Sabtu, 14 Januari 2012

POLEMIK PEMILIHAN GUBERNUR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 21/11/2011)

Hal merisaukan sekaligus menjadi sumber polemik antara pemerintah dengan berbagai pihak mengenai draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) adalah aturan yang akan mengembalikan pemilihan gubernur (pilgub) ke DPRD. Sebagaimana kita ketahui RUU Pilkada merupakan salah satu pecahan dari revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).

Ada dua argumentasi utama pemerintah yang patut dikritisi. Pertama, gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas muncul simplikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara resiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding dengan pemilihan bupati atau walikota. Untuk membuat masuk akal, argumentasi ini, biasanya merujuk pada proses implementasi otonomi daerah yang basis utamanya di level kabupaten dan kota.

Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otonomi daerah tentu sangat rancu. Menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kita kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otonomi daerah, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi. Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada dua aspek yakni administrasi dan politik.

Dalam perspektif desentralisasi adminitrasi, memungkinkan transfer tanggungjawab adminitratif dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Sementara dalam perspektif politik, desentralisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas ke tingkat yang lebih rendah dalam hirarki teritorial.

Pemerintahan Orde Baru yang terpusat, telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya, jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu di antara penandanya adalah pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala daerah yang dikehendaki oleh rakyat. Hal ini, akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput.

Dalam konteks inilah, Pilkada harus dipahami sebagai alat pemberian legitimasi rakyat kepada pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, Pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang beresiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.

Kedua, pilgub dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya biaya finansial tetapi juga biaya sosial. Setiap kontestasi pilkada berlangsung, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfir pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai salah satu sebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, kekerasan dan lain-lain.

Apakah benar, mengembalikan pilkada gubernur ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi dengan mekanisme pemilihan oleh DPRD, justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti yang menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa di DPRD, bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.

Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekedar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) yang lazimnya dipraktikkan di era Orde Baru. ***

Tidak ada komentar: