Sabtu, 26 Februari 2011

ZONA NYAMAN KORPS KEJAKSAAN


Oleh: Gun Gun Heryanto

Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 4/09/2010)

INSTITUSI kejaksaan kini masih diliputi mendung pekat akibat karut-marut persoalan serius dan kompleks seputar pergantian Jaksa Agung. Fase turbulensi penuh paradoks ini, menyebabkan korps adhiyaksa nyaris tersungkur dari harapan publik. Drama seolah mencapai titik kulminasi saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan terkait posisi Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dalam uji materi UU Kejaksaan Agung terutama pasal 22 ayat 1 huruf D, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.

Konsekuensi putusan MK, bahwa sejak Rabu (22/09) pukul 14.35, Hendarman Supandji dianggap sudah tak lagi menjabat Jaksa Agung. Dua hari setelah itu, Jumat (24/9), SBY pun menaati putusan MK, dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 104 P/2010 tentang Pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Sikap SBY kali ini mengundang respek karena menunjukkan niatan (good will) mengakhiri polemik pascakeluar putusan MK ini.Selesaikah fase turbulensi di tubuh kejaksaan ini? Ternyata tidak. Sejumlah persoalan mencuat dan menjadi polemik baru yang mempertegas ada krisis identitas kelembagaan yang harus segera diatasi korps ini. Ibarat perahu retak, belum ada Jaksa Agung definitif masih menimbulkan gelombang-gelombang persoalan yang jika tak diantisipasi akan merontokkan kewibawaan, kehormatan sekaligus power kejaksaan dan pemerintah SBY-Boediono.

Persoalan Krusial

Paling tidak, ada tiga persoalan krusial dalam fase turbulensi perubahan di institusi kejaksaan ini. Pertama, proses transisi kepemimpinan Jaksa Agung dengan pengangkatan Darmono sebagai pelaksana tugas (Plt) Jaksa Agung. Ada perbedaan tafsir antara DPR dengan pihak istana. Memang, jika merujuk pada Keputusan Presiden, Wakil Jaksa Agung ditugasi melanjutkan tugas dan kewenangan Jaksa Agung sampai jaksa agung definitif diangkat. DPR meragukan kewenangan Darmono, hingga sempat menolak Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Plt Jaksa Agung ini.

Tentu, langkah DPR ini kurang arif terutama jika merujuk Pasal 18 ayat 3 Undang Undang Kejaksaan yang menyatakan, Wakil Jaksa Agung sebagai Plt juga unsur pimpinan. Seharusnya DPR menerima kehadiran Darmono untuk mewakili institusi Kejaksaan Agung. Dengan penolakan ini, DPR disadari atau tidak turut menghambat agenda-agenda kejaksaan yang sudah direncanakan. Terlebih, sejak polemik legalitas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji menjadi bola panas, telah menggerus kinerja kejaksaan secara keseluruhan. Kerja-kerja operasional kejaksaan terganggu karena pusaran konflik elite dan kerancuan hukum administrasi pemerintahan.

Kedua, muncul kesenjangan komunikasi (communication gap) di antara publik internal dan publik eksternal korps adhiyaksa ini. Publik internal adalah para jaksa terutama yang tergabung dalam Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) yang menolak Jaksa Agung definitif dari kalangan luar. Sikap para jaksa ini sama kurang arifnya dengan para anggota DPR yang menolak RDP dengan Darmono. Bedanya, penolakan yang mengklaim sebagai sikap 8.000-an jaksa se-Indonesia dalam jumpa pers di Kejagung, Kamis (16/9) itu, seolah menunjukkan tekanan kepada SBY. Padahal sudah sangat jelas pergantian jaksa agung hak prerogatif Presiden.

Analogi yang disampaikan para jaksa karir tarkait penolakan itu sungguh sangat dangkal. Mereka mengibaratkan diri seperti sedang naik bus, yang tiba-tiba harus berganti supir. Menurut mereka, seluruh penumpang akan lebih nyaman jika telah mengenal siapa supir pengganti daripada diganti oleh orang yang belum mereka kenal. Ini jelas sebuah analogi simplikatif, lucu dan mengada-ada. Mereka lebih mengedepankan aspek kenyamanan internal, dibanding akselerasi kelembagaan. "Supir" baru korps adhiyaksa dari internal bisa jadi akan berjalan aman namun lambat karena selalu mengembangkan politik harmoni dan menjaga kekompakan internal hingga tak akan banyak berbuat apa-apa. Sementara "supir" baru dari eksternal jika kompeten, punya track record baik berani dan berorientasi pada perubahan mendasar akan menjanjikan harapan baru.

Untuk saat ini, sepertinya Jaksa Agung yang berani dan mendedikasikan diri demi perubahanlah yang dibutuhkan institusi kejaksaan. Jika berhitung kelemahan, kemungkinan problem Jaksa Agung dari eksternal relatif lebih sedikit yakni pada persoalan komunikasi dengan publik internal yang harus dilakukan intensif, agar jangan menjadi "pendekar" kesepian. Berbeda dengan problem yang kemungkinan dimiliki Jaksa Agung dari internal. Jaksa karir akan lebih terbebani dengan semangat ke-kita-an korps (esprit de corps) yang telah menggurita dan mendarah daging di setiap jenjang birokrasi kelembagaan kejaksaan. Hingga akan lebih sulit mentransformasikan diri secara maksimal sesuai semangat reformasi internal kejaksaan.

Ketiga, bertumpuknya kasus-kasus penting dan menarik minat khalayak luas yang harus segera diselesaikan kejaksaan. Untuk kategori pidana umum misal, kasus Asian Agri, perkara arwana, dan hukuman mati terhadap sejumlah terpidana. Kategori perkara pidana khusus misal, perkara Sisminbakum juga Gayus Tambunan. Butuh kerja-kerja yang bersifat teknis, strategis dan operasional guna menyelesaikan kasus-kasus ini. Karena itu, seyogianya SBY segera mengangkat Jaksa Agung baru yang akan membawa institusi kejaksaan lebih progresif, tak cukup mengandalkan Plt Jaksa Agung terlalu lama.

Membangun Kewibawaan

Problem mendasar di Kejaksaan Agung saat ini reputasi lembaga compang-camping. Reputasi dalam perspektif komunikasi dibangun tak hanya dari cara pandang pihak luar melainkan internal lembaga. Sejumlah noktah hitam para jaksa telah mencoret kewibawaan korps adhiyaksa.

Sebagai contoh, kita tentu ingat seorang jaksa Esther Thanak (40) dan Dara Veranita (37), dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang menjual barang bukti 343 butir pil ekstasi. Kewibawaan korps Adhiyaksa juga tercoreng dengan prilaku Jaksa Urip Tri Gunawan. Urip tertangkap KPK Minggu 2 Maret 2008, ketika menerima suap senilai US$660 ribu atau kurang lebih sekitar Rp6 miliar dari Artalyta Suryani. Ironisnya lagi, kasus yang menyeret nama Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman dan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM Datun) Untung Udji Santoso, seolah menepi dan menghilang hingga tak memuaskan khalayak.

Belakangan publik disodorkan kenyataan pahit dugaan permainan hukum oleh Jaksa Cyrus Sinaga dan Fadil Rega. Keduanya belum tersentuh proses hukum, meski sejumlah saksi persidangan kasus Gayus Tambunan menyebutkan peran keduanya. Dalam persidangan tersingkap peran Cyrus dan Fadil yang diduga telah mengganti pasal korupsi dan pencucian uang menjadi penggelapan yang didakwakan kepada Gayus. Dugaan ini antara lain, disampaikan Ajun Komisaris Polisi Sri Sumartini dan Komisaris Polisi Arafat Enanie yang lebih dahulu terseret kasus Gayus ini.

Kewibawaan kejaksaan juga tercidarai dalam kekalahan telak pada kasus-kasus perdata besar seperti kasus korupsi Yayasan Supersemar, tukar guling Bulog Goro, dan kasus PT Vista Bella. Sementara pada kasus pidana, lolosnya mantan Deputi V BIN Muchdi Purwopranjono dari dakwaan aktor intelektual pembunuhan aktivis HAM, Munir, telah melunturkan harapan masyarakat akan hadir kebenaran hukum.

Untuk membangun kewibawaan kajaksaan dibutuhkan "sang pencerah" yang berani melawan arus utama para jaksa yang terbiasa di zona nyaman kekuasaan mafia hukum. Untuk konteks saat ini, Jaksa Agung dari internal lebih sulit mewujudkan harapan publik untuk membuat perubahan akibat residu kekitaan di dalam korps yang senantiasa dominan. Jaksa Agung dari eskternal lebih menjanjikan perubahan meski harus harus ada kehati-hatian ekstra dalam pemilihan figur yang kompeten, kredibel, dan pro perubahan. ***

Tulisan ini bisa diakses di web Jurnal Nasional:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=144988&pagecomment=1

Note:

Sumber Ilustrasi Gambar(Photo) dari:www.infokorupsi.com

Tidak ada komentar: