Selasa, 01 Maret 2011

MUSIM SEMI REVOLUSI


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 2/03/211)

Sejak Desember hingga sekarang, jagat dunia seolah mengalami musim semi revolusi. Pekik perubahan bergema dari Timur Tengah hingga Afrika Utara. Yang terparah, kini dialami Libya yang telah dipimpin Moammar Khadafy sejak tahun 1969. Menurut data dari AFP, demonstran yang mati terbunuh sudah mencapai seribu orang. Tripoli, Benghzi, Al-Bayda, Misurata dan kota-kota lain mencekam serta menghadirkan prahara politik yang sangat parah. Bahrain juga bergolak, negara pulau di teluk Persia dan dihuni 1,3 juta orang ini sudah berhari-hari mengumandangkan revolusi guna menurunkan rezim Al-khalifa. Pekikan revolusi serupa, juga bergema di Aljazair, Jordania, Iran dan lain-lain.

Tren Perubahan

Tak dimungkiri, dalam sejarah gerakan politik seperti dalam peristiwa people power, reformasi ataupun revolusi, satu peristiwa di sebuah negara kerap menginspirasi gerakan di negara lain. Kita bisa menyebut peristiwa pada awal tahun 1989 di lapangan Tianmen, China. Peristiwa ini, menginspirasi robohnya Tembok Berlin, rontoknya Uni Soviet lama serta berbagai gerakan untuk menghancurkan kekuataan partai komunis di berbagai belahan dunia.

Pasca suksesnya gerakan Tunisia yang bergulir sejak 17 Desember 2010, gerakan rakyat di Aljazair mulai mengonsolidasikan diri di jalanan sejak 4 Januari, di Yaman sejak 20 Januari, di Mesir sejak 25 Januari, di Jordania sejak 28 januari, di Suriah sejak 2 Februari di Bahrain sejak 14 Februari sementara di Iran sejak 14 Februari. Sampai saat ini, baru di Mesirlah yang sukses meniru Tunisia dalam menumbangkan rezim berkuasa Hosni Mubarok yang sudah berkuasa 30 tahun.

Ada tiga faktor menarik yang bisa menjadi catatan dalam tren gerakan perubahan baik di Timur Tengah maupun Afrika sekarang ini. Pertama, faktor psikopolitik yang menjadi penyuplai utama motivasi bergerak dan konsolidasi kekuatan kaum oposisi. Sangat lumrah, jika prahara politik yang terjadi di Mesir dan Tunisia, menimbulkan riakan-riakan sama di negara-negara lain terlebih yang memiliki kesamaan atau tautan geopolitik. Faktor psikopolitik yang dominan adalah ketidakpuasaan rakyat atas rezim yang memerintah.

Semakin lama seorang penguasa mencengkramkan kekuasaannya, maka biasanya memiliki kecenderungan untuk represif. Penguasa akan menutup akses dari kekuatan-kekuatan oposisi, melemahkan kekuatan pro demokrasi, serta cenderung mengkooptasi seluruh simpul kekuatan potensial. Dalam kondisi seperti ini yang dominan adalah teknik menyebar ketakutan guna menihilkam partisipasi politik yang berlawanan dengan kekuasaan. Teknik ini sekarang misalnya sedang berlangsung secara frontal Libya dan Bahrain.

Sebenarnya, teknik menyebar ketakutan hanyalah melumpuhkan sementara kekuatan rakyat. Jika menemukan momentumnya, maka ketakutan rakyat yang seolah-olah sudah sistemis itu, justru dapat menjadi daya dorong utama gerakan dan menjadikan si penebar ketakutan sebagai musuh bersama.

Hal seperti itu, misalnya bisa kita lacak dalam gerakan people power yang menumbangkan diktator Ferdinand Marcos di Filipina yang berkuasa selama 21 tahun sejak 1965-1986. Corak yang sama terjadi dalam Revolusi Beludru di Cekoslovakia, tahun 1989. Ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi mengakhiri pemerintahan Gust-v-Hus-k yang berkuasa dari 1975-1989. di Indonesia, kekuasaan rezim Soeharto ditumbangkan oleh gerakan rakyat yang merasa tertindas selama 32 tahun. Ini merupakan fase kekuasaan otoriter yang dipegang Soeharto sejak mengambil alih kekuasaan dari Orde Lama 1965-1998. Viktor Yushchenko memimpin demonstrasi besar-besaran di Ukraina pada tahun 2004. Gerakan yang menakaman dirinya Revolusi Oranye ini, sukses menggantikan Leonid Danylovych Kuchma setelah dua kali masa jabatannya.

Kejenuhan dan ketidakpuasan politik sangat mungkin melanda kepemimpinan Presiden Abdelaziz Bouteflika di Al Jazair, Presiden Ali Abdullah Saleh di Yaman, Perdana Menteri Marouf Al-Bakhit di Jordania, Presiden Bashar al-Assad di Suriah, Raja Hamad Ibn Isa al-Khalifa di Bahrain dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad di Iran. Kejenuhan maupun ketidakpuasan politik itu, sudah tentu mendapat suntikan mujarab dari kesuksesan di Tunisia dan Mesir.

Kedua, krisis politik yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika sekarang, akan sangat ditentukan oleh faktor politik dan keamanan langsung di negara-negara yang bersangkutan. Pengelolaan manajemen konflik oleh penguasa dan militer akan menjadi faktor paling krusial dalam menemukan solusi. Kita bisa melihat sejak Mohammed Bouazizi menjadi martil di Tunisia, maka gelombang pasang gerakan rakyat menghantam keras pemerintahan Ben Ali. Begitu pun di Mesir, blogger bernama Khaled Said telah tewas mengenaskan. Dia dianiaya polisi Mesir setelah mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Khaled dan beberapa demonstran yang tewas, menyebabkan situasi chaos yang sulit dikendalikan. Pembantain demonstran di Libya yang oleh Moammar Khadafy disebut “kecoa” dan “tikus”, semakin membakar amarah kaum oposan. Tewasnya 8 orang warga Syiah dan pemenjaraan 23 tokoh oposisi di Bahrain, memicu konflik kian eskalatif.

Tentu, gerakan rakyat juga akan ditentukan oleh banyak faktor antaralain adanya tokoh pemersatu kekuatan oposisi, adanya masifikasikan isu melalui media massa, adanya friksi di tubuh militer atau justru militer merestui gerakan rakyat, dan adanya sinyal dukungan dari dunia internasional terutama Amerika Serikat. Satu lagi, ada trend baru yang tak kalah pentingnya saat ini yakni penggalangan kekuatan di internet melalui situs-situs jejaring sosial. Syarat-syarat tak tertulis inilah yang kerap menentukan suskes tidaknya gerakan revolusi di sebuah negara.

Ketiga, menjalarnya gerakan rakyat juga akan sangat ditentukan oleh kondisi kesejahteraan rakyat di negara tersebut. Saat krisis politik melanda Indonesia tahun 1998, kaum oposisi di Malaysia juga memanfaatkan momentum ini untuk menggalang kekuataan melawan pemerintahnya. Hanya saja, kekuatan oposisi tidak sukses karena tingkat kesejahteraan rakyat di Malaysia yang lebih baik. Sehingga, pemerintah bisa mereduksi dengan cepat kekuatan oposisi. Tumbangnya Ben Ali dan Hosni Mubarok diantaranya disebabkan oleh kemiskinan dan kesenjangan sosial yang terjadi di mana-mana. Kemarahan rakyat yang tak sejahtera, akan lebih mudah disulut menjadi gerakan yang dahsyat. Gerakan revolusi tak sukses di Kuwait karena pemerintah di bawah pengendalian keluarga Al Sabah masih mau mendistribusikan kekayaan negara untuk kesejahteraan rakyatnya.

Resiko Politik

Revolusi memang beresiko tinggi, terlebih jika terjadi di negara-negara yang tak menyiapkan diri pasca tumbangnya rezim. Ada beberapa resiko yang lazimnya mengemuka.

Pertama, fragmentasi ideologi dan kepentingan masing-masing kelompok. Saat gerakan rakyat berlangsung dan ada musuh bersama, maka perbedaan bisa diredam. Setelah sukses, biasanya muncul saling curiga dan peluang untuk saling memanfaatkan satu sama lain.

Kedua, godaan pembajakan kekuasaan oleh militer. Misalnya di Mesir, apakah Dewan Agung Militer pimpinan Husein Tantawi merasa cukup dengan hanya mengawal proses transisi politik hingga Pemilu.

Ketiga, ketiadaan figur-figur yang menonjol dan bisa menjadi pemersatu semua kekuatan kaum oposisi. Di Mesir misalnya, apakah alternatif nama-nama seperti Mohammed ElBaradei, Amr Mousa, Ayman Nour, Muhammad Badie, bisa diterima banyak pihak? Tentu, ini merupakan pekerjaan berat setelah euforia kebabasan dirasakan. Biarlah revolusi yang saat ini bersemi di beberapa negara, diuji dan dicatat dalam sejarah, sehingga menjadi pelajaran penting negara lain. Benang merah yang bisa menjadi pelajaran kita, jika tsunami politik sudah melanda, maka tak akan ada satu rezim kekuasaan pun yang mampu menahannya. ***

Sumber Gambar:

www.inilah.com

Tidak ada komentar: