Sabtu, 26 Februari 2011

PARADOKS KOMUNIKASI SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 25/1/2011)

Inilah negeri yang tak pernah sepi dari paradoks. Setiap hari, beragam episode tersaji dalam bingkai media dan menjadi kegaduhan politik di ruang publik. Sejak Jumat (21/1), giliran pidato SBY pada Rapim TNI dan Polri yang mejadi sorotan tajam dan mengundang polemik, baik di media mainstream, situs jejaring sosial, maupun obrolan di pinggir jalan. Untuk kesekian kalinya, SBY membuat blunder dalam komunikasi politik di hadapan publik. Penggalan kalimat SBY bahwa gaji presiden belum naik selama enam atau tujuh tahun sontak mengundang reaksi keras dan dianggap tak pantas diucapkan di saat seperti sekarang.

Efek Bumerang

Satu hal yang seyogianya diingat SBY, bahwa sosok simbolik sang presiden kini disematkan dalam performa ritual dan sosial dirinya. Hal ini mewajibkan SBY selektif dalam mengeluarkan per­nyataan. Sisi personal SBY terkonstruksi utuh dalam jabatan dan kekuasaannya. Dia juga dibayangkan sebagai representasi sosok pemimpin dengan seribu satu harapan rakyatnya. Wajar jika apa pun pernyataan SBY akan mendapatkan perhatian khalayak luas, termasuk curahan hatinya sekalipun.

Jika dianalisis dari perspektif komunikasi politik, pidato SBY yang menyisipkan curhat kenaikan gaji itu telah melahirkan efek bumerang bagi kredibilitas sang Presiden.Memang, jika didengar utuh sesungguhnya pernyataan SBY itu dimaksudkan untuk tujuan komunikasi persuasif. Ada beberapa metode yang biasanya digunakan dalam komunikasi persuasif.

Pertama, icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional. Dengan begitu, diharapkan dengan sentuhan emosional ini muncul empati dan kohesivitas kelompok yang kian solid. Kedua, pay off idea yang biasanya dilakukan dengan memberi harapan atau iming-iming. Misalnya kerap dilakukan dalam masa kampanye, di mana janji diumbar agar mendapatkan dukungan atau suara. Ketiga, fear erousener de­ngan cara menakut-nakuti, ancaman hukuman atau tekanan mental. Metode persuasi ini lazim kita temui saat kekuasaan mengarah ke sifatnya yang hegemonis atau otoriter.

Dalam konteks pidato SBY soal gaji yang tak pernah naik, tampaknya metode persuasi yang awalnya dimaksudkan adalah icing device. Kalimat SBY yang meminta untuk menyampaikan informasi ke seluruh jajaran TNI/Polri, bahwa gajinya tak naik selama enam atau tujuh tahun, dirangkai secara utuh dengan pernyataan bahwa hal tersebut telah menjadi niatan presiden. Dia ingin menunjukkan, bahwa upaya menyejahterakan prajurit TNI dan Polri bukanlah retorika, janji-janji kosong atau kebohongan semata-mata. Dengan demikian, makna pernyataan yang dibangun SBY sesungguhnya adalah sentuhan emosional dengan menciptakan kesan dirinya rela berkorban tak naik gaji, sebelum para prajurit TNI dan Polri mendapatkan kenaikan yang layak, tepat, dan adil.

Hanya saja, dalam praktiknya pernyataan SBY tersebut justru ditafsirkan secara berbeda, sehingga melahirkan efek bumerang yang tidak menguntungkan citra dan kredibilitas SBY. Respons publik di media massa massa, situs jejaring sosial, forum-forum diskusi, maupun beragam ajang perbincangan nyaris se­ragam, yakni curhat SBY soal gajinya yang tak pernah naik itu tak layak diumbar ke publik. Bahkan, di situs microblogging Twitter, para tweeps (pemilik akun Twitter) kini ramai menyindir SBY dengan menggalang gerakan ”Help Salary Presiden”. Lelucon de­ngan lontaran ide menggalang koin untuk presiden.

Tentu saja kita masih ingat gerakan koin untuk Prita Mulyasari yang sempat heboh di tahun 2010. Saat itu, masyarakat dengan sukarela dan penuh antusiasme me­nyisihkan koin-koin uang mereka untuk membantu Prita yang sedang kesulitan menghadapi RS Omni Internasional. Kritik lucu tapi cerdas “koin untuk presiden” ini tentu saja bukan eskpresi kohesivitas masyarakat. Sebaliknya, ini justru ekspresi kekesalan bahkan mungkin kemuakan atas curhat SBY yang kurang perhitungan.

Respons Publik

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa respons publik sangat negatif terhadap curhatnya SBY. Pertama, curhat SBY telanjur ditangkap sebagai sinyal ketidakpekaan atas kenyataan sosial di mana kaum papa ada di mana-mana, bahkan kerap kali melampaui angka-angka statistik versi pemerintah. Curhat lantas dianggap sebagai keluhan bahkan kecengengan. Padahal, masyarakat pun tahu kalau gaji Presiden RI itu sebesar Rp 62 juta plus dana taktis yang bisa dipergunakan sebesar 2 miliar. Tentu saja, menjadi sangat ironi jika dengan gaji dan dana taktis sebesar itu, sang Presiden masih curhat soal gajinya yang tak naik selama enam atau tujuh tahun.

Meminjam konstruksi berpikir teori Manajemen Privasi Komunikasi dari Petronio dalam bukunya Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), kita membuat pilihan dan peraturan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan “kalkulus mental” dengan mempertimbangkan kriteria penting tidaknya sesuatu yang mau kita sampaikan. Sah-sah saja SBY curhat pada rakyatnya, namun harus jelas bobot isu yang dibicarakan, sehingga tak menyisakan tanya, mengapa seorang Presiden mau menjerembabkan diri pada kubang­an isu yang artifisial dan memuakkan rakyat Indonesia.

Kedua, curhat soal gaji muncul di tengah kredibilitas pemerintah yang melemah. Akhir-akhir ini, perhatian publik masuk secara bersama-sama dalam pusaran kasus Gayus. Masyarakat merasakan kuatnya cengkeraman para Godfather dalam kasus ini. Praktik mafia hukum dan mafia perpajakan nyaris sempurna terpapar di muka khalayak.

Situasi ini tak hanya menyesakkan, tetapi juga melahirkan frustrasi masif karena pemerintah nampak tak serius mengungkap kasus ini secara tuntas. Wajar, jika rakyat menjadi sensitif dan tersakiti saat pemimpinnya tak menunjukkan prestasi meng­ungkap kasus Gayus, yang ada malah curhat soal gaji yang sejatinya merupakan kepenting­an perseorangan.

Ketiga, opini publik yang liar seputar curhat SBY, tentu juga menjadi santapan empuk para lawan politiknya. Sebagaimana kita ketahui, tak ada opini publik yang tak dikonstruksi. Dalam konteks inilah politisasi mendapatkan momentum dan sukses menghajar citra sang presiden. Sulit menghindari keseharian SBY yang tanpa politisasi. Namun, dengan curhat yang semena-mena seperti soal kenaikan gaji ini, maka politisasi akan menjadi-jadi. SBY tentu manusia biasa yang berhak curhat, namun sang Presiden tentu harus berkomunikasi secara terukur dan tak melukai rakyat yang telah memercayainya.

Penulis adalah Kandidat Doktor Komunikasi Politik Unpad dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinarharapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/paradoks-komunikasi-sby/

Tidak ada komentar: