Senin, 21 Maret 2011

MASA INKUBASI KEKERASAN


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 21 Maret 2011)

Teror bom kini ada di mana-mana. Setelah “bom buku” meladak di KBR 68 H, Utan Kayu, Jakarta pada 15 Maret kemarin, teror pun kian menjadi-jadi. Belum jelas benar, bagaimana teror itu menyeruak ke ruang publik dan menjadi headline banyak media. Ada situasi ketidakpastian sekaligus ancaman kekerasan yang bisa aktual setiap saat. Situasi seperti ini, bisa menjadi masa inkubasi kekerasan yang membahayakan kehidupan bangsa ini.

Virus Kekerasan

Jika merujuk ke literatur dunia kesehatan, masa inkubasi kerap dimaknai sebagai rentang waktu sejak masuknya penyakit ke dalam tubuh (saat penularan) hingga timbulnya penyakit tersebut. Hal ini, biasanya ditandai dengan adanya gejala penyakit yang jika dibiarkan akan menumbuhsuburkan virus. Bangsa ini ibarat tubuh manusia. Virus kekerasan sangat mungkin masuk dan menyebar ke dalam kehidupan masyarakat. Ada bebera faktor yang sangat mungkin memediasi aktualnya kekerasan.

Pertama, konflik elit yang memiliki implikasi pada masyarakat luas. Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat betapa banyaknya konflik elit yang mengorbankan masyarakat akar rumput (grassroot). Misalnya, bagaimana elit mengalihkan perhatian opini publik yang berkembang melalui “proyek-proyek lupa”. Saat fakta menyudutkan elit tertentu, biasanya harus ditutup dengan memunculkan isu yang memiliki daya ledak sama atau lebih besar. Kita tentu ingat kasus pembunuhan ala ninja, santet, kerusuhan berbau SARA di bebarap tempat, yang jika ditelisik memiliki irisan dengan konflik di level elit. Proses mendistribusikan konflik dari elit ke masyarakat akar rumput ini, tentunya merupakan masa menanam kekerasan yang sempurna. Suatu saat, akan tiba masa memanen kekarasan yang dianggap sebagai hal lumrah dan apa adanya.

Kedua, adanya proses peneguhan kekerasan dari media massa. Maksud hati memberi khabar, bisa jadi berbuah kekerasan terpola. Media sadar atau tidak kerap menyumbang informasi berulang seputar kekerasan. Proses produksi, distribusi dan konsumsi isi media massa pun memapankan bahkan melembagakan konstruksi kekerasan dalam persepsi dan prilaku khalayaknya. Seluruh isi media merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita”.

Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya the Social Construction of Reality (1990), menyebutkan bahwa realitas itu dikonstruksi secara sosial (reality is socially constructed). Mengkonstruksi makna, tentu tak lepas dari proses pelembagaan dan legitimasi untuk memapankan sesuatu sehingga terpola dan menjadi kenyataan obyektif. Sekaligus juga terdapat internalisasi sebagai dimensi subyektif dari proses konstruksi tersebut. Jika media terus menerus dan terpola mendistribusikan khabar kekerasan terlebih dengan cara-cara berlebihan, bukan tak mungkin kekerasan itu nantinya dianggap sah dan apa adanya dalam internalisasi kesadaran individu-individu khalayak.

Berita seputar teror bom misalnya, memang patut diberitakan oleh media karena terkait dengan kepentingan orang banyak. Hanya saja, berita yang ditampilkan oleh media seyogianya proporsional dan memegangteguh prinsip-prinsip jurnalisme. Kita tentu terhenyak, saat sebuah stasiun tv berita, menayangkan detik-detik meledaknya bom buku di KBR 68 H. Bagaimana tangan polisi yang berdarah-darah akibat terkena ledakan bom ditayangkan berulang-ulang. Bingkai berita penuh sensasi pun dinarasikan serta divisualkan sedemikian rupa terkait dengan teror bom di berbagai tempat di Jakarta. Akibatnya, muncul histeria massa, dan teror pun memperoleh publisitas sehingga tentunya menguntungkan mereka yang mendesain perbuatan tersebut.

Jika pun benar “bom buku” dan bom-bom lain belakangan ini sebagai teror sudah barang tentu diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi pelaku teror bukan semata kejahatan sesaat, melainkan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan. Oleh karennya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat dramatis, chaos dan menyebabkan situasi traumatik. Bisa jadi pula, perulangan berita media yang penuh sensasi dan memprovokasi itu menginisiasi pola prilaku teror dari orang atau sekelompok orang yang awalnya tak berniat melakukan hal tersebut. Jadi, media harus proporsional agar tak menjadi alat penebar ketakutan.

Ketiga, tidak kredibelnya aparat keamanan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan. Misalnya, kita bisa melihat tidak optimalnya peran Polri dalam penanganan kasus kekerasan terhadap warga Ahamadiyah di Cikeusik, Pandeglang dan beberapa daerah lain. Peran Polri yang tak optimal tersebut, turut menyumbang eskalasi kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu. Persepsi tentang tidak kredibelnya aparat akan menyumbang pleonasme simbol Polri sebagai aparat penegak hukum. Dalam buku Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik (1999) pleonasme atau kemubadziran dapat memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan. Virus konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan akan cepat muncul dan beranak pinak jika aparat keamanan tak lagi dipercaya memainkan perannya.

Keempat, kekerasan bisa juga mengemuka saat muncul kecenderungan adanya kesenjangan komunikasi (communication gap) antara para pemuka agama dengan pemerintah. Idealnya, langkah ritmis pemerintah dengan para pemuka agama itu diperlukan untuk menyokong harmonisasi kehidupan masyarakat. Hanya saja, dalam praktiknya para pemuka agama kerap tak sejalan dan tak saling menguatkan dengan pemerintah. Bahkan, beberapa kali muncul indikasi adanya keengganan berkomunikasi (Communication Apprehention/CA). Istilah CA ini dipopulerkan oleh James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, Theories of Human Communication, yang manyatakan bahwa ada saat-saat orang mengalami keengganan berkomunikasi yang disebabkan faktor keadaan tertentu. Jika hal ini terjadi, maka akan sulit menempuh sharing dan penyelesaian masalah. Kesenjangan komunikasi yang berlarut-larut bisa merangsang persepsi publik yang keliru dan tentu turut menyempurnakan masa inkubasi kekerasan.

Penyikapan Kasus

Teror bom yang kini lagi tren di masyarakat seyogianya disikapi secara cerdas dan proporsional oleh masyarakat. Kita punya pengalaman banyak mengenai pola serupa di masa lalu. Jangan sampai khalayak tergiring serta-merta ke dalam pusaran opini publik dan histeria yang didesain sistematis oleh kekuatan tertentu. Ada dua kemungkinan dari mengemukanya teror ini.

Pertama, menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat. Situasi tidak pasti dan tidaknyaman merupakan potensi keuntungan bagi para petualang baik itu dari kalangan politisi maupun kelompok ekslusif yang memiliki agenda politik tertentu. Pergerakan demi pergerakan mereka akan lebih leluasa terlebih jika masyarakat masuk ke dalam skenario mereka. Sejatinya, teror itu memang diorientasikan pada situasi penuh paradoks, sehingga menjadi celah bagi aktifnya stelsel aktif gerakan.

Kedua, teror sangat mungkin juga menjadi upaya pelarian sejumlah masalah yang menjadi perhatian publik. Jangan biarkan “poyek lupa” yang ingin menjadikan masyarakat mengalami “amnesia” atas sejumlah persoalan penting, sukses diterapkan pada masyarakat. “Proyek lupa” merupakan manipulasi kesadaran kritis masyarakat, untuk tak lagi bersuara secara sukarela. Saat ini dan ke depan kita butuh elit, media, aparat dan masyarakat yang sama-sama saling memberdayakan bukan memperdayakan.

Tulisan ini bisa diakses di web Jurnas:

http://nasional.jurnas.com/halaman/6

Sumber gambar:

www.matanews.com

WIKILEAKS DAN RESPON ISTANA


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 14 Maret 2011)

Opini publik seputar bocoran kawat diplomatik WikiLeaks yang dipublikasikan di dua surat kabar Australia, The Age dan Sydney Morning Herald (SMH), menjadi titik episentrum gempa politik baru.

Hikmahnya bagi Istana, sejumlah isu mengenai reshuffle dan gonjang-ganjing koalisi turun peringkat dari bingkai utama media. Negatifnya, berita yang dilansir menohok langsung kredibilitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), keluarga, dan Istana. Meski juga ada tokohtokoh lain yang disebut seperti Taufiq Kiemas dan Jusuf Kalla, SBY dan politik kekuasaannya menjadi fokus utama gempa WikiLeakstersebut.

Politik Informasi

Pemberitaan dua surat kabar Australia ini menarik dicermati dalam perspektif komunikasi politik sebagai politik informasi, yakni bagaimana perang informasi berlangsung antarkekuatan lintas negara. Terutama menyangkut bingkai waktu dan isi dari bergulirnya isu, eksistensi media di domain publik,dan relasi antarnegara. Pertama,menyangkut bingkai waktu (framing of time) dan bingkai isi (framing of content) yang membuat isu ini tampak sangat politis.

Bergulirnya isu bersamaan dengan kunjungan Wakil Presiden Boediono ke Canberra untuk berunding dengan pelaksana Perdana Menteri (PM) Australia Wayne Swan. Dalam perspektif pengkaji komunikasi politik, konteks kerap menjadi pesan itu sendiri. Kedatangan pejabat tinggi negara seperti selevel wakil presiden sudah tentu akan mengundang liputan media massa, baik dari media di Australia maupun Indonesia. Publikasi bocoran data WikiLeaks ini juga sepertinya mempertimbangkan redanya kegaduhan politik seputar hak angket pajak dan isu reshuffle kabinet di Indonesia.

Persis setelah konsolidasi mitra koalisi, terutama SBY-Ical,isu di kedua surat kabar Australia ini pun digulirkan. Disengaja atau tidak, dalam konteks pembingkaian waktu publikasi, informasi seputar isu ini bisa memalingkan perhatian khalayak. Inilah yang digambarkan Maxwell McCombs dan Donald L Shaw sebagai agenda setting. Dalam tulisan klasik mereka berjudul The Agenda Setting Function of Mass Media (1972) dijelaskan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media akan memengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.

Apa yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya apa yang dilupakan media akan luput juga dari perhatian masyarakat. Efek dalam agenda setting biasanya terdiri atas efek langsung dan efek lanjutan (subsequent effects). Efek langsung berkaitan dengan isu, apakah isu bahwa SBY melakukan abuse of poweritu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak. Lalu mana yang akan dianggap paling penting menurut khalayak (salience).

Bagaimana isu-isu itu ”diperingkatkan” oleh khalayak dan apakah ”peringkatnya” itu sesuai dengan “peringkat” dari media. Sementara efek lanjutan (subsequent effects) terkait dengan persepsi. Tentu gatekeepers seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan dari data bocoran WikiLeaks yang mereka terima. Dengan demikian apa yang mereka paparkan di produk jurnalistiknya suka atau tidak suka berpretensi memengaruhi persepsi khalayak di Australia, Indonesia, juga dunia internasional berkenaan dengan kredibilitas politik SBY.

Kedua,terkait dengan eksistensi media di domain publik. Ada perbedaan mendasar antara WikiLeaks dengan The Age dan SMH.WikiLeaks sejak didirikan pada tahun 2006 memang memproklamasikan diri sebagai gerakan transparansi radikal. Pada November 2010, WikiLeaks merilis 250 kawat diplomatik rahasia dari Kedutaan Besar Amerika Serikat di sejumlah negara. Singkatnya gerakan mereka kerap dilabeli dengan sebutan hacktivism. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional.

Sementara The Agedan SMH yang sama-sama berada di dalam naungan grup Fairfax Media merupakan media massa komersial yang tentu tak lepas dari kepentingan ekonomi dan politik dari komodifikasi isu terkait SBY ini.Asas kerja jurnalisme The Agedan SMH tentunya adalah asas jurnalisme. Tentu,menjadi kewajiban yang melekat bagi kedua surat kabar Australia ini untuk memverifikasi data yang bersumber dari Wikileaks dengan memberi peliputan yang cover bothside agar tak terjebak pada pembunuhan karakter, dramatisasi fakta maupun propaganda.

Penyikapan Kasus

Untuk menyikapi bocoran data WikiLeaks, Presiden SBY maupun pihak Istana jangan hanya sibuk menyangkal dan mempertanyakan keakuratan data organisasi hacktivist pimpinan Assange itu. Penyangkalan tanpa paparan substansial dari apa yang diisukan justru hanya akan mengundang kecurigaan dari khalayak. Ada dua langkah strategis yang seyogianya secara intensif dan komprehensif dilakukan Presiden SBY dan orang-orangnya di Istana. Pertama, meminta sesegera mungkin hak jawab atas pemberitaan yang dilansir The Age dan SMH.

Sekali lagi bukan sekadar hak jawab basa-basi, melainkan penyampaian fakta dan data terkait dengan substansi yang digulirkan kedua surat kabar tersebut. Misalnya apa dan bagaimana penanganan kasus korupsi yang melibatkan Taufiq Kiemas. Bagaimana posisi Ani Yudhoyono,BIN, dan hubungan SBY-pengusaha yang diduga ada hubungan transaksional. Penjelasan komprehensif berbasis data dan fakta itulah yang akan diuji oleh khalayak, mana yang paling meyakinkan. Tentu, jika Yudhoyono merasa tidak melakukan apa-apa yang dituduhkan dan tercederai oleh pemberitaan kedua surat kabar tersebut, ada mekanisme hukum yang bisa menjadi saluran penyelesaian.

Kedua, sudah sewajarnya selain memberi nota protes kepada Amerika Serikat (AS) melalui Duta Besar AS untuk Indonesia, Scot Marciel, pihak SBY juga meminta klarifikasi sejelas-jelasnya mengenai substansi kawat-kawat diplomatik AS tersebut. Yang berkembang saat ini, terkesan Pemerintah AS tidak menyalahkan maupun membenarkan substansi isunya, melainkan sekadar basa-basi permintaan maaf semata. Beranikah SBY meminta penjelasan terperinci mengenai substansi serta membukanya ke ruang publik? ●

Tulisan ini bisa diakses di Web Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/386835/

Sumber gambar:

www.msn.com

Rabu, 09 Maret 2011

REPOSISI KABINET SETENGAH HATI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, Selasa 8/03/2011)

Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) membentuk pemerintahan jilid kedua dengan konsep politik representasi melalui koalisi besar yang diusungnya, sudah terprediksi jalan terjal akan mengadangnya. Tantangan bukan dari partai nonkoalisi yang jumlah kursinya di DPR hanya 137 kursi, melainkan dari mitra koalisi setengah hati yang kerap menerapkan strategi dua kaki. Saat itu, bangunan koalisi seolah-olah kokoh dan menjadi sistem pertahanan yang sulit dipatahkan karena total menguasai 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan nyata di DPR. Di atas kertas, ini merupakan modal politik paling solid yang dimiliki Yudhoyono setelah menuai hasil gemilang dengan memenangi ronde fi nal Pilpres hanya satu putaran.

Kini, situasinya berbeda. Yudhoyono diserang teman sekandang. Manuver demi manuver secara cantik hingga kasar terpapar di muka Yudhoyono dan Demokrat. Mitra “nakal” Golkar dan PKS terus berulah, membuat 11 butir code of conduct yang ditandatangani sekaligus menandai bahwa perkawinan enam partai koalisi seolah-olah tak sakral lagi.

Menarik menyimak pidato Yudhoyono Selasa (1/3) yang mengingatkan agar mitra koalisi menaati kembali butir-butir kesepakatan di antara mereka.

Pertama, tak terbantahkan ada pesan kekecewaan Yudhoyono atas praktik dan etika politik mitranya, terutama PKS dan Golkar. Tentu hal ini merupakan efek kumulatif dari cerai-berainya komunikasi politik Setgab di sejumlah dinamika politik kekinian, seperti tergambar dalam upaya pembentukan hak angket pajak.

Kedua, meski SBY mengancam akan mengambil sikap keras, nampak kalimatnya masih berbalut equivocal communication (EC). Dalam kajian komunikasi, mengutip pendapat Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communications (1990), istilah EC ini memiliki pengertian pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung, dan tidak lugas. Pernyataan Yudhoyono, dari aspek substansi, sesungguhnya bersifat normatif. Tidak memutuskan sikap, masih meraba-raba kemungkinan layaknya sinyal “lampu kuning” untuk para mitra, yang bisa saja ditafsirkan secara berbeda-beda.

Namun, jika melihat karakteristik komunikasi politik Yudhoyono selama ini, pesan itu sesungguhnya masih membuka kesempatan upaya kompromistis. Ada dua sasaran dari langkah Yudhoyono mengulur-ulur waktu dalam pertarungan ini.

Pertama, Yudhoyono mencoba membaca niatan politik (political will) para mitra nakal. Responsnya sudah mulai tampak. Golkar memberi sinyal kembali merapat. Sekjen Golkar Idrus Marham menegaskan partainya menghormati pernyataan Yudhoyono dan siap memperkuat kembali koalisi. Sebaliknya, PKS tampak kian konfrontatif. Para elite PKS “menjaga muka” dan menyatakan dengan sigap mereka siap menerima konsekuensi apa pun terkait keputusan Yudhoyono.

Kedua, sangat mungkin terkait dengan upaya lobi dan negosiasi dengan sementara PDIP sepertinya sulit menyatu dengan atmosfer koalisi. Selain karena sudah menjadi amanat kongres Bali untuk tetap mengawal PDIP sebagai oposisi, kesenjangan komunikasi politik antara Yudhoyono dan Megawati pun terlalu menganga.

Ada hambatan psikopolitis di antara Demokrat-PDIP untuk menyatu. Bagi PDIP, masuk ke kabinet artinya melakukan blunder karena pasti akan tercatat sebagai partai yang tak konsisten atas pilihan sikap politiknya.

Matematika Koalisi

Sekarang ini, tentu Yudhoyono sedang dipusingkan dengan hitung-hitungan politik koalisi. Mengutak-atik peta kekuatan agar tak salah langkah dalam kocok ulang mitra sejalan. Ada beberapa formula yang sepertinya masuk akal dalam matematika koalisi ke depan.

Formula pertama, PKS dikeluarkan dari koalisi dan mempertahankan mitra yang lain. Ini artinya total kursi kekuatan Yudhoyono di DPR 366 kursi (65,36 persen).

Formula kedua, PKS-Golkar sama-sama ditendang dari gelanggang, artinya Yudhoyono akan didukung oleh 260 kursi (46,43 persen), sebuah peta kekuatan yang sangat riskan bagi eksistensi pemerintahan Yudhoyono ke depan.

Formula ketiga, PKS dicerai dan menggandeng pasangan baru, yakni Partai Gerindra, serta tak mengubah posisi mitra lainnya. Skenario ini akan menghasilkan peta kekuatan 392 kursi (70 persen).

Formula keempat, PKSGolkar “ditalak empat” dan memasukkan Gerindra ke koalisi. Skenario ini akan menghasilkan dukungan kursi di DPR berjumlah 286 (51,07 persen). Dari matematika politik di atas, opsi ketiga sepertinya yang paling beririsan dengan gaya kepemimpinan Yudhoyono.

Jelas Yudhoyono adalah pemimpin yang safety player dan senantiasa meminimalisasi segala potensi kekuatan Oleh karena itu, Yudhoyono dan para elite Golkar diprediksi akan mengarah ke zone of possible agreement. Meski demikian, Yudhoyono pasti menyadari bahwa keputusan untuk bersama-sama Golkar bukan tanpa risiko. Jangka pendek, Yudhoyono harus berpikir “angpao” apa yang paling berkesan untuk Golkar, jangka panjang strategi apa yang harus Yudhoyono mainkan agar Golkar tak selalu “nakal” dan terus mencari perhatian. Inilah risiko bangunan koalisi pragmatis yang berbasis politik transaksional. Seandainya Yudhoyono mengambil jalan aman untuk mempertahankan PKS-Golkar dalam kekuasaan, ini pun bukan tanpa risiko.

Risiko pertama, Yudhoyono akan dianggap tak memiliki karakter dalam menghadapi ulah para mitra yang berkoalisi setengah hati. Risiko kedua, jika ada pemakluman politik dari Yudhoyono atas sejumlah sikap mitra koalisi yang bercitarasa oposisi, akan menjadi referensi di masa mendatang bebasnya para mitra menafsirkan segala aktivitas sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing. Dinamika seperti ini tak hanya memunculkan dilema, melainkan juga ujian sejarah atas kepemimpinan Yudhoyono. Tentu Yudhoyono tak ingin dicatat sebagai presiden yang gagal setelah menjabat dua periode.

Saatnya Yudhoyono memikirkan waktu yang tinggal 3,5 tahun lagi. Momentum kocok ulang kabinet atau reposisi kekuatan oposisi seyogianya mengacu pada keefektifan pemerintah yang ditopang oleh kabinet yang kredibel serta sokongan koalisi yang memiliki komitmen untuk melangkah bersama. Sudah saatnya pula Yudhoyono membebaskan diri dari sandra politik harmoni yang mengalunkan nada sumbang akibat orkestra yang tak pernah satu kata.

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?idkat=18&id=77106

Sumber gambar:

www.matanews.com

Selasa, 01 Maret 2011

MUSIM SEMI REVOLUSI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 2/03/211)

Sejak Desember hingga sekarang, jagat dunia seolah mengalami musim semi revolusi. Pekik perubahan bergema dari Timur Tengah hingga Afrika Utara. Yang terparah, kini dialami Libya yang telah dipimpin Moammar Khadafy sejak tahun 1969. Menurut data dari AFP, demonstran yang mati terbunuh sudah mencapai seribu orang. Tripoli, Benghzi, Al-Bayda, Misurata dan kota-kota lain mencekam serta menghadirkan prahara politik yang sangat parah. Bahrain juga bergolak, negara pulau di teluk Persia dan dihuni 1,3 juta orang ini sudah berhari-hari mengumandangkan revolusi guna menurunkan rezim Al-khalifa. Pekikan revolusi serupa, juga bergema di Aljazair, Jordania, Iran dan lain-lain.

Tren Perubahan

Tak dimungkiri, dalam sejarah gerakan politik seperti dalam peristiwa people power, reformasi ataupun revolusi, satu peristiwa di sebuah negara kerap menginspirasi gerakan di negara lain. Kita bisa menyebut peristiwa pada awal tahun 1989 di lapangan Tianmen, China. Peristiwa ini, menginspirasi robohnya Tembok Berlin, rontoknya Uni Soviet lama serta berbagai gerakan untuk menghancurkan kekuataan partai komunis di berbagai belahan dunia.

Pasca suksesnya gerakan Tunisia yang bergulir sejak 17 Desember 2010, gerakan rakyat di Aljazair mulai mengonsolidasikan diri di jalanan sejak 4 Januari, di Yaman sejak 20 Januari, di Mesir sejak 25 Januari, di Jordania sejak 28 januari, di Suriah sejak 2 Februari di Bahrain sejak 14 Februari sementara di Iran sejak 14 Februari. Sampai saat ini, baru di Mesirlah yang sukses meniru Tunisia dalam menumbangkan rezim berkuasa Hosni Mubarok yang sudah berkuasa 30 tahun.

Ada tiga faktor menarik yang bisa menjadi catatan dalam tren gerakan perubahan baik di Timur Tengah maupun Afrika sekarang ini. Pertama, faktor psikopolitik yang menjadi penyuplai utama motivasi bergerak dan konsolidasi kekuatan kaum oposisi. Sangat lumrah, jika prahara politik yang terjadi di Mesir dan Tunisia, menimbulkan riakan-riakan sama di negara-negara lain terlebih yang memiliki kesamaan atau tautan geopolitik. Faktor psikopolitik yang dominan adalah ketidakpuasaan rakyat atas rezim yang memerintah.

Semakin lama seorang penguasa mencengkramkan kekuasaannya, maka biasanya memiliki kecenderungan untuk represif. Penguasa akan menutup akses dari kekuatan-kekuatan oposisi, melemahkan kekuatan pro demokrasi, serta cenderung mengkooptasi seluruh simpul kekuatan potensial. Dalam kondisi seperti ini yang dominan adalah teknik menyebar ketakutan guna menihilkam partisipasi politik yang berlawanan dengan kekuasaan. Teknik ini sekarang misalnya sedang berlangsung secara frontal Libya dan Bahrain.

Sebenarnya, teknik menyebar ketakutan hanyalah melumpuhkan sementara kekuatan rakyat. Jika menemukan momentumnya, maka ketakutan rakyat yang seolah-olah sudah sistemis itu, justru dapat menjadi daya dorong utama gerakan dan menjadikan si penebar ketakutan sebagai musuh bersama.

Hal seperti itu, misalnya bisa kita lacak dalam gerakan people power yang menumbangkan diktator Ferdinand Marcos di Filipina yang berkuasa selama 21 tahun sejak 1965-1986. Corak yang sama terjadi dalam Revolusi Beludru di Cekoslovakia, tahun 1989. Ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi mengakhiri pemerintahan Gust-v-Hus-k yang berkuasa dari 1975-1989. di Indonesia, kekuasaan rezim Soeharto ditumbangkan oleh gerakan rakyat yang merasa tertindas selama 32 tahun. Ini merupakan fase kekuasaan otoriter yang dipegang Soeharto sejak mengambil alih kekuasaan dari Orde Lama 1965-1998. Viktor Yushchenko memimpin demonstrasi besar-besaran di Ukraina pada tahun 2004. Gerakan yang menakaman dirinya Revolusi Oranye ini, sukses menggantikan Leonid Danylovych Kuchma setelah dua kali masa jabatannya.

Kejenuhan dan ketidakpuasan politik sangat mungkin melanda kepemimpinan Presiden Abdelaziz Bouteflika di Al Jazair, Presiden Ali Abdullah Saleh di Yaman, Perdana Menteri Marouf Al-Bakhit di Jordania, Presiden Bashar al-Assad di Suriah, Raja Hamad Ibn Isa al-Khalifa di Bahrain dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad di Iran. Kejenuhan maupun ketidakpuasan politik itu, sudah tentu mendapat suntikan mujarab dari kesuksesan di Tunisia dan Mesir.

Kedua, krisis politik yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika sekarang, akan sangat ditentukan oleh faktor politik dan keamanan langsung di negara-negara yang bersangkutan. Pengelolaan manajemen konflik oleh penguasa dan militer akan menjadi faktor paling krusial dalam menemukan solusi. Kita bisa melihat sejak Mohammed Bouazizi menjadi martil di Tunisia, maka gelombang pasang gerakan rakyat menghantam keras pemerintahan Ben Ali. Begitu pun di Mesir, blogger bernama Khaled Said telah tewas mengenaskan. Dia dianiaya polisi Mesir setelah mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Khaled dan beberapa demonstran yang tewas, menyebabkan situasi chaos yang sulit dikendalikan. Pembantain demonstran di Libya yang oleh Moammar Khadafy disebut “kecoa” dan “tikus”, semakin membakar amarah kaum oposan. Tewasnya 8 orang warga Syiah dan pemenjaraan 23 tokoh oposisi di Bahrain, memicu konflik kian eskalatif.

Tentu, gerakan rakyat juga akan ditentukan oleh banyak faktor antaralain adanya tokoh pemersatu kekuatan oposisi, adanya masifikasikan isu melalui media massa, adanya friksi di tubuh militer atau justru militer merestui gerakan rakyat, dan adanya sinyal dukungan dari dunia internasional terutama Amerika Serikat. Satu lagi, ada trend baru yang tak kalah pentingnya saat ini yakni penggalangan kekuatan di internet melalui situs-situs jejaring sosial. Syarat-syarat tak tertulis inilah yang kerap menentukan suskes tidaknya gerakan revolusi di sebuah negara.

Ketiga, menjalarnya gerakan rakyat juga akan sangat ditentukan oleh kondisi kesejahteraan rakyat di negara tersebut. Saat krisis politik melanda Indonesia tahun 1998, kaum oposisi di Malaysia juga memanfaatkan momentum ini untuk menggalang kekuataan melawan pemerintahnya. Hanya saja, kekuatan oposisi tidak sukses karena tingkat kesejahteraan rakyat di Malaysia yang lebih baik. Sehingga, pemerintah bisa mereduksi dengan cepat kekuatan oposisi. Tumbangnya Ben Ali dan Hosni Mubarok diantaranya disebabkan oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi di mana-mana. Kemarahan rakyat yang tak sejahtera, akan lebih mudah disulut menjadi gerakan yang dahsyat. Gerakan revolusi tak sukses di Kuwait karena pemerintah di bawah pengendalian keluarga Al Sabah masih mau mendistribusikan kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyatnya.

Resiko Politik

Revolusi memang beresiko tinggi, terlebih jika terjadi di negara-negara yang tak menyiapkan diri pasca tumbangnya rezim. Ada beberapa resiko yang lazimnya mengemuka.

Pertama, fragmentasi ideologi dan kepentingan masing-masing kelompok. Saat gerakan rakyat berlangsung dan ada musuh bersama, maka perbedaan bisa diredam. Setelah sukses, biasanya muncul saling curiga dan peluang untuk saling memanfaatkan satu sama lain.

Kedua, godaan pembajakan kekuasaan oleh militer. Misalnya di Mesir, apakah Dewan Agung Militer pimpinan Husein Tantawi merasa cukup dengan hanya mengawal proses transisi politik hingga Pemilu.

Ketiga, ketiadaan figur-figur yang menonjol dan bisa menjadi pemersatu semua kekuatan kaum oposisi. Di Mesir misalnya, apakah alternatif nama-nama seperti Mohammed ElBaradei, Amr Mousa, Ayman Nour, Muhammad Badie, bisa diterima banyak pihak? Tentu, ini merupakan pekerjaan berat setelah euforia kebabasan dirasakan. Biarlah revolusi yang saat ini bersemi di beberapa negara, diuji dan dicatat dalam sejarah, sehingga menjadi pelajaran penting negara lain. Benang merah yang bisa menjadi pelajaran kita, jika tsunami politik sudah melanda, maka tak akan ada satu rezim kekuasaan pun yang mampu menahannya. ***

Sumber Gambar:

www.inilah.com