. Gabriel A Almond, Introductions : A Functional Approach to Comparative Politics, dalam Gabriel A. Almond & James S. Coleman (ed.), The Politics of the Developing Areas, (Princeton University, 1960), hlm. 45
3. William Gordon, Communications : Personal and Public (Sherman Oaks, CA : Alfred, 1978) hlm. 28
4. Judy C Person dan Paul E Nelson, Undestanding and Sharing : an Introductions to Speech Communications, (Dubuque, Lowa : Wm. Brown, 1979), hlm. 3
5. Wilbur Schramm, How Communications Work, dalam Jean M Civikly (ed.), Message, (New York : Random House, 1974) hlm. 11
6. Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta : Rajawali, 1983), hlm. 6.
7. Maswadi Ra’uf dan Mappan Nasrun (ed.), Indonesia dan Komunikasi Politik, (Jakarta : PT. Gramedia, 1993), hlm. 32.
8. Dan Nimmo, Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan dan Media, Tjun Sumarna (terj.) (Bandung : Rosdakarya), hlm. 11-12.
9. James C. McCroskey,”The Communications Apprehentions Perspektive, dalam J.A Daly and J.C McCroskey, Avoiding Communications : Shyness, Reticence, and Communication Apprehantion, (Baverly Hills, CA : Sage, 1984) hlm. 13-38.
10. Dalam Stephen W Littlejohn, Theories of Human Relations, Sixth Editions, (Albuquerque, New Mwxico : 1999) hlm. 106
12. Hamid Awaludin (Kompas, Selasa 13 Juli 20040)
13. Dominick A. Ifante and Andrew S. Rancer, Argumentativeness and Verbal Agressivness: A Review of Recent Theory and Research, In Communication Yearbook 19, ed. Brant R. Burleson (Thousand Oaks, CA : Sage, 1996)

Tidak ada komentar: