Kamis, 06 Desember 2007

Pilkada dan Jaringan Pers Lokal

Olwh : Gun Gun Heryanto

Demam Pilkada kini kian menghangat di berbagai daerah di tanah air. Suasana menjelang pesta demokrasi di tingkatan lokal ini, semakin semarak. Berbagai spanduk menyambut Pilkada mulai menghiasi berbagai sudut keramaian. Fenomena yang dirasakan hampir oleh seluruh daerah penyelenggara Pilkada. Bahkan, di daerah-daerah yang Pilkadanya terancam tak terlaksana di bulan Juni pun, seperti di 13 kabupaten/Kota di Papua, di dua daerah di Sumatera Selatan yakni Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, di Kabupaten Manggarai Barat, NTT dan sejumlah daerah lainnya di tanah air, gaung Pilkada tetap terasa.
Antusiasme masyarakat menyukseskan Pilkada, bisa dipahami terutama dalam konteks sosio-politis dan psiko-politis masyarakat. Secara sosio-politis, Pilkada merupakan momen historis bagi Bangsa Indonesia, di mana para kepala daerah dipilih secara langsung. Ini merupakan ‘hajatan’ baru yang akan menentukan nasib penanganan daerah-daerah di masa mendatang. Model birokrasi daerah yang selama ini elitis dan menutup akses dari partisipasi rakyat, mau tidak mau harus tunduk pada kedaulatan rakyat. Peran besar yang diberikan kepada rakyat untuk menentukan kepala daerah mereka masing-masing inilah yang menciptakan atmosfir kesemarakan.
Sementara secara psiko-politis, ada semacam rising expectation dari masyarakat pada penyelenggaraan Pilkada sebagai efek domino dari proses demokratisasi di tingkat nasional. Bangsa Indonesia telah melewati Pemilu legislatif dan Pemilihan Presiden secara langsung. Pengalaman ini, menumbuhkan harapan munculnya kepala-kepala daerah yang bisa sejalan dengan keinginan mereka.

Potensi Masalah
Munculnya sejumlah masalah dan berbagai kecurangan dalam setiap kali pemilihan kepala daerah merupakan cerita lama. Terpilihnya seorang kepala daerah yang biasanya melalui konspirasi elit partai di lembaga legislatif, seringkali melahirkan raja-raja kecil. Tradisi politik seperti ini, yang mestinya dirubah melalui momentum Pilkada secara langsung.
Hanya saja, perlu upaya dan kepedulian yang kuat dari masyarakat untuk turut memantau secara seksama proses Pilkada. Sebab, pertarungan menuju singasana kepala daerah ini, dibayang-bayangi berbagai trik, manuver serta konspirasi yang seringkali tidak sejalan dengan arah dan tujuan demokrasi.
Dalam konteks inilah, penulis memandang peran strategis yang dapat dimainkan oleh institusi dan insan pers. Sebagai kekuatan ke empat (the fourth estat) di sebuah negara, pers diharapkan bisa menjadi alat kontrol yang efektif dalam sistem demokrasi, termasuk di tingkatan lokal sekalipun. Dengan reportasenya, pers diharapkan menceritakan berbagai hal menyangkut Pilkada kepada khalayak. Jika konstruksi realitas yang dibangun pers mewakili jati dirinya sebagai public sphere yang menyokong demokratisasi di daerah-daerah penyelenggara Pilkada, maka pengharapan akan munculnya kepala daerah melalui cara-cara demokratis pun akan semakin menemukan momentumnya.
Belum lagi Pilkada digelar, sejumlah masalah sudah nampak di depan mata. Menurut pengamatan penulis, ada beberapa titik krusial yang harus terus-menerus mendapat perhatian masyarakat. Pertama, menyangkut validitas data pemilih. Depdagri telah menerima data Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B) yang kemudian data pemilihnya diambil oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Daerah, yang disebut sebagai Data Penduduk Potensial Pemilih Pilkada (DP4). Akhir tahun lalu, Depdagri sebenarnya telah menerima data P4B dari KPU. Masalahnya, DP4-nya belum tentu benar, sehingga KPUD harus melakukan up date lagi untuk mendapatkan DP4 yang muktahir. Realitasnya, di berbagai KPUD saat ini mengalami kesulitan dalam pemuktahiran data pemilih Pilkada dan pencetakan kartu pemilih. Banyak daerah yang belum mengeluarkan daftar pemilih sementara. Hal ini, nantinya berpotensi besar menimbulkan kerawanan manipulasi pemilih.
Kedua, kemungkinan adanya campur tangan pemerintah daerah dalam urusan pencalonan orang atau paket pasangan tertentu. Hal ini, terutama dilakukan oleh kepala-kepala daerah yang saat ini menjabat dan akan kembali mencalonkan diri. Potensi memanfaatkan power kekuasaan dan berbagai fasilitas yang masih melekat pada jabatannya itulah, yang harus senantiasa dikontrol oleh masyarakat. Aroma konspirasi dengan pihak legislatif pun tak terhindarkan. Misalnya, dengan belum adanya laporan dari DPRD setempat kepada KPUD tentang berakhirnya masa jabatan bupati/walikota. Di Papua misalnya, dari 13 Kabupaten/Kota yang mengikuti Pilkada, hingga 4 april 2005 baru tiga DPRD yang mengajukan laporan yakni DPRD Merauke, DPRD Yapen dan DPRD Waropen. Oleh karenanya, besar kemungkinan pelaksanaan Pilkada akan tertunda. Hal seperti ini, bisa menguntungkan salah satu calon terutama calon yang saat ini masih menjabat. Sejumlah masalah lain pun tentunya menghadang pelaksanaan Pilkada yang demokratis, antara lain sumber dana kampanye, prilaku money politic, ijazah palsu hingga tindakan kriminal dan lain-lain. Semua masalah tersebut, tentunya memerlukan perhatian intensif masyarakat termasuk kontrol ketat dari insan pers.

Pers Lokal
Satu di antara pemain kunci yang nantinya akan mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, sebenarnya adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Minimal ada tiga potensi besar yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. Pertama, pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi area liputannya. Para jurnalis pers lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka bahas secara lebih detail. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih tinggi. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal sangat kurang. Kalau pun ada, hanya terbatas pada isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
Kedua, akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama.
Ketiga, seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan manajemen modern. Terlebih dengan terkoneksinya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar yang telah menjadi trend di Indonesia. Dukungan manajemen modern atau manajemen group bisnis media ini, turut mendukung profesionalisme institusi pers lokal. Tak hanya terbatas pada media cetak, pers lokal pun kini telah merambah radio dan televisi.
Melihat ketiga potensi besar tadi, alangkah idealnya jika pers lokal memainkan perannya secara maksimal dalam pelaksanaan Pilkada nanti. Kongkretnya, pertama ada baiknya jika jurnalis di daerah membangun jaringan pers lokal pemantau pilkada. Sehingga bisa memainkan fungsi social surveillance secara lebih terorganisir dengan menghasilkan efek yang lebih kuat. Kedua, di tengah himpitan dan godaan kekuatan ekonomi dan politik, pers lokal seyogyanya tetap mengusung obyektivitas. Komponen obyektivitas seperti diidealkan J. Westershal (lihat McQuail :1994), mencakup faktor faktualitas yakni mengandung nilai kebenaran, serta faktor impartialitas yakni mencerminkan keseimbangan dan netralitas. Memang seringkali pers lokal mengalami dilema antara idealisme dan tuntutan untuk survive. Namun, di era keterbukaan seperti sekarang ini, kualitas isi media yang baik, tentunya akan membuat pers lokal tetap eksis.

Tidak ada komentar: