Kamis, 06 Desember 2007

Media Massa dan Public Sphere :Analisa Pemikiran Jurgen Habermas

Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Jurnal Dakwah UIN Jakarta)

ABSTRAKSI
Media massa merupakan media yang memiliki posisi sangat penting terutama dalam konteks era informasi seperti sekarang ini. Institusi media massa dipercaya memiliki kemampuan dalam penyelenggaraan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara siginifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.

Tentu saja dalam perkembangannya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja diantaranya negara (state) dengan sekian agenda politiknya dan pemilik kapital dengan sekian agenda ekonominya. Persoalannya bisakah media massa menjadi ‘ruang publik’ yang bebas dari dominasi ?.

Makalah sederhana ini, mencoba mengelaborasi pembahasan tentang media massa dalam kaitannya dengan public sphere yang bertitik tolak dari pemikiran Jurgen Habermas. Pembahasan akan diawali dengan pemaparan realitas media massa di Indonesia saat ini. Bahasan selanjutnya berkaitan dengan sosok dan pemikiran Jurgen Habermas sebagai salah seorang pemikir aliran Kritis atau Mazhab Frankfurt. Tentu saja, dengan fokus pada ulasan tentang konseptualisasi public sphere. Untuk melengkapi bahasan, di bagian akhir tulisan diajukan analisa terhadap konseptualisasi public sphere yang dibuat Habermas terutama dalam kaitannya dengan realitas perkembangan media penyiaran di Indonesia.

Perlu diakui sejak awal, untuk memahami konstruk pemikiran Habermas tidak bisa melihatnya hanya dari satu sisi. Hal itu tentu saja tidak banyak dibahas dalam makalah ini, karena prioritas bahasan lebih pada konsep-konsep dia yang relevan dengan bahasan public sphere. Tentu saja, sebagai pemikir Habermas juga memiliki banyak kekurangan dan kelebihan. Bagian ini akan banyak diulas pada bagian beberapa kritik terhadap Habermas. Pada akhirnya, makalah ini disusun tidak untuk membuat simplikasi pemikiran Habermas, melainkan upaya sederhana untuk mengurai benang merah pemikirannya terutama dalam konteks perkembangan media di Indonesia. Banyak kelemahan yang ada dalam bahasan makalah ini, untuk itu dibuka ruang kritik.

MEDIA MASSA : Antara Mekanisme Pasar dan Peran Negara
Hal yang menarik dikaji dalam pembahasan media massa adalah relasi yang terjadi antara kelompok yang memiliki posisi vital dalam mempangaruhi eksistensi media. Mekanisme pasar yang melibatkan pasar pertukaran (exchange market) dan negara (state) yang merupakan institusi pemangku otoritas publik, memiliki karakteristik khas dalam pola hubungannya dengan media penyiaran di Indonesia.
Dalam tinjauan Garnham, insitusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat yang diproduksi oleh media untuk masyarakat menurut Garnham sebagian besar dapat ditentukan oleh nilai tukar beragam isi dan kondisi yang memaksakan perluasan pasar dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu kebijakan. Kepentingan-kepentingan tersebut berkonsekuensi pada makin berkurangnya jumlah sumber media yang independen, munculnya sikap masa bodoh terhadap khalayak pada sektor kecil serta menciptakan konsentrasi pada pasar bebas (Garnham, 1997).
Media massa di Indonesia secara lebih luas, umumnya memiliki keterikatan dengan sistem kapitalis. Dalam struktur mekanisme pasar, media banyak “dipaksa” berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal, sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, karena itu ia harus berusaha untuk menyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar.
Dilain pihak, media massa juga sering terstrukturkan dalam kepentingan politik negara. Sebagai ilustrasi pada masa Orde Baru misalnya, media yang berbeda dari mainstream kebijakan negara dianggap dapat mengganggu stabilitas negara, keamanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebebasannya harus dikontrol secara ketat. Makanya lahir perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang sejarah Orde Baru.
Di Indonesia, peran negara pernah amat dominan dan memiliki kekhasan berkolaborasi dengan pemilik modal baik pemilik modal dari lingkaran ekonomi keluarga penguasa maupun relasi politik dalam memainkan peran di industri media penyiaran. Sewaktu Orde Baru kita tahu kasus kepemilikan oleh Liem Sioe Liong (Indosiar), Bambang Triatmojo (RCTI, SCTV), Siti Hardiyanti Rukmana (TPI) Agung Laksono dan Abu Rizal Bakri (ANTV).
Tentu saja, setelah rezim Orde Baru tergeser, posisi dominan negara melemah dan posisi tekanan pasar meningkat. Ekspresi kebebasan memberi peluang komodifikasi bagi media, sehingga menjadi sebuah peluang bisnis yang menggiurkan. Tidak heran, pasca Orde Baru TV-TV swasta muncul semarak dengan beragam penentuan segmen khalayak yang nantinya akan diberikan kepada pengiklan. Diantaranya muncul TV-7 yang memprioritaskan program olahraga, Global TV dengan musiknya, Trans-TV dengan sinema-sinema Box-officenya, tak ketinggalan LATIVI yang masih belum begitu jelas prioritas segmen pasarnya.
Sebenarnya kalau mengacu kepada pendapat Denis McQuail (1987), terdapat sejumlah ciri khusus institusi media peyiaran sebagai bagian media massa, antaralain : pertama memproduksi dan mendistribusi “pengetahuan” dalam wujud informasi, pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain yakni dari pengirim ke penerima, dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Keempat, partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada kebutuhan pembiayaan. Keenam, meskipun institusi media tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.
Dengan mengacu kepada pendapat McQuail tadi, kita memperoleh gambaran kalau media massa memiliki keterkaitan erat dengan pemodal dan kekuatan negara. Meskipun demikian, media massa sebenarnya harus memiliki kepekaan terhadap persoalan-persoalan publik yang sifatnya sukarela. Ini artinya, media harus menyediakan sekian acara yang menjadi ranah publik (public sphere).

JURGEN HABERMAS : Konseptualisasi Public Sphere
Sosok dan Pemikiran Habermas
Jurgen Habermas adalah filsuf kritis generasi kedua dari Aliran Frankfurt. Ia tidak hanya membaharui generasi pertama aliran Frankfurt yang dipopulerkan Max Horkheimer, Theodore W. Adorno dan Herbert Marcuse tetapi ia juga membawa paradigma baru dalam alur pemikiran Marxian-Hegelian, yaitu memasukan filsafat bahasa (komunikasi, universal pragmatics).
Habermas mengabungkan diri ke dalam Institut fur Sozialforschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah institut itu didirikan kembali di bawah kepemimpinan Adorno (Francisco Budi Hardiman : 1990). Satu hal yang kiranya penting dalam memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt. Seperti pendahulunya Adorno dan Horkheimer, Habermas juga melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman, meskipun keterlibatannya hanya sejauh sebagai seorang pemikir Marxis. Ini terbukti ketika Habermas mengkritik gerakan-gerakan mahasiswa yang menjelang tahun 70-an yang mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan. Aksi-aksi tersebut oleh Habermas dikecam sebagai ‘revolusi palsu’dan sebagai hal yang kontraproduktif.
Menurut Hardiman (1990) Habermas juga seperti pendahulunya hendak membangun sebuah ‘teori dengan maksud praktis’. Dari segi isi dan latar belakang pemikirannya, dia tetap berakar pada tradisi transendentalisme Kant, idealisme Fitche dan Hegel serta materialisme Marx.
Melalui pengetahuan ensiklopedisnya, Habermas mengerjakan suatu Teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi teori kritis. Ini yang menurut Bertens (1983) menyebabkan pihak-pihak kiri yang tetap memegang teguh ‘jalan konflik’nya pernah menuduhnya sebagai seorang Marxis yang ‘sesat’ dan ‘bekerja demi ilmu borjuis’. Tuduhan tersebut dapat dipahami dalam konteks Habermas yang memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik ideologinya. Tapi dengan teori komunikasi itulah justru banyak orang memandang selayaknya Habermas ditempatkan sebagai pembaharu.
Habermas mengalamatkan teorinya pada sesuatu yang umum sekali, yaitu : rasio manusia. Menurut Agnes Heller (1982), Rasio dalam pandangan Habermas adalah ‘rasio yang memihak’ yaitu yang memiliki kepentingan emansipatoris. Jadi, meskipun dia tidak menunjuk suatu golongan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok sasarannya, rasio yang memihak itu akan menunjukan siapa yang harus dibebaskan.
Dalam pandangan Habermas suatu perkembangan masyarakat menyangkut tiga dimensi pokok, yakni kerja, interaksi dan kekuasaan (Sensat :1979). Jika kita kembalikan gagasan ini pada konsepnya mengenai rasionalisasi, dapat dikatakan bahwa perkembangan masyarakat yang seimbang menyangkut tiga macam rasionalisasi, yaitu rasionalisasi teknis di dalam dimensi kerja, rasionalisasi praktis di dalam dimensi interaksi dan rasionalisasi sistem di dalam dimensi kekuasaan.
Pekerjaan (work) merupakan usaha untuk menciptakan sumber daya material, sifatnya teknis dan meliputi rasionalitas instrumental serta berkaitan dengan disiplin yang bersifat empiris-analitis. Interaksi yaitu penggunaan bahasa dan sistem-sistem simbol dalam berkomunikasi, sifat dan rasionalitasnya praktis serta diwakili oleh sejarah dan hermeneutic, sedangkan power dikaitkan dengan ideologi yang mendominasi masyarakat (Little Jhon, 1999)
Dengan pandangan ini, Habermas berusaha mengatasi baik Marxisme klasik maupun neo-Marxisme pada umumnya yang masih memandang perkembangan masyarakat sebagai perubahan-perubahan hubungan kerja. Dalam perkembangan hubungan ketiganya inilah Habermas yakin manusia akan semakin rasional, dalam arti semakin mampu memperluas penguasaan teknis atas proses-proses alam eksternal manusia, semakin mampu menciptakan situasi komunikasi bebas penguasaan dan semakin mampu menentukan tujuan-tujuan teknis dan tujuan-tujuan praktis masyarakat secara memadai.

Konseptualisasi Public Sphere
Konsep public sphere pada awalnya bermula dari sebuah esai Jurgen Habermas pada tahun 1962 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Dalam esai tersebut, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi. Wilayah itu disebutnya sebagai “public sphere”, yakni semua wilayah yang memungkinkan kehidupan sosial kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan sejarah praktek sosial, politik dan budaya yakni praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan sosial umum. Penekanannya mengenai pembentukan kepekaan (sense of public), sebagai praktik sosial yang melekat secara budaya. Orang-orang yang terlibat di dalam percakapan public sphere adalah orang-orang privat bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional bukan pula pejabat atau politikus.
Tujuan dari ranah publik adalah menjadikan manusia mampu untuk merefleksikan dirinya secara kritis, baik secara politis-ekonomis maupun budaya. Menurut Habermas sebagaimana dikutip Oliver Boyd-Barret (1995), tidak ada aspek kehidupan yang bebas dari kepentingan, bahkan juga ilmu pengetahuan. Struktur masyarakat yang emansipatif dan bebas dari dominasi dimana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah struktur ideal. Apa yang ingin disampaikan oleh Habermas adalah mengenai sistem demokrasi. Habermas yakin bahwa sebuah ruang publik yang kuat, terpisah dari kepentingan-kepentingan pribadi, dibutuhkan untuk menjamin tercapainya keadaan ini. Ruang publik yang dipahami Habermas bukanlah prinsip yang abstrak melainkan sebuah konsep yang praktis, tepatnya culturally-embedded social practice.
Habermas mengangkat obrolan di coffe house (Inggris) abad 18, salon (Prancis) dan tichgesllschaften (Jerman) sebagai ruang publik. Disitulah forum yang ideal tempat berbagai gagasan didiskusikan secara terbuka. Komentar-komentar yang ada dalam berbagai pemberitaan diperdebatkan. Pada akhirnya, opini yang tercipta mampu mengubah berbagai bentuk hubungan dan struktur sosial kemasyarakatan baik di kalangan kaum aristrokrasi maupun lingkungan bisnis pada umumnya. Ruang publik seperti ini menurut Garnahm, bertujuan membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan gereja maupun negara.
Bagaimanapun banyak dari Tischgesellschaften, salons, dan coffe house mungkin berbeda dalam ukuran dan komposisi publik mereka, gaya cara bekerja mereka, puncak perdebatan mereka, dan orientasi topik mereka, mereka seluruhnya mengorganisasikan diskusi diantara masyarakat privat yang cenderung terus menerus, sebab itu mereka memiliki sejumlah kriteria institusional umum (Jurgen Habermas :1993).
Secara institusional , menurut Habermas (1993) terdapat kriteria yang menyamakan ketiga forum diskusi (public sphere) antaralain :
1. Mereka memelihara suatu bentuk hubungan sosial yang jauh dari pensyaratan kesamaan status. Kecenderungan mengganti penghormatan atas tingkatan dengan kebijakan yang cocok secara merata. Sama-sama memelihara kesetaraan sebagai manusia, terlepas dari atribut sosial dan budaya serta kepentingan ekonomi.
2. Kedua diskusi dalam suatu publik mengisyaratkan permasalahan area yang kemudian tidak pernah dipersoalkan. Domain “perhatian umum” yang menjadi objek perhatian kritis publik menetapkan suatu perlindungan diantara otoritas gereja dan negara yang memiliki monopoli interpretasi tidak hanya dari mimbar tetapi juga dalam philosopi, literatur dan seni.
3. Ketiga, proses yang sama yang mengubah budaya kedalam komoditi, public sphere pada dasarnya bersifat inklusif. Para peserta diskusi senantiasa mengaitkan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas dan obyek yang didiskusikan dapat diakses oleh siapa saja, dengan demikian fungsi publik (dalam hal ini sekelompok orang yang berdiskusi di coffe house dll.) adalah pendidik.
Ruang publik borjuis memang berkembang dari sistem feodal yang menolak prinsip-prinsip diskusi publik terbuka pada masalah-masalah universal. Pada awalnya, para angota public sphere hanyalah kaum borjuis laki-laki, bangsawan, dan intelaktual yang bertemu untuk mendiskusikan karya-karya sastra. Namun begitu, dalam kajian Habermas dikemudian hari diskusi-diskusi tersebut telah bergeser menjadi pembicaraan-pembicaraan politik. Pembicaraan mengenai hal ini membuka jarak sosial dan merupakan perlawanan terhadap status quo. Sehingga, tujuan public sphere pun berubah, menjadikan orang mempunyai sikap kritis terhadap kekuatan negara.

ANALISA
Media dan Public Sphere
Kemunculan media massa seperti surat kabar, radio dan televisi memang membuat perubahan signifikan dalam rekonseptualisasi public sphere ala Habermas. Matriks demokrasi politik seperti coffe house, public square, salon, tichgesellschaften, town hall dan banyak tempat lainnya tidak lagi menjadi tempat untuk diskusi dan aksi politik. Perannya, seperti dikatakan John Hartley (1992), digantikan oleh media massa. Menurutnya TV, koran, majalah, fotografi dan media lainnya merupakan public domain, tempat dimana publik sering diciptakan oleh karenanya mengandung pemahaman publik sphere.
Melihat kenyataan tersebut, jelas era pembicaraan public sphere dalam arti face-to-face sudah bergeser. Karenanya, Poster dalam “Cyberdemocracy : Internet and the Public Sphere” mengatakan, hendaknya apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen dimana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, dalam arena publik elektronik terabaikan (Mark Poster, 1995). Bentuk-bentuk ala salon dan coffe house mungkin berubah menjadi virtual communities, electronic cafes, bulettin board, e-mail atau teleconfrence.
Peran mengisi ruang antara kekuatan negara dan civil society sebenarnya dapat diisi oleh media massa. Media dapat memainkan peranan signifikannya dalam membentuk dan menyebarluaskan informasi dalam pembentukan opini publik. Hanya masalahnya mampukah media massa menempatkan diri sebagagi kekuatan publik yang lepas dari pengaruh sistem politik yang anti demokrasi dan tidak terkontaminasi oleh kekuatan ekonomi tertentu ? hal ini yang hingga kini masih diperdebatan.
Menurut Habermas, semula media memang dibentuk dan menjadi bagian integral dari public sphere. Hanya saja, kemudian media dikomersilkan menjadi komoditi sehingga menjauhkan perannya semula sebagai pengisi ruang publik (dalam Oliver Boyd Barrett, 1995). Dalam masalah ini, Habermas terlihat pesimis dengan peran media massa karena perhatiannya mengenai public sphere lebih tertuju dapa diskusi politik dengan membesar-besarkan komersialisasi media massa.
Habermas kiranya dalam konteks ini melihat lemahnya media massa bukan saja disebabkan keterkaitannya dengan komodifikasi media tetapi juga erat kaitannya dengan komersialisasi masyarakat secara umum sebagaimana pernah diungkapkan Elliot yang memandang hal ini dipercepat oleh kebijakan Reagen (AS) dan Tatcher (Inggris) yang sangat percaya pada kekuatan pasar sebagai penyelsaian terbaik penyediaan barang dan jasa dengan para konsumennya.
Memang kalau kita amati kenyataanya seperti sekarang ini, banyak dampak akibat semakin dominannya aspek modal dalam kegiatan media. Pasar bebas melahirkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang bersifat hegemonik dan monopolistik dimana satu atau beberapa produsen dan penyalur bisa menentukan jangkauan dan kualitas layanan yang sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Hal ini tentu saja merugikan konsumen dan publik yang membuat mereka hanya punya pilihan yang terbatas. Murdock mengatakan bahwa kenyataan tersebut sebagai konsekuensi dari kebijakan privatisasi media yang membuat kekuatan modal sangat berperan dalam kepemilikan jaringan media massa. Dia mengaitkan hal itu dengan ideologi konsumerisme yang selalu mendorong orang untuk mencari solusi privat untuk menyelsaikan masalah-masalah publik dengan cara membeli atau menjual sesuatu (Murdock, 1992).
Dalam konteks media penyiaran di Indoenesia seperti secara umum digambarkan diawal bahasan, hampir sebagian besar acara-acara mulai dari kuis, infoteinment, diskusi dan lain-lainnya memiliki agenda perekrutan khalayak untuk diberikan pengiklan. Kalau era Orde Baru dulu, media penyiaran seperti TV dan radio didominasi oleh negara bahkan secara gamblang kita dapat menilai posisi media sebagai instrumen aparatus ideologi negara. Dua-duanya (dominasi negara dan pasar) tentu saja tidak dapat melahirkan public sphere yang diidealkan. Memang masih ada diantaranya model-model acara yang cenderung masih mebuka ruang publik disela derasnya tekanan pasar. Misalnya saja, dialog Indonesian Recovery yang dipunyai Metro saat membuka diskursus gagasan Islam liberal Ulil Absar Abdala (23/12). Disitu terdapat kesempatan berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk saling berdialog. Tentu saja, masih banyak acara sejenis di TV-TV lainnya yang masih bisa diharapkan turut membantu mewujudkan kritisisme masyarakat secara emansipatoris.
Tentu saja, kondisi media yang ‘menghambakan’ diri pada dominasi negara dan pasar ini bertentangan dengan cita-cita Habermas. Sebab dalam dimensi tindakan komunikatif menurut Habermas (dalam Purwantoro, 1997) “rasionalisasi” menunjukan proses-proses emansipasi dan individuasi, sama halnya dengan perluasan komunikasi yang bebas dari dominasi. Habermas memandang, emansipasi itu menyangkut kepentingan material yang dihubungkan secara internal dengan kebenaran, kebebasan dan keadilan. Artinya, ini juga merupakan proses pembentukan komunikasi bebas distorsi sebagai bentuk organisasi sosial.
McCharty (1978) menjelaskasn konsep Habermas mengenai ‘situasi perbincangan ideal’, menurut Habermas struktur komunikasi itu bebas dari hambatan hanya bila bagi semua partisipan terdapat suatu pembagian simetris dari kesempatan-kesempatan untuk memilih dan mempergunakan speech act, bila ada suatu kesamaan kesempatan yang efektif bagi pengandaian peran-peran dialog. Struktur pemikiran Habermas kalau kita telusuri telah menggantikan perjuangan kelas sebagai revolusi fisik dengan perjuangan kelas sebagai hubungan dialogal.
Untuk menjadikan media penyiaran menjadi institusi yang memiliki fungsi pelayanan bagi perluasan ruang publik kiranya perlu dilakukan beberapa hal. Pertama, menyediakan forum publik untuk berbagai lapisan masyarakat secara inkulsif. Kedua, menggali cara berpikir popular, memberikan sumber baru pengawasan dan umpan balik bagi pemegang kekuasaan. Ketiga, melekatkan definisi dominan mengenai kewarganegaraan, bangsa dan budaya. Keempat, membuat garis batas antara kawasan swasta dan kawasan publik

Beberapa Kritik Terhadap Habermas
Banyak kritik telah disampaikan terhadap konsep public sphere Habermas, misalnya datang dari Thompson (dalam Featherson, 1993). Sebenarnya Thompson tidak bermaksud menolak prinsip-prinsip public sphere dari Habermas, hanya dia mencoba membedakan isu-isu substantif dan isu-isu normatif. Kritiknya itu antara lain :
Pertama, secara historis Habermas terlalu menekankan publik yang ada pada public sphere borjuis dan mengabaikan bentuk-bentuk lain wacana publik yang ada pada abad 17, 18 dan 19 di Eropa. Selain public sphere borjuis juga terdapat gerakan politik dan sosial yang populer dan bukan merupakan turunan dari public sphere borjuis. Bahkan diantara keduanya seringkali bersifat bertentangan.
Berkaitan dengan hal ini, Habermas mengakui perlunya pendekatan yang lebih fleksibel terhadap gerakan sosial populer dan bentuk-bentuk budaya populer. Pendekatan tersebut tidak hanya menilai karakternya tetapi juga kemungkinannya untuk memiliki bentuk dan dinamikanya sendiri.
Kedua, model public sphere borjuis merupakan idealisasi proses sejarah aktual dan tidak sesuai dengan karakter gerakan sosial non borjuis. Public sphere borjuis terbatas pada elit yang berpendidikan dan golongan laki-laki. Habermas tidak menyadari marjinalisasi perempuan di kalangan borjuis dan karakter patriarkat keluarga borjuis. Studi-studi feminist yang ada menunjukan bahwa penarikan (exclusion) perempuan dari public sphere tidak hanya karena kondisi sejarah yang memungkinkan, tetapi juga karena penarikan tersebut terkandung dalam pengertian atau gagasan mengenai public sphere itu sendiri. Public sphere merupakan wacana politik khusus kelompok gender tertentu (laki-laki) dan merupakan kawasan rasionalisme dan universalitas dimana laki-laki diperlengkapi kemampuan untuk berpartisipasi dan perempuan hidup dalam dunia domestik.
Ketiga, bagian terlemah dari structural Transformation adalah mengenai “penurunan dari public sphere”. Argumen Habermas tentang transformasi public sphere pada abad 19 dan 20, tidak berisi detil material empiris. Menurut Habermas, terjadi konsumerisme publik dan refeodalisasi public sphere melalui hegemoni kapitalis atas media. Thompson berpandangan terdapat penjelasan yang keliru dengan menunjukan dua alasan . Pertama, diragukan apabila konsumen media massa adalah konsumen yang terpikat (enthrall) dan dapat dimanipulasi. Terdapat proses penerimaan (process of reception) yang menggambarkan penerimaan orang terhadap isi media merupakan proses kreatif yang rumit dan kreatif. Kedua, berkenaan dengan gagasan refeodalisasi public sphere. Habermas melihat politik yang ada saat ini hanya mengandalkan penampilan pribadi seorang politisi (personal aura) daripada debat politik yang membandingkannya dengan kondisi pada abad pertengahan. Perbandingan tersebut tidaklah relevan karena kondisi komunikasi bertatap muka sekarang ini berbeda dengan komunikasi melalui media yang dilakukan oleh politikus dengan publik. Selain itu, pada abad pertengahan politisi berhadapan dengan orang-orang dengan konteks budaya dan temporal yang sama. Sedangkan saat ini pemimpin politik berhadapan dengan jutaan pendengar yang sangat tersebar secara spatial.
Keempat, structural tansformation hanya relevan untuk kondisi masyarakat barat pada abad 20-an, karena saat ini terjadi diferensiasi sosial dan Habermas telah memperbaiki teorinya melalui bukunya the theory of communicative Action yang membedakan sistem dengan dunia kehidupan yang mempunyai implikasi besar dalam teori demokrasi dari Habermas.
Kritik lain yang diajukan Thompson dan tidak banyak disinggung oleh ahli lainnya adalah filosofi yang melandasi wacana praktis yakni konsepsi dialogis. Konsepsi tersebut hanya mempunyai sedikit kesesuaian dengan jenis komunikasi melalui media, sehingga kesesuain dengan jenis public sphere dimana media ikut membentuknya menjadi tidak relevan.
Cara berpikir Habermas mengenai media cetak dibentuk oleh model komunikasi yang didasarkan pada kata yang diucapkan (lisan) seperti pada public sphere borjuis. Cara berpikir ini tentu saja tidak sesuai dengan kondisi komunikasi melalui media. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Habermas melihat media massa dalam pengertian negatif dibandingkan dengan public sphere borjuis karena situasi komunikasinya berbeda (tanpa dialog, karena melalui proses penerimaan isi media yang bersifat pribadi).
Memang kalau kita analisa, Habermas sangat pesimistik dalam melihat media massa, ini terlihat dari penilaiannya terhadap produk media massa yang dianggapnya manipulatif. Betul bahwa media seperti radio dan TV membentuk format-format baru komunikasi, seperti show, disksusi panel dll, namun hal tersebut dalam pandangan Habermas tidak sepadan dengan debat-debat rasional dan kritis yang terjadi di public sphere.
Terlepas dari kekurangan konsep public sphere Habermas dalam hubungannnya dengan media, konsep tersebut setidaknya memiliki kelebihan-kelebihan yang perlu kita hargai. Pertama, kebenaran (authenticity) sosiologis yang mengesankan dan menggambarkan kelangkaan karya yang setara untuk media lain, dalam konteks dan sejarah yang berbeda. Kedua, memberikan pengaruh kuat kepada masa glasnot yang diikuti oleh tumbangnya Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ketiga, inspirasi kebijakan reagenian dan tatcherian serta divusi (penerapan) konsep tersebut pada birokrasi umum dengan maksud untuk merevitalisasi dan memperkuat ideologi dan praktek kapitalis menimbulkan suatu kondisi “menantang” analisis oposisional radikal, dan pada saat yang sama kondisi tersebut memperlemah legitimasi dan kesempatan menggunakan analisis tersebut. Keempat, kepentingan praktis penelitian untuk membantu mendefinisikan ulang dan mengatur peranan media di Timur, bersamaan dengan kepentingan Barat berkenaan dengan konsekuensi-konsekuensi swastanisasi media publik dan komersialisasi yang lebih intensif pada media swasta. Kelima, keuntungan politis bagi intelektual media untuk membangun dialog dengan dunia dalam kehidupan akademis.
Sebenarnya ada beberapa model pelayanan publik yang ideal dipraktekan oleh media massa saat ini yakni, pertama media massa memfasilitasi kesejahteraan bentuk-bentuk kehidupan, selera dan pendapat masyarakat. Kedua, media memberdayakan keragaman warga negara yang tidak diatur oleh negara diktator juga tidak diatur oleh dominasi kekuatan pasar. Ketiga, memungkinkan masyarakat hidup dalam kerangka negara konstitusional. Terakhir media menyajikan beragam pendapat publik.
Maksimalisasi kebebasan dan kesetaraan komunikasi memerlukan usaha-usaha pencegahan pemusatan kepemilikan media dan pengaturan secara umum media milik swasta serta membatasi jangkauan dan intensitas “suara” perusahaan.
Lembaga media yang dikuasai oleh lembaga non-profit dan didanai oleh umum sebenarnya menjadi bentuk ideal model pelayanan umum. Media non-pemerintah dan non non-swasta dapat meningkatkan fleksibilitas, kekuasaan dan emansipatoris. Tentu saja ini sebuah idealisasi yang membutuhkan waktu dan upaya lebih keras lagi untuk mewujudaknnya.

KESIMPULAN
Pemikiran Habermas tentang public sphere sebenarnya mengidealkan adanya ruang diantara negara (state) dan masyarakat (pulic) dimana setiap warga negara bisa melibatkan diri dalam diskursus tentang masalah bersama. Dia melihat fenomena seperti salon, coffe house dan tichgesellschaften pada abad 19 dan 20 sebagai contoh-contoh artikulasi public sphere. Hanya tentu saja siring perkembangan zaman, model-model public sphere yang mensyaratkan dialog face-to-face tergantikan dengan adanya peran media massa.
Mulanya Habermas melihat media massa dibentuk sebagai bagian integral dari public sphere, namun pada perkembangannya dia melihat media massa secara pesmisitik karena media dia anggap sudah sangat komersil dan tersubordinasi oleh kepentingan pemodal, sehingga tidak bisa bebas dan emansipatoris.
Pokok pemikiran Habermas yang berkenaan dengan public sphere sebenarnya dilatarbelakangi upayanya membangun sebuah ‘teori dengan maksud praktis’. Dalam pandangannya suatu perkembangan masyarakat menyangkut tiga dimensi pokok, yakni kerja, interaksi dan kekuasaan. Pekerjaan sifatnya teknis dan meliputi rasionalitas instrumental yang berkaitan dengan disiplin yang bersifat empiris-analitis. Interaksi sifat dan rasionalitasnya praktis serta diwakili oleh sejarah dan hermeneutic, sementara power dikaitkan dengan ideologi.
Penerapannya dalam konteks relasi media dan public sphere saat ini ide Habermas sebaiknya dilihat sebagi spirit untuk terus mengupayakan munculnya beragam conten media yang berpihak kepada publik.
DAFTAR PUSTAKA


Agnes Heller, Habermas and Marxism, dalam : Thompson, J.B (ed.) Habermas : Critical Debates, London : The Macmiilan Press, 1982

Bernstein,RJ., Filsafat Barat Abad XX : Inggris-Jerman, Jakarta :Gramedia, 1983

Boyd-Barret, Oliver, Conceptualizing the Public Sphere, in Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, Approach to Media A Reader, New York : Arnold, 1995

Habermas, Jurgen, The Structural Transformation of The Public Sphere An Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Translated by Thomas Burger, Cambridge Massachusetts : MIT Press, 1993

Habermas, Jurgen, Institusion of The Public Sphere, in Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, Approach to Media A Reader, New York : Arnold, 1995

Hartley, Jhon., The Politics of Picture : The Creation of the Public in the Age of Popular Media, New York : Routledge, 1992

Hardiman, Francisco Budi, Kritik Ideologi Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Jakarta : Kanisius, 1993

Littlejhon, Stephen W., Theories of Human Commnucation, Albuquerque New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998

McQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, Agus Dharma (terj.) Jakarta : Erlangga, 1987

Murdock, Granham, Citizens, Consumers and Public Culture, in Schroder, Kim Cristian and Skovmand, Michael (eds), Media Culture, Routledge, London, 1992

McCarthy,TH., The Critical Theory of Jurgen Habermas, Camridge : MIT Press, 1978

Purwantoro,A., Pembaruan Linguistik Jurgen Habermas dalam Tradisi Teori Kritis, dalam Majalah Filsafat Driyakarya, th.XXIII No. 1

Sensat,J., Habermas and Marxism, London : Sage Publications, 1979

Thompson, John B., The Theory of the Public Sphere, in Featherstone, M. (ed.), Theory, Culture and Society, Sage : London, Vol.10 No.3

Tidak ada komentar: