Sabtu, 26 Februari 2011


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 19/11/2010)

Saat ini, berbagai pihak yang berperhatian terhadap perbaikan kualitas penyelenggaraan politik dan demokrasi di Indonesia sedang berharap-harap cemas atas pembahasan revisi paket UU politik yang sedang dibahas di DPR. Pembahasan paket UU politik menjadi salah satu prioritas Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2010. Namun, hingga kini pembahasannya berlangsung alot dan sarat pertarungan kepentingan, mengingat setiap revisi atas paket UU politik biasanya menjadi pintu masuk bagi artikulasi kepentingan para politisi atau partai politik dalam menyongsong dinamika politik Indonesia ke depan.

Revisi UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, serta Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden sebenarnya menjadi titik krusial bagi penguatan politik dan pelembagaan demokrasi Indonesia ke depan. Betapa penting dan strategisnya keempat UU Politik tersebut, terlebih Indonesia akan melewati fase alih generasi kepemimpinan di Pemilu 2014. Namun, optimisme atas kinerja para politisi Senayan ini kian memudar. Alih-alih fokus pada penyelsaian bahasan secara tepat waktu, yang menguat justru aroma kepentingan politik yang kian tajam, dan kemungkinan tertundanya pengesahan hasil revisi paket UU politik di tahun ini. Sebuah paradoks antara apa yang diprioritaskan dengan kerja yang dilakukan.

Skeptisme

Revisi atas paket UU politik tentunya menjadi sebuah kebutuhan, mengingat banyak hal yang harus diperbaiki. Hanya saja, kita memiliki sejumlah catatan bahwa revisi senantiasa dilandasi bukan oleh motivasi untuk membuat komprehensifnya paket UU politik, melainkan lebih banyak dimotivasi oleh sejumlah variabel kepentingan para politisi dan partai politik yang membahas paket UU politik ini di DPR. Kurang lebih ada empat alasan mengapa kita layak skeptis dapat terselsaikannya paket UU Politik di tahun ini sesuai dengan prioritas mereka.

Pertama, para politisi di DPR terlalu disibukan oleh kontestasi kepentingan antar parpol. Dalam politik, tentu saja kontestasi antara kekuataan merupakan suatu hal yang sangat lumrah. Namun, saat ada kepentiangan yang lebih besar yakni kualitas demokrasi dan pemapanan politik di negeri ini, maka kontestasi itu seyogianya mengacu pada kepentingan tersebut. Misalnya saja, soal aturan mengenai peningkatan angka parliamentary treshold (PT) pada revisi UU Nomor 10 Tahun 2008, seharusnya para politisi di DPR mendudukan perbincangan PT itu dalam konteks menyederhanakan parpol bukan dalam pemilahan biner kepentingan partai besar dan partai kecil.

Fakta dari dinamika politik yang berkembang sejak Orde Lama hingga sekarang telah menunjukkan multipartai ektrem tak sesuai dengan karakteristik desain institusional politik Indonesia. Kita pernah mempraktikan multipartai di Pemilu 1955, 1971, 1999, 2004 juga 2009. Hasilnya tak terlalu menggembirakan, karena ternyata hasil Pemilu tersebut tak menghasilkan pemapanan politik yang kuat. Multipartai ekstrem terlalu kompleks dalam mendukung efektivitas pemerintahan.

Kondisi multipartai ekstrem yang bersanding dengan presidensialisme terutama pasca Indonesia memasuki liberalisasi politik di tahun 1998 hingga sekarang, belum sukses membuat bangsa dan negara ini menjadi lebih baik. Begitu juga pengalaman Indonesia di era pengelolaan politik yang dominan dari Orde Baru, tak menyehatkan demokrasi. Multipartai sederhana yang dipaksakan oleh Soeharto telah menempatkan Golkar sebagai kekuatan dominan, sementara PDI dan PPP hanya sekedar ornamen demokrasi. Baik multipartai ekstrem maupun sentralisasi politik pada satu partai dominan, sama-sama tak menguntungkan bagi pemapanan demokrasi Indonesia.

Kedua, suatu hal yang biasanya terjadi dalam setiap revisi UU Paket politik, bahwa penyelsaian pembahasan selalu mepet dengan penyelenggaraan Pemilu. Misalnya saja UU nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Undang-undang nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPRD, dan DPD, serta Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden mepet dengan penyelenggaraan Pemilu 2009. Sebenarnya, niatan awal menjadikan paket UU Politik ke dalam prioritas Prolegnas 2010 layak diapresiasi, karena memungkinkan publik mengkritisi, memperdebatkan, memberi masukan alternatif dalam bentuk naskah akademik dan lain-lain. Para anggota DPR semestinya menjadikan Pemilu 2009 sebagai pelajaran. Misalnya, betapa mepetnya persiapan para penyelengaraan Pemilu karena pengesahan revisi UU yang tak kunjung datang jauh-jauh hari. Hal ini, tentunya juga berefek pada kualitas hasil penyelenggaraan Pemilu 2009 yang kurang maksimal.

Ketiga, tak pernah ajegnya sebuah aturan yang sudah baik karena pertimbangan kompromi politik. Misalnya, saat ini menguat wacana dalam pembahasan revisi UU No.22 tahun 2007 bahwa para penyelenggara Pemilu akan dimungkinkan berasal dari parpol. Argumen yang berhembus dari para politisi Senayan bahwa kemandirian penyelenggara Pemilu dianggap terletak pada kelembagaaannya, bukan pada personel orang per orang. Wacana ini tentunya tak sekedar kemunduran berpikir, melainkan juga berbahaya bagi penguatan sistem pemilu dan demokrasi kita ke depan. Revisi bukan memperbaiki bagian yang masih lemah, tetapi justru menegasikan sesuatu yang sesungguhnya sudah baik. Hal ini terjadi tentu bukan karena para politisi DPR tak memahami persoalan, melainkan lebih karena pertimbangan kepentingan, merevisi untuk mencari peluang yang paling menguntungkan bagi upaya pemenangan partai politiknya.

Keempat, skeptisme juga menguat di tengah prilaku para politisi senayan yang kurang berhasil menunjukkan kinerja cemerlang di tahun pertama periode jabatan mereka. Sejumlah catatan wanprestasi lebih mengemuka dibanding implementasi fungsi-fungsi kelembagaan yang membanggakan. Deretan kontroversi tersaji secara kasat mata di mata publik mulai dari minimnya produktivitas legislasi, absensi, pleserian ke luar negeri, usulan dana aspirasi, rumah aspirasi, dan sejumlah persoalan lain yang kian mengukuhkan citra DPR-RI yang kusut-masai. Manajemen kehormatan DPR tak dibangun secara seksama, sehingga DPR lebih sibuk berbenah dari sorotan publik atas prilaku sebagian anggota mereka, dibanding fokus bekerja dan menyelsaikan sejumlah agenda yang sejatinya sangat penting dan menentukan masa depan bangsa.

Skala Prioritas

DPR bagaimana pun adalah lembaga politik. Jejak rekam para anggota DPR tentunya akan menjadi catatan tersendiri bagi publik. Meski seolah-olah diam, sesungguhnya publik bergerak melakukan penilaian untuk mengklasifikasi baik atau buruknya para anggota DPR kita. Memang, publik politik kita kerap berbaik hati untuk tak menghukum para politisi “rahwana” ini di Pemilu. Namun, kian hari kelompok publik berperhatian (attentive public) kian membesar dan perlahan tapi pasti menunjukkan geliat perlawanan “kelompok bungkam”. Media massa dan media baru (online) pun kian menunjukkan kontribusinya dalam memajang secara telanjang siapa dan bagaimana kiprah para anggota DPR kita. Tak menutup kemungkinan gejala rontoknya para elit parpol di Pemilu 2009 akibat sistem pemilihan berdasarkan suara terbanyak, akan kian menguat di Pemilu legislatif 2014. Mereka yang dianggap cacat politik atau tak memberi peran dan pesan politik transformasional, akan tersisih dari pilihan konstituennya.

Salah satu hal mendesak yang penting para anggota DPR periode ini lakukan adalah kerja keras menyelsaikan apa-apa yang telah mereka prioritaskan di tahun 2010, di antaranya adalah paket UU Politik. Jika pun meleset tidak di tahun ini, maka seyogianya bisa diputuskan tak terlalu jauh dari tahun prioritas mereka. Artinya, paling telat awal tahun 2011, paket UU Politik ini sebaiknya bisa dirampungkan. Jangan sampai, lagi dan lagi DPR terjerembab ke dalam kubangan persoalan berulang, yakni pengesahan regulasi yang dilakukan di penghujung harapan publik. Tugas para anggota DPR sekarang adalah menunjukkan secara cermat dan sungguh-sungguh bahwa pemapanan politik bukanlah sebuah utopia.

Tulisan ini bisa diakses di:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=149819&pagecomment=1

Tidak ada komentar: