Rabu, 09 Maret 2011

REPOSISI KABINET SETENGAH HATI


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Jakarta, Selasa 8/03/2011)

Sejak Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono) membentuk pemerintahan jilid kedua dengan konsep politik representasi melalui koalisi besar yang diusungnya, sudah terprediksi jalan terjal akan mengadangnya. Tantangan bukan dari partai nonkoalisi yang jumlah kursinya di DPR hanya 137 kursi, melainkan dari mitra koalisi setengah hati yang kerap menerapkan strategi dua kaki. Saat itu, bangunan koalisi seolah-olah kokoh dan menjadi sistem pertahanan yang sulit dipatahkan karena total menguasai 423 kursi atau 75,54 persen kekuatan nyata di DPR. Di atas kertas, ini merupakan modal politik paling solid yang dimiliki Yudhoyono setelah menuai hasil gemilang dengan memenangi ronde fi nal Pilpres hanya satu putaran.

Kini, situasinya berbeda. Yudhoyono diserang teman sekandang. Manuver demi manuver secara cantik hingga kasar terpapar di muka Yudhoyono dan Demokrat. Mitra “nakal” Golkar dan PKS terus berulah, membuat 11 butir code of conduct yang ditandatangani sekaligus menandai bahwa perkawinan enam partai koalisi seolah-olah tak sakral lagi.

Menarik menyimak pidato Yudhoyono Selasa (1/3) yang mengingatkan agar mitra koalisi menaati kembali butir-butir kesepakatan di antara mereka.

Pertama, tak terbantahkan ada pesan kekecewaan Yudhoyono atas praktik dan etika politik mitranya, terutama PKS dan Golkar. Tentu hal ini merupakan efek kumulatif dari cerai-berainya komunikasi politik Setgab di sejumlah dinamika politik kekinian, seperti tergambar dalam upaya pembentukan hak angket pajak.

Kedua, meski SBY mengancam akan mengambil sikap keras, nampak kalimatnya masih berbalut equivocal communication (EC). Dalam kajian komunikasi, mengutip pendapat Janet Beavin Bavelas dalam bukunya Equivocal Communications (1990), istilah EC ini memiliki pengertian pengemasan pesan yang sengaja dibuat tidak jelas, tidak langsung, dan tidak lugas. Pernyataan Yudhoyono, dari aspek substansi, sesungguhnya bersifat normatif. Tidak memutuskan sikap, masih meraba-raba kemungkinan layaknya sinyal “lampu kuning” untuk para mitra, yang bisa saja ditafsirkan secara berbeda-beda.

Namun, jika melihat karakteristik komunikasi politik Yudhoyono selama ini, pesan itu sesungguhnya masih membuka kesempatan upaya kompromistis. Ada dua sasaran dari langkah Yudhoyono mengulur-ulur waktu dalam pertarungan ini.

Pertama, Yudhoyono mencoba membaca niatan politik (political will) para mitra nakal. Responsnya sudah mulai tampak. Golkar memberi sinyal kembali merapat. Sekjen Golkar Idrus Marham menegaskan partainya menghormati pernyataan Yudhoyono dan siap memperkuat kembali koalisi. Sebaliknya, PKS tampak kian konfrontatif. Para elite PKS “menjaga muka” dan menyatakan dengan sigap mereka siap menerima konsekuensi apa pun terkait keputusan Yudhoyono.

Kedua, sangat mungkin terkait dengan upaya lobi dan negosiasi dengan sementara PDIP sepertinya sulit menyatu dengan atmosfer koalisi. Selain karena sudah menjadi amanat kongres Bali untuk tetap mengawal PDIP sebagai oposisi, kesenjangan komunikasi politik antara Yudhoyono dan Megawati pun terlalu menganga.

Ada hambatan psikopolitis di antara Demokrat-PDIP untuk menyatu. Bagi PDIP, masuk ke kabinet artinya melakukan blunder karena pasti akan tercatat sebagai partai yang tak konsisten atas pilihan sikap politiknya.

Matematika Koalisi

Sekarang ini, tentu Yudhoyono sedang dipusingkan dengan hitung-hitungan politik koalisi. Mengutak-atik peta kekuatan agar tak salah langkah dalam kocok ulang mitra sejalan. Ada beberapa formula yang sepertinya masuk akal dalam matematika koalisi ke depan.

Formula pertama, PKS dikeluarkan dari koalisi dan mempertahankan mitra yang lain. Ini artinya total kursi kekuatan Yudhoyono di DPR 366 kursi (65,36 persen).

Formula kedua, PKS-Golkar sama-sama ditendang dari gelanggang, artinya Yudhoyono akan didukung oleh 260 kursi (46,43 persen), sebuah peta kekuatan yang sangat riskan bagi eksistensi pemerintahan Yudhoyono ke depan.

Formula ketiga, PKS dicerai dan menggandeng pasangan baru, yakni Partai Gerindra, serta tak mengubah posisi mitra lainnya. Skenario ini akan menghasilkan peta kekuatan 392 kursi (70 persen).

Formula keempat, PKSGolkar “ditalak empat” dan memasukkan Gerindra ke koalisi. Skenario ini akan menghasilkan dukungan kursi di DPR berjumlah 286 (51,07 persen). Dari matematika politik di atas, opsi ketiga sepertinya yang paling beririsan dengan gaya kepemimpinan Yudhoyono.

Jelas Yudhoyono adalah pemimpin yang safety player dan senantiasa meminimalisasi segala potensi kekuatan Oleh karena itu, Yudhoyono dan para elite Golkar diprediksi akan mengarah ke zone of possible agreement. Meski demikian, Yudhoyono pasti menyadari bahwa keputusan untuk bersama-sama Golkar bukan tanpa risiko. Jangka pendek, Yudhoyono harus berpikir “angpao” apa yang paling berkesan untuk Golkar, jangka panjang strategi apa yang harus Yudhoyono mainkan agar Golkar tak selalu “nakal” dan terus mencari perhatian. Inilah risiko bangunan koalisi pragmatis yang berbasis politik transaksional. Seandainya Yudhoyono mengambil jalan aman untuk mempertahankan PKS-Golkar dalam kekuasaan, ini pun bukan tanpa risiko.

Risiko pertama, Yudhoyono akan dianggap tak memiliki karakter dalam menghadapi ulah para mitra yang berkoalisi setengah hati. Risiko kedua, jika ada pemakluman politik dari Yudhoyono atas sejumlah sikap mitra koalisi yang bercitarasa oposisi, akan menjadi referensi di masa mendatang bebasnya para mitra menafsirkan segala aktivitas sesuai dengan kepentingan politiknya masing-masing. Dinamika seperti ini tak hanya memunculkan dilema, melainkan juga ujian sejarah atas kepemimpinan Yudhoyono. Tentu Yudhoyono tak ingin dicatat sebagai presiden yang gagal setelah menjabat dua periode.

Saatnya Yudhoyono memikirkan waktu yang tinggal 3,5 tahun lagi. Momentum kocok ulang kabinet atau reposisi kekuatan oposisi seyogianya mengacu pada keefektifan pemerintah yang ditopang oleh kabinet yang kredibel serta sokongan koalisi yang memiliki komitmen untuk melangkah bersama. Sudah saatnya pula Yudhoyono membebaskan diri dari sandra politik harmoni yang mengalunkan nada sumbang akibat orkestra yang tak pernah satu kata.

Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta:

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?idkat=18&id=77106

Sumber gambar:

www.matanews.com

Tidak ada komentar: