Rabu, 10 September 2008

ARTIKULASI POLITIK CALEG ARTIS




Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Koran Seputar Indonesia, Sabtu 30 Agustus 2008)

Satu fenomena menonjol dalam komposisi caleg Pemilu 2009, yakni maraknya caleg dari panggung hiburan. Artis dari berbagai ranah entertainment, mulai ‘dilabeli’ partai menjadi bagian dari strategi pemasaran politik guna mendulang suara sebasar-besarnya dari kontestasi politik yang akan memuncak di tahun depan. Label politik sebagai caleg partai ‘A’ atau caleg partai ‘B’ tentu merupakan muara dari sekian proses negosiasi politik panjang sebelumnya. Hal ini tentu saja tidak sederhana karena melibatkan kepentingan politik, prestise, anasir kekuatan ekonomi dan yang tak kalah kompleknya adalah rancang bangun strategi politik partai untuk membawa partai bersangkutan ke pusaran utama kekuasaan mendatang.
Politisi Wakil
Pesta demokrasi akan menghadirkan ornamen kian gemerlap dengan hijrahnya “para penghibur” ke dunia politik. Sebuah hijrah dari panggung simbolik hiburan ke panggung politik yang kerapkali sama-sama membangun realitas mimpi bahkan hyper reality. Panggung hiburan dan panggung politik sama-sama menuntut citra, reputasi, publisitas, koneksi dan lain-lain di luar substansi peran dan tanggung jawab publik masing-masing.
Tak tanggung-tanggung, partai politik yang di masa sebelumnya lekat dengan caleg dari kaum intelektual seperti PAN, kini memboyong sejumlah artis dalam daftar calegnya. Deretan nama para pesohor seperti Wulan Gurtino, Marini Zumarnis, Eko Patrio, Ikang Fawzi, Derry Drajad, Adrian Maulana, Raslina Rasyidin, Tito Soemarsono, Maylaffayza, Mandra, Mara Karma, Cahyono, Krisna Mukti, Henidar Amroe, Eka Sapta, Lucky Artadipraja, Intan Sevilla, Poppy Maretha, Irene Librawati terpampang menjadi ‘jualan manis’ PAN.
Begitu pun dengan Partai Golkar, caleg artis yang diusungnya antara lain, Tantowi Yahya, Nurul Arifin, Jeremy Thomas dan Dharma Oratmangun. Caleg artis dari kubu PPP adalah Marissa Haque, Evie Tamala, Lyra Virna, Ferry Irawan, Okky Asokawati, Ratih Sanggarwati, Emilia Contessa, Denada, Mieke Wijaya, Rahman Yacob, dan Soultan Saladin. Sementara PDIP memasang Rieke Dyah Pitaloka, Edo Kondologit dan Dedy "Mi`ing" Gumelar. Fenomena ini pun terjadi di partai-partai peserta Pemilu 2009 lainnya.
Banyak dari para caleg artis tadi, tanpa harus berkecimpung dan berkeringat dalam mekanisme kepartaian bisa dengan nyaman tampil menjadi politisi dadakan. Ini yang dalam tulisan teoritisi komunikasi politik, Dan Nimmo (1989), disebut sebagai komunikator atau politisi wakil. Ada dua jenis politisi, pertama politisi wakil yakni politisi yang menjadi perwakilan artikulasi politik individu atau kelompok. Biasanya, mendapatkan keuntungan berupa hak istimewa untuk masuk ke jabatan publik baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa harus menguji militansi, loyalitas, dan intensitas dalam artikulasi politik mereka.
Kedua, politisi ideolog yakni politisi yang merepresentasikan nilai-nilai normatif dan loyalitas individu atas perjuangan politik kolektif yang diusung partai politik. Meskipun politisi wakil dan ideolog membawa label partai yang sama, substansi dan pembobotan aktivitasnya tentu saja sangat berbeda. Politisi wakil, bukan lahir dari suatu mekanisme kaderisasi yang panjang, melainkan karena ‘magnet popularitas’ yang dianggap memadai untuk menjadi duta artikulasi politik partai. Dalam konteks inilah, seringkali caleg instan atau caleg dadakan mendapatkan momentumnya.
Lantas salahkah jika sang penghibur ini terlibat dalam panggung politik? Tentu saja tidak, karena partisipasi politik merupakan hak setiap warga negara. Terlabih jika artis-artis itu sejak awal membangun kapasitas individualnya dalam memahami, mengerti dan memperjuangkan nilai-nilai politik yang diyakini mereka. Samuel P. Hutington dan Joan M. Nelson dalam buku No Easy Choise: Political Participation in Develoving Countries, menyebutan fokus utama partisipasi politik adalah usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi otoritatif nilai-nilai bagi suatu masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).
Andai saja para penghibur ini memandang perlu artikulasi politik yang sistemik, untuk mempengaruhi atau mempertahankan suatu bentuk susunan masyarakat yang lebih baik, maka partisipasi politik mereka layak mendapatkan apresiasi. Begitu pun sebaliknya, jika partisipasi itu sekedar “panggung sandiwara” berbekal nama dan popularitas tanpa paham ranah permainannya, maka tentu saja mereka akan sekedar menjadi ornamen penghias suasana, atau paling bagus mereka menjadi mesin-mesin efektif pendulang suara (vote getter) di saat Pemilu.
Distribusi Power
Aktualnya minat berpolitik caleg artis tak lepas dari adanya distribusi power dalam komposisi penetapan caleg. Sebuah distribusi yang dalam tradisi politik di Indonesia memungkinkan laris-manisnya caleg elit atau caleg dadakan. Keempat jenis power tersebut antaralain :
Pertama Influence power, yakni kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap dan prilakunya secara sukarela. Kolaborasi fungsional antara si artis dengan media massa akan menyulap segala sisi kehidupan “si penghibur” ini menjadi urusan publik. Sihir dunia hiburan seringkali mensubordinasikan kesadaran khalayak di titik nadir. Fenomena fans club mewabah menjangkiti khalayak dalam arus utama budaya populer. Media massa turut memiliki andil dalam membangun interkoneksitas antara para penghibur dengan khalayak luas dalam dimensi persuasif.
Kedua, reference power yakni kekuatan yang melekat pada diri seseorang, bukan karena kekuatan dirinya melainkan karena kekuatan orang lain di luar dirinya. Tradisi politik kita pun mencatat, betapa banyak politisi yang menjadi “The Rising Star” karena dia merupakan anak biologis, kerabat atau sekedar anak didik dari politisi dan pejabat publik. Sederet tokoh politisi muda saat ini, sebut saja Puan Maharani (anak Megawati),Yenny Wahid (anak Gus Dur), Sutrisno Bachir (suksesor Amien Rais) dan lain-lain. Seiring perjalanannya mereka akan menjadi tokoh menentukan karena aliran reference power yang mereka miliki. Di dunia entertainment pun terjadi, para penghibur memiliki kekuatan dari ibu, bapak, kerabat dan lain-lain yang telah populer lebih dulu. Sebut saja pencalonan Denada oleh PPP, sangat mungkin karena ‘sentuhan’ Emilia Contessa di partai berlambang Ka’bah tersebut. Kekuatan seperti ini, dibanyak kasus memang menyediakan keterbatasan rasionalitas bahkan di level tertentu mereduksi nalar kritis, karena menyuburkan politik patron client.
Ketiga reward power, yakni kekuatan yang muncul karena kekuatan memberi. Inilah salah satu kekuatan para artis dari dunia hiburan. Banyak dari mereka telah memiliki kekuatan finansial memadai. Artis bisa menjadi salah satu lumbung partai selain juga dapat mendongkrak popularitas partai bersangkutan. Sangat wajar jika banyak partai politik meminang para artis guna meningkatkan pendapatan partai sekaligus dapat memanfaatkan free ride publicity dari sosok “si penghibur” tadi.
Keempat expert power, yakni kekuatan yang ada pada sosok si penghibur karena keahliannya. Kita tak menyangkal, bahwa ada juga artis yang menjadi caleg betul-betul karena dia memang memiliki kemampuan di ranah politik. Sebagai contoh, sebut saja misalnya nama Nurul Arifin (Caleg Partai Golkar) dan Rieke Dyah Pitaloka (Caleg PDIP). Selain mereka rajin mengasah pengetahuan politik di pendidikan formal dan LSM, mereka juga banyak terlibat secara serius di isu-isu yang terkait dengan perhatian mereka.
Sekali lagi perlu kita tegaskan, berbondong-bondongnya para artis hijrah dari panggung hiburan ke panggung politik, jangan sekedar menjadi ornamen glamournya partai yang mencalonkan, akan tetapi menjadi momentum artikulasi politik mereka di dunia nyata dan bukan di dunia peran.

1 komentar:

Ilham mengatakan...

Sepakat.. setiap politisi wakil maupun politisi ideolog
jangan hanya bertarung mencari atau meraih kekuasaan lewat popularitas, tetapi lebih mengedepankan kepantingan rakyat..
jadikanlah PARPOL hanya sebagai wadah inspirasi.. jangan dijadikan sumber mata pencaharian..!