Sabtu, 14 Januari 2012

DEMOKRAT DI ERA DEMOKRASI ELEKTORAL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini dipublikasikan di Jurnal Nasional, 9/09/2011)

Usia Partai Demokrat genap 10 tahun pada 9 September ini. Sudah dua kali pemilu dilalui yakni 2004 dan 2009 dengan beragam dinamika yang menempatkan Demokrat tak lagi sekedar entitas partai politik, melainkan juga narasi yang mengundang banyak tafsir, diskursus sekaligus polemik dalam ranah politik nasional. Seperti halnya kealamiahan sifat partai politik, maka perjalanan Demokrat di era demokrasi elektoral pun tak bisa menghindar dari perebutan kuasa yang kerap menimbulkan turbulensi dan tensi politik yang terus meningkat terutama di fase-fase menjelang hajatan demokrasi lima tahunan.

Plus Minus Petahana

Saat ini, Demokrat merupakan kekuatan petahana (incumbent). Pada Pemilu 2004 sebagai newcomer Demokrat harus berjibaku jelang pemilu, hasil terbaiknya adalah perolehan suara 7,45% atau 57 kursi dari 550 kursi yang disediakan di ‘Senayan’. Pada Pemilu 2009, suara demokrat pun melonjak menjadi 20,85% yang berarti mendapatkan 148 kursi dari total 560 kursi di DPR. Kemenangan Demokrat, semakin lengkap saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpasangan dengan Boediono meraih dukungan 60,80 % yang berarti mengantongi 73.874.562 suara. Pasangan lain seperti Mega-Prabowo memperoleh 32.548.105 suara atau 26,79% dan pasangan JK-Wiranto meraih 15.081.814 suara atau 12,41 %. Pertarungan satu putaran, telah memandatkan kekuasaan pada SBY-Boediono sekaligus menempatkan Demokrat sebagai mesin utama pendukung kekuasaannya.

Tentu, di era pasar bebas partai politik seperti sekarang, menjadi petahana bukan jaminan selalu berada di zona nyaman (comfort zone). Situasi saat ini berbeda dengan yang dialami Golkar sebagai kekuatan berkuasa sejak pemilu 1971 hingga 1997. Korporatisme politik yang diberlakukan Soeharto pada hampir seluruh elemen kekuatan potensial di masyarakat, menyebabkan akses kekuasaan dari hulu ke hilir berada dalam pengendalian petahana. PDI dan PPP tak lebih dari sekedar ornamen dan pelengkap penderita dari demokrasi palsu yang diusung Orde Baru.

Sekarang, kekuasaan sentralistik tak lagi bisa diterapkan. Multipartai ekstrem dalam Pemilu membuat fragmentasi kekuasaan di eksekutif dan legislatif kian beragam. Ciri paling menonjol dari politik Indonesia pasca reformasi adalah anatomi kekuasaan yang mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiadanya parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Sekali pun koalisi digagas dan dilembagakan seperti di Sekretariat Gabungan (Setgab), tidak menjamin kawan sekandang selalu loyal dan tak menggunting dalam lipatan. Jika dulu di Era Soeharto ada executive heavy atau dominan dan menonjolnya peran eksekutif sekarang justru menguat legislative heavy. Ranah pertarungan tak lagi di saat pemilu, melainkan berjalan sepanjang tahun.

Lucunya, model pertarungan pun tak lagi simetris antara petahana dan oposisi tetapi berlangsung juga di antara partai-partai yang turut menikmati kue kekuasaan. Kerap kali, konflik yang timbul di level elit parpol tidak semata mengacu pada substansi persoalan sesuai kehendak rakyat, melainkan bagian dari manajemen ‘buka-tutup’ kasus untuk penyelamatan dan negosiasi.

Tak disangkal, nilai plus bagi petahana adalah momentum dan akses berkuasa. Sisi normatif nilai plus ini adalah terbuka kesempatan untuk mengartikulasikan konsep, gagasan, program bahkan ideologi (jika ada) dalam pengelolaan pemerintahan. Jika petahana memiliki prestasi dalam mengemban mandat kekuasaannya, maka akan menyumbang prestise, elektabilitas bahkan sejarah!. Namun jika gagal, akan menyumbang pada suramnya masa depan petahana. Momentum dan akses, juga punya sisi pragmatis yakni gula-gula kekuasaan. Orang yang berada di lingkar kekuasaan akan dihadapkan pada godaan mudahnya menjangkau dan mencicipi lezatnya kekuasaan.

Tak salah, jika orang-orang berkuasa mencicipi kekuasaan yang mereka peroleh, tetapi akan sangat berbahaya jika tak dikontrol oleh dirinya sendiri dan orang lain, karena kekuasaan sejatinya cenderung korup. Sisi pragmatis ini pada tahap selanjutnya bisa menjadi nilai minus bagi Petahana, terutama jika isu bertalu-talu datang dan pergi menghantam dirinya. Sudah menjadi kelaziman, petahana diposisikan sebagai common enemy (musuh bersama). Tragedi serius, jika ternyata petahana sendiri yang memberi banyak celah untuk diserang karena lemahnya pengendalian diri orang-orang di sekitarnya.

Mempertahankan Kekuasaan

Demokrat tentu harus banyak belajar dari sejarah politik di negeri ini. Dukungan terhadap Golkar yang pernah menjadi petahana bisa anjlok. Pada pemilu 1999 Golkar meraih 22,44%, pemilu 2004 turun menjadi 21,58% dan pemilu 2009 hanya 14,45%. Begitu pun yang dialami PDIP saat menjadi petahana seusai memenangi pemilu 1999 dengan mengantongi 33,74%. Di pemilu 2004 suara PDIP turun menjadi 18,53% dan di pemilu 2009 hanya 14,03%. Artinya, menjadi petahana bukanlah jaminan akan selalu memenangi kontestasi.

Satu-satunya cara mempertahankan kekuasaan di era demokrasi elektoral adalah performa partai yang maksimal dan bisa diterima serta dirasakan kontribusi positifnya oleh khalayak luas. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi. Dalam menjaga performa politik tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja.

Citra terkait dengan cara pandang masyarakat terhadap Demokrat dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata Demokrat saat ini dan ke depan. Sekarang, bukan waktunya lagi bagi demokrat hanya mengurusi aspek pencitraan melainkan harus fokus pada sejumlah agenda kerja guna menopang kesuksesan pemerintahan SBY jilid kedua.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi Demokrat agar bisa fokus. Pertama, tidak munculnya perpecahan akibat faksionalisme di tubuh partai. Hampir dipastikan partai yang di internalnya pecah, akan mengalami penurunan dukungan. Kedua, berjalannya secara tepat distribusi dan alokasi sumberdaya manusia di tubuh Demokrat berdasarkan mekanisme kaderisasi yang menjadi jangkar kekuatan partai modern. Ketiga, mampu merestriksi syahwat pragmatisme politik elit dan kader yang merusak tatakelola, kinerja dan citra sebagai petahana.

Bisa diakses di web Jurnas:

http://nasional.jurnas.com/newspaper/20110909

Tidak ada komentar: