Rabu, 10 September 2008

RAMADHAN DAN INDUSTRI TELEVISI

Gun Gun Heryanto


Bulan Ramadan telah menghadirkan kembali suasana religius di tengah masyarakat. Semaraknya bulan puasa ini, tak semata-mata menghadirkan kesucian dalam konteks ibadah di level individu dan komunitas muslim, melainkan juga kian meneguhkan ‘ritus’ tahunan yang mapan terpola di industri media massa terutama televisi. Realitas simbolik Ramadan yang diusung televisi, menghadirkan suasana hingga ke ruang-ruang keluarga. Bagi industri televisi, hal ini tentu saja momentum penting yang sangat menguntungkan bagi proses kumulasi ekonomi. Dengan segmen dan kecenderungan berprilaku dari khalayak yang mudah diprediksi selama Ramadan, pelaku industri televisi sangat intens melakukan proses komodifikasi program. Meminjam terminologi Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communications (1996), komodifikasi merupakan upaya mengubah data dan fakta menjadi sistem makna yang dipasarkan.
Realitas Simbolik
Seluruh stasiun televisi baik nasional maupun lokal, terutama yang berkategori lembaga penyiaran komersial, berlomba-lomba mengemas reality show, sinetron, talk show, komedi, ceramah keagamaan dan lain-lain. Bahkan iklan sekalipun, banyak yang dikemas dengan memanfaatkan ornamen Ramadan.
Sejumlah program komedi, tetap menjadi jualan paling ampuh berbagai stasiun televisi di Ramadan tahun ini. Sebut saja program Sambil Buka Yuk, Pas Ramadhan Dapat Berkah (Pasrah), Bajaj Bajuri, Cagur Naik Bajaj, dan ”Tawa Sutra XL” (di ANTV), Empat Mata Sahur Seru (Trans7), Saatnya Kita Sahur (TransTV). Program-program komedi sejenis juga hampir merata dimiliki oleh stasiun televisi lain. Program komedi yang biasanya dipasang menjelang buka puasa dan sahur ini, banyak yang isi lawakannya cenderung slapstick atau konyol. Jika pun ada ceramah dari ustadz atau kyai, hanya menjadi pelengkap penderita karena durasinya yanng sangat singkat.
Selain lawakan, realitas simbolik Ramadan di televisi juga didominasi oleh sinetron religi. SCTV misalnya menjual sederet sinetron anataralain Zahra, Annisa, Rinduku CintaMu, dan Kumpulan Cerita Ramadan, Para Pencari Tuhan-2. Seolah tak mau kalah, Indosiar juga membesut sederet sinetron seperti Tasbih Cinta, Jihan, Syarifah, dan Muslimah. Selain juga menjual acara variety show dan kuis. Dari sekian acara tersebut, yang cukup serius orientasi nilai-nilai edukatifnya sebut saja talk show Hikmah Ramadan, Tafsir Al Misbah, Ensiklopedi Islam, Sukses Syariah di MetroTV. Cerita yang cukup logis dengan pesan sarat nilai juga dapat kita temukan di Senitron-kuis Para Pencari Tuhan-2.
Posisi Media
Kiprah stasiun-stasiun televisi dalam menyemarakan Ramadan masih banyak menuai kritik. Kerapkali tuduhan keras terlontar, bahwa televisi hanya memanfaatkan Ramadan sebagai ladang bisnis tahunan, tanpa mengkaji lebih dalam substansi Ramadan itu sendiri. Ada beberapa catatan penting dalam menilai posisi media massa termasuk televisi dalam konteks Ramadan.
Pertama, harus disadari bahwa televisi saat ini, telah tumbuh dan berkembang menjadi industri padat modal. Dalam hal ini, penulis setuju dengan pendapat Shoemaker dalam bukunya Mediating the Message (1991), bahwa organisasi media merupakan entitas ekonomi. Sebagai capitalist venture media penyiaran beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis. Dengan demikian, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audiens bagi monopoli penjualan pengiklan. Selama bulan Ramadan, ada perubahan kondisi kejiwaan, perasaan dan selera dari khalayak. Perubahan ini ditangkap, kemudian dikomodifikasi dalam bentuk beragam format acara yang ‘memanjakan’ jiwa, perasaan dan selera khalayak tersebut. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Kian banyak audiens yang menonton suatu program, maka kian tinggi pula rating program tersebut. Dengan demikian yang menjadi pertimbangan bukan baik atau buruknya isi siaran, melainkan rating penontonnya.
Kemasan Ramadan dalam konteks ini, tidak ada bedanya dengan masa Olimpiade di China belum lama ini, atau musim Liga Premier sepakbola Inggris. Bisa juga dipersamakan, dengan masa kampanye Pemilu 2009 yang saat ini sedang berlangsung. Sama-sama memiliki segmen khalayak yang jelas dan dipersatukan oleh ikatan ideologi atau nilai normatif tertentu. Olimpiade dipersatukan oleh semangat kebersamaan (unity in diversity), kampanye dipersatukan oleh ideologi politik, sementara Ramadan dipersatukan ideologi atau spirit agama. Momentum tersebut sama-sama membentuk basis massa dan segmen khalayak yang jelas menguntungkan bagi media.
Kedua, meskipun wajah industri tergambar nyata dalam gebyar paket Ramadan di televisi, tak bisa dinafikan bahwa televisi menjadi entitas sosial yang sangat berpengaruh. Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas Ramadan telah memungkinkan khalayak dapat melokalisasi, merasakan, mengidentifikasi serta memberi label. Sebagai institusi sosial, televisi memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan secara cepat dan menjangkau khalayak luas, dengan demikian televisi tampil kian digandrungi khalayak, termasuk selama bulan puasa seperti sekarang ini.
Kualitas Program
Guna meningkatkan kualitas program-program Ramadan di televisi, ada beberapa catatan kritis yang seyogyanya menjadi bahan perhatian kita semua. Pertama, harus proporsionalnya perimbangan antara program yang bermuatan edukasi dengan yang entertainment. Dengan konsep dan inovasi kreatif serta didukung produksi yang baik, tentu bisa lebih menghadirkan kesemarakan Ramadan di layar TV, tanpa mendistorsi muatan nilai yang terkandung di dalamnya. Proporsionalitas termasuk juga menyangkut durasi waktu yang digunakan oleh sebuah program yang ditayangkan.
Kedua, kualitas bahasa dan tindakan simbolis yang digunakan untuk menyimbolkan keagungan bulan Ramadan seyogyanya terjaga. Jangan karena mengejar keuntungan tayangan, stasiun-stasiun TV terjebak pada model identifikasi mitis dan distansi alegoris. Identifikasi mitis artinya melebih-lebihkan kesatuan identitas Ramadan, antara tindakan simbolis dengan apa yang disimbolkannya. Sementara distansi alegoris, justru mengkonstruksi realitas Ramadan terlampau berbeda dengan substansinya, sehingga menyebabkan keterasingan Ramadan dari hakekat yang sesungguhnya. Ramadan cukup disimbolkan sebagai bulan evaluasi dan refleksi dalam peneguhan sosok manusia penyabar, peduli, memiliki komitmen sosial dan mampu mengendalikan dirinya. Sehingga khalayak dapat menyingkap simbol itu dan terpengaruh baik secara kognisi, afeksi maupun konasinya. Kerap kali kita perhatikan, produk media pada paket acara Ramadan bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan substansi Ramadan. Hal ini perlu perhatian dari para pekerja media televisi, karena bagaimana pun seluruh isi siaran harus bertanggungjawab terhadap terlindunginya hak publik untuk mengakses program yang berkualitas. Terlepas dari plus minusnya media dalam sistem industri, televisi tetap menjadi media massa yang dibutuhkan khalayak.

Tidak ada komentar: