Sabtu, 17 April 2010

PILIHAN OPOSISI PDIP


Oleh Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 9/4/2010)


Pidato politik Megawati yang disampaikan di pembukaan Kongres III PDIP, Selasa (6/4) menarik disimak terutama dalam konteks eksistensi partai ini ke depan. Megawati memberi sinyal kuat bahwa wacana yang berkembang dimana PDIP akan menjajagi kemungkinan menjadi mitra koalisi, tak akan terwujud.


Artikulasi pesan politik Mega sekaligus menjadi penanda bahwa simpul utama kekuatan PDIP ada di tangannya. Setelah munculnya monoloyalitas dalam pencalonan Mega untuk kembali memimpin PDIP 2010-2015, penentuan sikap akhir partai atas isu krusial yang bergulir pun masih menempatkan Megawati di puncak hirarki tertinggi. Kongres menjadi momentum peneguh bagi eksistensi power Megawati dan trah Soekarno.


Sisi positif dari dinamisasi kongres PDIP terutama yang tergambar dari pidato politik Megawati adalah pilihan untuk konsisten menjadi kekuatan penyeimbang. Mega menyatakan bahwa kehendak rakyatlah yang menjadi penentu apakah PDIP akan memegang tampuk pemerintahan atau menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip check and balances bisa berjalan. Ada tiga sumberdaya politik (political resources) yang dimiliki PDIP untuk memerankan diri sebagai kekuatan penyeimbang.


Pertama, PDIP merupakan partai yang mengantongi 14 persen suara di Pemilu 2009. Jika PDIP di luar kekuasaan dan mampu mengonsolidasikan kekuatan, maka apa yang dilakukan PDIP memiliki dampak signifikan. Misalnya, kekuatan tersebut nampak jelas dalam kasus Century. Meskipun ada penurunan jumlah dari dua Pemilu sebelumnya, PDIP tetap masuk di daftar tiga besar partai pemenang Pemilu. Kita bisa bayangkan jika PDIP masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, tentu proses demokratisasi tak akan berjalan dengan baik.


Kedua, PDIP hingga saat ini masih memiliki simpul perekat organisasi yakni Megawati. Faktor Mega tetap menjadi kekuataan tersendiri bagi soliditas partai terutama dalam relasi kuasanya dengan pemerintah. Upaya berbagai pihak baik internal maupun eksternal partai menarik PDIP ke dalam kekuasaan, hanya mungkin terpatahkan oleh pilihan sikap politik Mega.


Ketiga, adanya potensi basis ideologi di PDIP. Soekarno dengan ajarannya tak semata tokoh simbolik, melainkan juga representasi ideologi partai. Pemikiran Soekarnoisme dalam ranah politik PDIP memiliki sumbangan besar bagi proses konvergensi simbolik kader yang melahirkan politik kekitaan di antara mereka.


Menurut Ernest G Bormann dalam buku Communication and Organizations: an Intepretive Approach, konvergensi simbolik akan muncul salah satunya melalui visi retorik dan tema fantasi. Visi retorik menekankan pada pandangan berbagi, bagaimana sesuatu terjadi dan apakah mungkin terjadi? Sementara tema fantasi berupa asumsi pengetahuan kelompok yang didasarkan pada penciptaan strukturasi penguasaan realitas.


Soekarnoisme telah membingkai politik PDIP melalui berbagai tema fantasi yang dihadirkannya tentang negara dan bangsa. Sehingga, kerap menginspirasi visi retoris para elit dan kader termasuk Megawati. Hal inilah yang oleh Megawati kembali diingatkan dalam pidatonya di awal konggres kemarin. Yakni, PDIP merupakan partai ideologis yang tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tak berpihak pada wong cilik.


Regenerasi Kepemimpinan


Faktor Megawati dan Soekarno dalam kekhasan politik PDIP, bisa menjadi potensi kekuatan sekaligus kelemahan. Politik yang memapankan trah dan ideologi figur, biasanya membentuk basis tradisional yang loyal pada elit utamanya. Namun demikian, kerap terjebak pada sistem feodal yang melanggengkan dinasti politik. Terutama, jika tak mampu mentransformasikan kekuatan politik figur tersebut pada bangunan sistem dan kader organisasi.


Bertahannnya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang menjadi penanda bahwa Mega memiliki posisi sangat dominan. Setiap konggres hampir selalu berjalan tanpa kompetisi yang berarti. Sehingga PDIP sangat identik dengan sosok Mega. Di konggres kali ini pun, tampilnya Guruh Soekarnoputra yang notabene adik kandung Mega dianggap sebagai fenomena tak lazim, sehingga Guruh merasa kecewa. Padahal sesungguhnya hal tersebut bagus untuk menumbuhkembangkan potensi kepemimpinan alternatif di luar sosok Mega.


Gejala feodalisasi di PDIP yang mesti diwaspadai elit dan kadernya adalah menguatnya kesadaran diskursif dan kesadaran praktis seolah-olah hanya orang dari anak keturunan Soekarnolah yang memiliki hak atas tongkat komando dalam regenerasi kepemimpinan PDIP. Puan Maharani merupakan trah Soekarno yang dianggap paling pantas untuk ditempatkan dalam posisi strategis kepemimpinan PDIP pasca Mega.


Alih generasi tentu saja lumrah, hanya saja jangan sampai mekanisme kepartaian terlalu didominasi oleh proses homogen yang dipaksakan. Feodalisme di tubuh partai, kerap menihilkan proses refleksivitas yang sangat diperlukan oleh partai tersebut di tengah dinamisasi politik yang berlangsung saat ini dan di masa depan. Eksistensi partai dalam rivalitas dengan kekuatan eksternal akan terjaga, jika partai yang bersangkutan tak alergi menerima dan mentransformasikan perubahan-perubahan yang diperlukan sesuai tuntutan zaman.


Dengan demikian, platform dan figur partai merupakan bagian dari sistem yang tak seharusnya berjalan statis, karena tak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.Bagaimana pun PDIP adalah aset penting bangsa ini. Sebagai salah satu kantong kekuatan nyata dalam politik Indonesia, kiprah PDIP tentu saja menentukan tak hanya bagi internal kader tetapi juga bagi khalayak banyak.


Mengingat posisi penting PDIP tersebut, maka seyogianya partai ini serius memikirkan dua hal utama. Pertama, PDIP perlu memikirkan formula yang tepat dalam mentransfromasikan kekuatan politik figur yang dominan menjadi kekuatan sistem, sehingga PDIP akan tumbuh menjadi partai modern. Kedua, partai ini perlu menjaga konsistensi dalam melakukan fungsi-fungsi kepartaian yang secara langsung dapat dirasakan oleh khalayak banyak. ***


Tulisan ini bisa diakses di:

MENUJU PARTAI MODERN?


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 8/4/2010)


Secara berurutan dua partai besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat, menggelar kongres.PDIP pada 6–9 April, kemudian Partai Demokrat jika tak ada perubahan pada 21–23 Mei mendatang. Momentum demokrasi internal di kedua partai tersebut menarik dibahas, terutama terkait dengan posisi penting transisi kepemimpinan di tubuh partai mereka.


Sebagaimana kita ketahui,PDIP sangat identik dengan Megawati, begitu pun Demokrat sangat bergantung kepada figur SBY. Mampukah kedua partai tersebut mereformulasi diri dan mengukuhkan identitas partainya menjadi partai modern?


Politik Figur


Meskipun sistem kepartaian PDIP dan Partai Demokrat sama-sama berada di bawah bayang-bayang nama besar pemimpin mereka, ada situasi berbeda yang mereka rasakan menjelang kongres. Megawati sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010–2015 tampaknya hanya butuh seremoni penahbisan di puncak kongres. Mayoritas suara dipastikan masih dikantongi Mega tanpa rivalitas dengan kandidat lain yang memiliki power setara.


Hanya ada dua isu yang menonjol dan mengundang polemik dari Kongres PDIP, yakni perihal wacana PDIP ke depan tetap sebagai oposisi atau menjadi mitra koalisi serta perbincangan mengenai posisi wakil ketua umum partai. Mengenai posisi PDIP terkait dengan pemerintahan pun hampir dipastikan akan menyesuaikan dengan keinginan Mega yang tergambar dari pidato politiknya saat membuka kongres, Selasa (6/4), yakni tetap tidak menjadi bagian dari kekuasaan.


Monoloyalitas dalam pencalonan dan penyikapan kader atas pidato Mega tersebut sekaligus menunjukkan posisi Mega yang sangat dominan dibandingkan bangunan sistem kepartaian itu sendiri. Sementara jalan menuju Demokrat- 1 diprediksi akan berjalan panas mengingat rivalitas antarkandidat relatif berimbang. Ketiga kandidat yang namanya telah beredar,yaitu Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie,harus berjibaku meyakinkan kader dan elite partai bahwa mereka layak menjadi bintang sekaligus nakhoda partai.


Dengan posisi relasi kuasa yang bersifat horizontal tersebut,tentu dinamisasi menjelang Kongres Demokrat menjadi lebih berwarna.Namun, faktor SBY juga tetap akan menentukan siapa yang nanti akan terpilih? Tak dapat dimungkiri, posisi SBY masih sangat mungkin menjadi king makerdi tubuh Demokrat seperti halnya Amien Rais di PAN. Terlebih, dalam tradisi kongres partai-partai kita, politik figur masih sangat menentukan bandul suara dan basis dukungan.


Secara retoris, SBY bisa saja menyatakan tak akan memberi restu khusus kepada salah satu kandidat, tetapi dalam praktiknya relakah SBY membiarkan partai dipimpin oleh orang yang tak mudah dikendalikan olehnya? Begitu pun bagi eksistensi partai, mungkinkah Demokrat akan tetap berjaya jika tak menyandarkan power kepada SBY? Jika simpul kekuatan politik figur PDIP bersandar pada trah dan ideologi Soekarno,Partai Demokrat justru lebih karena politik citra SBY.Dalam sejarah politik di berbagai negara,trah dan ideologi figur biasanya membentuk basis tradisional yang lebih lama dan loyal dibandingkan politik citra. Namun, politik figur berdasarkan citra lebih mudah mereformulasi diri menjadi partai modern berbasis kader jika mampu mentransformasikan kekuatan figur pada bangunan sistem organisasi.Sebaliknya, partai berbasis trah dan ideologi figur kerap terjebak dalam pemapanan politik feodal dan sistem dinasti.


Reformulasi


Momentum kongres baik bagi PDIP maupun Partai Demokrat sesungguhnya menjadi momentum reformulasi partai menuju partai modern.Ada beberapa karakteristik partai modern yang sebaiknya diadopsi partai-partai besar seperti PDIP dan Demokrat. Pertama, meminimalkan kekuatan referen (referent power).Tak dapat disangkal bahwa setiap partai butuh figur atau tokoh simpul. Namun,ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Misalnya saja di PDIP, tak ada yang salah jika menjadikan Soekarno sebagai figur sentral ideologi partai.


Begitu pun tak salah menempatkan Mega sebagai sosok sentral dalam beberapa periode kepemimpinan partai ini. Yang salah adalah munculnya asumsi jika tak dipimpin Mega, PDIP seolah akan kehilangan rohnya. Gejala feodalisasi lain di PDIP yang mesti diwaspadai adalah menguatnya kesadaran diskursif (discursive consciousness) dan kesadaran praktis (practical consciousness) yang senantiasa menempatkan trah Soekarno di puncak hierarki partai. Misalnya, dalam regenerasi kepemimpinan pasca-Mega, seolah-olah hanya Puan Maharani dan Prananda Prabowo- lah yang layak meneruskan estafet kepemimpinan PDIP.


Kesadaran diskursif maupun kesadaran praktis merupakan modal dasar dalam penstrukturan kelompok. Menurut Poole, Seibold dan McPhee dalam The Structuration of Group Decisions (1996), penstrukturan dipahami sebagai proses di mana sistem diproduksi dan direproduksi melalui pemakaian aturan dan sumber daya oleh anggota kelompok. Dengan demikian, jika aturan organisasi dan keterpilihan SDM selalu menempelkan kekuatannya pada Soekarno dan keturunannya,tentu saja PDIP tak akan pernah menjadi partai modern. Hal serupa bisa juga terjadi di Demokrat jika partai tak bisa melepaskan diri dari sosok dan pengaruh citra SBY.


Kedua,partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas (reflexivity).Partai memfasilitasi anggota-anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tidak akan berjalan. Refleksivitas adalah kemampuan untuk menentukan alasan-alasan pilihan prilakunya. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis,bukan partai yang terjebak dalam gejala groupthink. Ketiga,partai modern dibangun melalui tahapan kaderisasi.


Ketiga tahapan tersebut berjalan secara integratif, yakni merekrut orang untuk bergabung dengan wadah partai,lantas membina kader menjadi loyalis serta mendistribusikan kader ke dalam posisi-posisi tertentu. Perkembangan dinamispragmatis kerap mencederai tahapan kaderisasi ini.Partai kerap menjadi pintu masuk bagi munculnya politisi nonkader yang mengatasnamakan partai dalam perebutan jabatan publik tertentu.


Keempat, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Bagaimanapun partai memiliki posisi penting dalam menstimulasi dan menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik.


Ada hal yang patut diapresiasi dari pidato politik Mega di hari pertama kongres, yakni terkait dengan prinsip checks and balances. Saat itu,Mega menegaskan bahwa rakyatlah yang menentukan apakah sebuah partai harus memegang tampuk pemerintahan atau sebaliknya menjadi kekuatan penyeimbang. Saat ini,Partai De-mokratlah yang diberi kesempatan oleh bangsa Indonesia untuk menjadi partai pemenang pemilu.


Sangatlah elok jika PDIP tetap konsisten di luar kekuasaan sehingga pemerintah dan kekuatan penyeimbang bisa berdiri sama tinggi. Dengan demikian, partai akan sama-sama tumbuh menjadi partai modern.(*)



Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 5/4/2010)


Hal menarik dari kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar pada 6-9 April adalah transisi kepemimpinan. Tentu, bukan mengenai rivalitas calon ketua umum PDIP 2010-2015 karena hampir dipastikan Mega akan kembali memimpin partai ini. Kongres hanyalah forum peneguhan bagi eksistensi Mega sebagai nakhoda. Jika pun ada nama lain seperti Guruh Soekarnoputra, power yang digenggamnya tidaklah setara dengan yang dimiliki Mega saat ini.


Sinyal alih generasi justru tampak dari posisi wakil ketua umum yang menggadang-gadang Puan Maharani serta Prananda Prabowo sebagai kandidatnya. Hal lain yang diprediksi mengundang polemik adalah pilihan sikap politik PDIP ke depan antara konsisten menjadi oposisi atau mitra koalisi. Faktor Mega menjadi titik krusial bagi transisi kepemimpinan sekaligus reformulasi sistem kepartaian PDIP ke depan di tengah situasi dinamis konsolidasi partai lain. Apakah PDIP akan menjadi partai modern atau melembagakan feodalisme berbasis politik dinasti?


Gejala groupthink


PDIP sangat identik dengan Megawati yang mewarisi kekuatan referen ( referent power ) dari Soekarno. Hingga kini, arus utama politik PDIP masih dalam pengendalian Mega yang diposisikan tak hanya sekadar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis. Faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini ataupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini.


Faktor historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak hierarki otoritas. Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto dan simpul utama politik PDIP usai reformasi yang rentan dengan perpecahan karena kepentingan politik elite di pusat ataupun daerah. Bertahannnya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang menjadi penanda bahwa Mega memiliki sumber daya otoritatif ( autoritative resources ) lebih dibandingkan figur lain, termasuk dari Guruh Soekarnoputra.


Namun, hal yang harus dikritik dari dinamisasi yang berkembang di PDIP adalah kian menguatnya gejala groupthink . Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya, yakni Mega.


Ada tiga kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink di PDIP. Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan ( esprit the corps ) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun, kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif ( affiliative constraints ).


Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial ( lack of impartial leadership ) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan ( lack of decision making procedures ). Dalam tradisi politik di PDIP, ketaatan kader terhadap Mega tak cukup memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada figur di luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan dapat mengembangkan dialektika serta kritisisme.


Ketiga, tekanan terhadap kelompok, baik dari internal maupun eksternal. PDIP dalam sejarahnya memang rentan terhadap konflik. Faktor Mega hingga kini masih dianggap formula ampuh dalam mengatasi berbagai konflik internal sekaligus figur yang dapat menjadi katalisator kesadaran kelompok bersama ( shared group conciousness ) di PDIP. Faktor ini dengan sendirinya telah memapankan rasionalisasi kolektif yang ditandai dengan minimnya partisipasi rasional kader dalam keputusan akhir partai, terutama menyangkut jabatan ketua umum mereka.


Orientasi ke depan


Munculnya kemauan dan keberanian untuk menjadi kompetitor Mega, seperti yang dilakukan Guruh atau yang lain, tentu menjadi sangat penting bagi PDIP. Hal tersebut akan menjadi sinyal kuat bahwa pergerakan partai tidak boleh stagnan karena regenerasi kepemimpinan PDIP, terutama menyangkut posisi ketua umum, tidak pernah berjalan.Megawati dengan segala kapasitasnya pada masa lalu dan sekarang sebaiknya memang sesegera mungkin memberi kesempatan transisi kepemimpinan. Meskipun, sah-sah saja jika Mega tetap membimbing, mengarahkan, bahkan menjadi orang yang sangat berpengaruh di balik siapa pun figur yang nantinya menjadi nakhoda PDIP pada masa mendatang.


Ada tiga situasi dinamis yang mengharuskan Mega dan PDIP melakukan alih generasi kepemimpinan sebelum terlambat. Pertama, grafik persentase perolehan suara PDIP dari pemilu ke pemilu kian menurun. Data menunjukkan, pada Pemilu 1999, PDIP tampil sebagai pemenang. Perolehan suara PDIP merosot di Pemilu 2004, yakni hanya 20 persen dan kian memburuk di Pemilu 2009 dengan perolehan 14 persen suara. Data ini menunjukkan bahwa PDIP perlu berbenah, termasuk mempertimbangkan pemimpin alternatif di luar Mega yang bisa menumbuhkan energi baru guna menggerakkan elektabilitas partai di Pemilu 2014.


Kedua, situasi politik yang kian kompetitif menuju alih generasi kepemimpinan nasional di Pemilu 2014. Para tokoh nasional yang telah sukses ataupun gagal di pemilu presiden sebelumnya, baik itu Amin Rais, Wiranto, Jusuf Kalla, SBY, maupun Megawati sendiri, pada Pemilu 2014 telah masuk kategori out of context jika masih memerankan diri sebagai aktor. Posisi mereka seharusnya sudah bergeser menjadi 'sutradara'. Sebagai contoh, alih generasi kini telah terjadi di Golkar dengan tampilnya Abu Rizal Bakrie. PAN pun menahbiskan Hatta Radjasa sebagai nahkoda.


Ketiga, stereotipe yang berkembang hingga sekarang bahwa PDIP adalah Mega. Jika Mega tidak segera melakukan transisi kepemimpinan, tentu stereotipe ini akan semakin mapan dan terlembagakan dalam tradisi kepemimpinan PDIP.


Tulisan bisa diakses di : http://koran.republika.co.id/koran/24

Kamis, 01 April 2010

RASIONALITAS NARATIF KUNJUNGAN OBAMA


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini Telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 16 Maret 2010)


Gedung putih telah mengumumkan secara resmi Obama akan melakukan kunjungan ke Indonesia pada 23 Maret. Berbagai pemberitaan seputar orang nomor satu negeri Paman Sam ini sudah menghangat.


Mulai dari agenda kunjungan yang sifatnya formal, hingga pernak-pernik seputar nostalgia sang presiden yang pernah memiliki memori di negeri ini.Penyikapan atas kunjungan Obama pun beragam. Ada kelompok masyarakat yang jauh-jauh hari telah menyiapkan penyambutan Obama dengan perasaan suka cita,meskipun Obama belum tentu bisa ditemui mereka. Namun, banyak pula organisasi yang sudah turun ke jalan, meneriakkan yel-yel anti-Obama. Itulah penanda bahwa realitas simbolik Obama kini tak lagi tunggal sebagai sosok penuh harapan, melainkan telah menjadi narasi yang multiinterpretasi.


Narasi Obama

Siapa pun tahu bahwa kehadiran Obama sempat menyihir bahkan menjadi mimpi penuh harap tak hanya bagi warga Amerika,melainkan warga dunia.Sebagai kilas balik, kita tentu ingat bagaimana mantra “Yes we can!”yang selalu diteriakkan Obama selama kampanye menuju Amerika-1 telah menyihir optimisme yang melimpah.


Obama saat itu tak hanya sosok melainkan telah menjelma menjadi narasi yang menggugah partisipasi politik di Amerika.Warga kulit putih yang berjumlah 74% dari total pemilih, 43% di antaranya mendukung Obama.Warga kulit hitam yang berjumlah 13% dari pemilih, 95% mendukung Obama. Warga Hispanik yang berjumlah 9% dari pemilih, 67% mendukung Obama.Begitu pun warga Amerika keturunan Asia yang mencapai 3% dari total pemilih,62% dari mereka mendukungnya.


Gejala euforia kehadiran Obama juga sempat melanda warga dunia.Sambutan hangat diberikan negara-negara muslim.“Change we need!” menjadi satu di antara narasi yang dikonstruksi oleh Obama, seolah menunjukkan Amerika yang siap berubah dari arogansi dan kesemena-menaan dalam menerapkan politik unilateralisme ke Amerika yang humanis dan bersahabat.


Relasi antagonistis yang meningkat di dua periode pemerintahan Goerge Bush sejenak mencair saat Obama dilantik 20 Januari 2009. Tema pelantikannya yang sarat nilai filosofis “A New Birth of Freedom”juga menjadi narasi yang diperbincangkan warga dunia. Janji Obama yang akan menarik pasukan Amerika dari Irak, rencana menutup Penjara Guantanamo, dan menjanjikan hubungan yang lebih baik dengan negaranegara Islam telah menjadi narasi penuh impresi.


Dalam pidato di hadapan parlemen Turki beberapa waktu lalu Obama berorasi,Amerika tidak akan pernah memerangi Islam. Narasi sejenis juga telah dikonstruksi Obama saat berpidato di Universitas Kairo, Mesir, pada 4 Juni 2009. “Saya datang ke Kairo untuk mengupayakan satu permulaan baru bagi perdamaian Timur Tengah dan menjembatani antara Amerika dengan Umat Islam di seluruh dunia”ungkapnya saat itu.


Menurut Fisher dalam bukunya "Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action" (1987), bahwa narasi itu lebih dari sekadar cerita yang memiliki plot dengan awal, pertengahan, dan akhir.Melainkan mencakup deskripsi verbal dan nonverbal apa pun dengan urutan kejadian yang diberi makna. Narasi merupakan tindakan simbolik,dan Obama sukses mengurutkannya secara apik di awal periode kekuasaannya. Interpretasi positif atas narasi Obama misalnya dapat kita lihat dari penyematan Nobel Perdamaian atas dirinya.


Rasionalitas Naratif

Narasi Obama kini perlahan mulai memudar, terutama dalam perspektif orang atau sekelompok orang yang menginginkan langkah- langkah cepat dalam penanganan persoalan yang melibatkan Amerika di dalamnya. Misalnya, banyak pihak yang menyangsikan kiprah Obama dalam mewujudkan janji-janji retorisnya dalam kebijakan nyata. Sah-sah saja sikap skeptis mulai ditunjukkan banyak pihak, termasuk oleh organisasi-organisasi massa dan keagamaan di Indonesia.


Namun demikian,untuk menilai sebuah narasi dapat kita percayai atau tidak, kita mesti mengembangkan rasionalitas naratif sebagai satu di antara metode pengujiannya. Ada dua indikator untuk memosisikan narasi Obama dilihat dari rasionalitas naratif. Pertama, koherensi (coherence) merujuk pada konsistensi internal dari sebuah naratif.Apakah ucapan dan tindakan Obama sebelum dan sesudah menjadi Presiden AS masih runtut dan tidak kontradiktif.


Bagi sebagian orang yang tak sabar, tentu jawabannya Obama telah banyak mengingkari ucapan-ucapannya. Misalnya, Obama disorot tentang belum ditutupnya Penjara Guantanamo, penambahan pasukan di Afghanistan, belum selesainya penarikan pasukan dari Irak, konflik Palestina dan Israel yang masih berlarut-larut dll. Namun, ada baiknya kita tak mengambil kesimpulan yang tergesa- gesa terkait hal ini.


Obama bagaimanapun sedang meretas jalan menuju hubungan yang lebih baik dengan warga dunia termasuk negara-negara muslim. Formula kebijakan luar negerinya yang dibingkai dengan istilah “smart power” berupaya menjadikan diplomasi sebagai garda terdepan. Hal ini tentu harus kita apresiasi karena hal ini cukup berbeda dengan pendahulunya Bush,yang banyak mempraktikkan warmongering atau teror berbentuk propaganda yang menghembus-hembuskan perang.


Sebagai contoh, pada 22 Januari 2009 Obama mengeluarkan dekrit yang isinya memerintahkan penutupan Penjara Guantanamo dalam setahun kepemimpinannya, dia juga telah berupaya mengutus Joe Biden untuk kembali mengurai benang kusut konflik Israel-Palestina. Meski upaya tersebut belum membuahkan hasil maksimal namun niat baik Pemerintahan Obama tentu juga harus diapresiasi.


Presiden ke-44 Amerika ini juga masih memiliki koneksi ke negara-negara muslim yang jauh lebih baik di banding para pendahulunya. Kedua, indikatornya adalah kebenaran (fidelity) atau reliabilitas dari sebuah cerita. Sebuah narasi dianggap benar ketika elemen-elemen dari narasi tersebut merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial.


Mengukur Obama dengan kompleksitas persoalan relasi Amerika dengan berbagai negara lain di dunia tentu tak bisa dengan hanya mengukur reliabilitas setahun pemerintahannya. Oleh karenanya, menarik kesimpulan bahwa Obama telah berbohong dan tidak ada bedanya sama sekali dengan Bush tentu merupakan penyimpulan yang prematur.


Makna Kunjungan

Kunjungan Obama ke Indonesia dilihat dari perspektif komunikasi politik memiliki nilai strategis bagi kedua negara. Bagi pemerintahan Obama, Indonesia menjadi representasi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Ini tentu saja merupakan praktik public relations internasional bagi Obama guna mengukuhkan rencana besar hubungan baik dengan negara-negara berpenduduk muslim.


Komunitas muslim moderat yang selama ini identik dengan Indonesia tentu juga merupakan kantong dukungan politik yang penting untuk dijaga Obama. Sementara bagi Indonesia,kunjungan Obama memiliki dua makna positif. Pertama, dapat menandai arti penting Indonesia dalam peta politik internasional kontemporer. Tak disangkal bahwa kedatangan Presiden Amerika ke sebuah negara tentu berdasarkan perhitungan posisi strategis negara tersebut.


Indonesia paling tidak telah diposisikan sama pentingnya seperti Mesir dan Turki,mewakili geopolitik dan psikopolitik tertentu yang dibutuhkan sebagai partner potensial bagi Amerika saat ini dan ke depan. Kedua, kunjungan Obama juga dapat menjadi momentum bagi reformulasi berbagai bidang kerja sama seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan,dan budaya agar lebih menyejahterakan Indonesia. Namun demikian, catatan kritisnya jangan sampai kunjungan Obama justru menjadi pintu masuk bagi pola kerja sama yang menempatkan Indonesia sebagai subordinat dari kedigdayaan Amerika.(*) Tulisan ini bisa diakses di: