Sabtu, 26 Februari 2011

SKENARIO POLITIK HAK ANGKET PAJAK


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 8/2/2011)

DPR merupakan representasi paling nyata dari proses politik yang pekat dengan partarungan kepentingan. Senantiasa menjadi titik episentrum dari berbagai ledakan politik yang menimbulkan riakan bahkan gelombang opini publik.

Hal terbaru yang menjadi “mainan” baru para politisi Senayan adalah kembali digulirkannya inisiatif untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) hak angket mafia pajak. Sebuah skenario politik yang harus dibaca secara cermat agar kita tak selalu larut dalam euforia kohesivitas simbolik yang penuh kesia-siaan.

Pelajaran Century

Hiruk-pikuk bermula pada Senin, 21 Januari. Sebanyak 30 orang anggota DPR dari sembilan fraksi mengajukkan usulan pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Namun, keesokan harinya, 8 orang angggota Fraksi Partai Demokrat menarik kembali dukungan dengan alasan persoalan pajak ini sudah ditangani panitia kerja (panja) yang dibentuk Komisi III dan Komisi XI.

Langkah Demokrat ini pun lantas diikuti Fraksi PKB dan PPP. Namun, kafilah pun tetap berlalu, para inisiator hak angket yang umumnya dari Golkar, PDI-P dan PKS menyerahkan usulan hak angket ini kepada pimpinan DPR, Rabu (2/2). Sebagaimana kita ketahui dalam tata tertib DPR hanya mensyaratkan 25 dukungan anggota DPR agar usul penggunaan hak angket dibicarakan di rapat paripurna.

Mungkinkah ruang publik kita akan kembali masuk ke pusaran skenario para politisi Senayan? Kita tentu ingat bagaimana hiruk-pikuk pembingkaian berita (news framing) media sejak hak angket Century disahkan DPR pada 1 Desember hingga Maret 2010 . Nyaris tak ada jeda, seluruh energi bangsa ini tersedot ke skandal Century, sehingga melahirkan euforia publik akan tuntasnya skandal ini. Tak berlebihan kiranya, jika kita menyebut kasus ini sebagai skandal berdampak sistemik! Banyak berita positif di negeri ini menjadi marginal dan terabaikan.

Jika kita bandingkan, ada tiga perbedaan mendasar terkait dengan modal utama bergulirnya hak angket kasus Century dan kasus mafia perpajakan. Pertama, hak angket Century mendapat dukungan luas di internal anggota DPR. Setelah Tim-9 meretas jalan, mayoritas anggota DPR termasuk dari Demokrat mendukung pembentukan Pansus, meskipun dengan motif yang berbeda-beda. Sementara hak angket pajak, jalan untuk bersepakat sepertinya akan sangat terjal mengingat terjadi kesenjangan komunikasi politik antar para inisiator dan fraksi-fraksi. Skeptisme atas inisiatif hak angket ini membesar karena kuatnya sinyal-sinyal skenario pragmatis di balik upaya pembentukan Pansus.

Kedua, dalam hak angket Century muncul dukungan eksplosif dari tokoh masyarakat, kelompok penekan (pressure group), serta kelompok kepentingan (interest group). Para inisiator hak angket Century saat itu sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi, dll., yang secara gamblang menyatakan dukungan mereka atas upaya pengusutan kasus Century. Dukungan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) dan organisasi intra maupun ekstra kampus pun sangat intensif.

Sementara dalam kasus hak angket mafia pajak, justru tak menunjukkan greget testimoni dukungan para tokoh. Tentu, bukan karena para tokoh tersebut tak menghendaki dibongkarnya jaringan mafia pajak, melainkan keragu-raguan atas itikad hakiki dari pembentukan hak angket mafia pajak ini. Benarkah para politisi Senayan mau mengungkap kasus secara tuntas, atau sekedar skenario yang akan berujung transaksi politik seperti lazimnya terjadi?

Ketiga, hak angket Century memiliki modal publisitas yang memadai dari media massa dan media jejaring sosial (social network). Kita melihat ada kecenderungan persepsi positif dari berbagai media massa baik cetak, elektronika maupun new media (internet) terkait dengan setiap pemberitaan mengenai hak angket Century ini. Modal opini publik ini tak bisa dianggap remeh, karena berbagai news framing yang dikemas dan didistribusikan oleh media berpengaruh dalam menaikan dan menurunkan citra seseorang atau sekelompok orang. Begitu pun kohesivitas dalam berbagai situs jejaring sosial seperti di Facebook dan Twitter cenderung lebih banyak mendukung hak angket Century.

Muncul fenomena konvergensi simbolik di antara sesama pengguna situs jejaring sosial hingga mereka lebih diperteguh untuk bersama-sama dalam gerakan memberi dukungan misalnya terlihat dalam grup Facebook “1.000.000 Pendukung Hak Angket Century”.

Sementara dalam pembentukan hak angket mafia pajak, nampaknya media lebih berhati-hati bahkan kerap mencurigai aroma politik di balik pembentukan hak angket ini. Diskursus di dunia maya pun nampak lesu, seolah menjadi penanda para partisipan dan aktivis cyberdemocracy di situs jejaring sosial tak lagi percaya pada prilaku para politisi Senayan.

Apa hasil nyata pansus Century? Yang menonjol ada dua, pertama lahirnya para selebritis baru dari Senayan, sebagai buah publisitas yang intensif dan masif. Kedua, tergusurnya Sri Mulyani Indrawati dari gelanggang. Golkar misalnya, sukses memainkan skenario Century yang membuat posisi tawarnya meroket sehingga bisa mencengkramkan taringnya di Setgab.

Hasil maksium yang dicapai hanyalah rekomendasi setengah hati, atau rujukan ke penegak hukum tanpa daya dorong memadai. Bola panas di lempar ke penegak hukum, lantas para politisi asik-ma’syuk dalam zona nyaman kesepakatan para elit. Inilah ironi yang menyayat hati, di saat rakyat berharap setinggi langit agar kasus Century menjadi terang benderang.

Mafia Pajak

Kita tentu tidak berharap darah segar bangsa dan negara ini dihisap terus oleh para mafia yang bergentayangan. Pergerakan mereka yang nyaris tak tersentuh harus dihentikan melalui kasus-kasus nyata yang kini terpapar di meja hukum. Jika seksama menapaki jejak rekam para pelaku lapangan seperti Gayus, bukan mustahil penegakan hukum bisa sampai ke para Godfather.

Lagi-lagi, di saat seperti inilah skenario politik biasanya menjadi alat ampuh pengendalian. Ada beberapa catatan kritis terkait dengan rencana pembentukan hak angket mafia pajak agar kita tak terkena “proyek lupa”.

Pertama, jangan sampai hak angket mafia pajak direduksi hanya sekedar pemenuhan hasrat pragmatis jangka pendek. Misalnya, hanya menskenariokan upaya pembubaran Satgas Mafia Pajak. Tak dimungkiri, ada irisan negatif di antara para personel Satgas Mafia Pajak dengan beberapa elit parpol. Namun, sungguh tak elok, jika DPR menurunkan derajat hak angket hanya untuk target seperti itu.

Kedua, kita tentu tak berharap skenario hak angket melahirkan gejala groupthink dalam tradisi para politisi partai di negeri ini. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi yang seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader partai di Pansus sangat mungkin kembali ke tradisi lama yakni berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan.

Hal ini, menyebabkan minimnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elit utama di partai mereka. Jika pun ada yang berbeda, maka akan dilabeli sebagai penyimpang atau tak loyal pada garis kebijakan partai. Di level ini, kita patut mengingatkan agar hasrat membentuk pansus, jangan sampai karena kelatahan mengikuti keinginan para elit partainya. Terlebih, jika di antara mereka juga terkait dengan persoalan mafia pajak. Jangan sampai ada semangat kekitaan yang menyandera penegakan hukum melalui skenario politik.***

Tulisan ini bisa diakses di web Jurnas:

http://www.jurnalnasional.com/show/index/158546?rubrik=Opini

Sumber gambar:

www.matanews.com

Tidak ada komentar: