Sabtu, 17 April 2010


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 5/4/2010)


Hal menarik dari kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar pada 6-9 April adalah transisi kepemimpinan. Tentu, bukan mengenai rivalitas calon ketua umum PDIP 2010-2015 karena hampir dipastikan Mega akan kembali memimpin partai ini. Kongres hanyalah forum peneguhan bagi eksistensi Mega sebagai nakhoda. Jika pun ada nama lain seperti Guruh Soekarnoputra, power yang digenggamnya tidaklah setara dengan yang dimiliki Mega saat ini.


Sinyal alih generasi justru tampak dari posisi wakil ketua umum yang menggadang-gadang Puan Maharani serta Prananda Prabowo sebagai kandidatnya. Hal lain yang diprediksi mengundang polemik adalah pilihan sikap politik PDIP ke depan antara konsisten menjadi oposisi atau mitra koalisi. Faktor Mega menjadi titik krusial bagi transisi kepemimpinan sekaligus reformulasi sistem kepartaian PDIP ke depan di tengah situasi dinamis konsolidasi partai lain. Apakah PDIP akan menjadi partai modern atau melembagakan feodalisme berbasis politik dinasti?


Gejala groupthink


PDIP sangat identik dengan Megawati yang mewarisi kekuatan referen ( referent power ) dari Soekarno. Hingga kini, arus utama politik PDIP masih dalam pengendalian Mega yang diposisikan tak hanya sekadar ketua umum dalam pengertian formal organisasional, melainkan juga representasi basis ideologis. Faktor Mega masih sangat menentukan orientasi PDIP saat ini ataupun ke depan, terlebih jika Mega masih memosisikan dirinya sebagai figur sentral sekaligus pengambil kebijakan utama di partai ini.


Faktor historisitas berjenjang PDIP menempatkan Mega di puncak hierarki otoritas. Mega sukses menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Soeharto dan simpul utama politik PDIP usai reformasi yang rentan dengan perpecahan karena kepentingan politik elite di pusat ataupun daerah. Bertahannnya Mega di kursi PDIP-1 sejak Orde Baru hingga sekarang menjadi penanda bahwa Mega memiliki sumber daya otoritatif ( autoritative resources ) lebih dibandingkan figur lain, termasuk dari Guruh Soekarnoputra.


Namun, hal yang harus dikritik dari dinamisasi yang berkembang di PDIP adalah kian menguatnya gejala groupthink . Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi dan sering kali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya, yakni Mega.


Ada tiga kondisi menonjol yang mendorong kuatnya gejala groupthink di PDIP. Pertama, faktor kohesivitas kelompok. Ciri yang paling identik dari bangunan kepartaian PDIP selama ini adalah semangat kebersamaan ( esprit the corps ) yang menonjol dalam loyalitas terhadap Mega. Kohesi sesungguhnya positif karena dapat menjadi perekat agar kelompok tetap utuh. Namun, kelompok yang sangat kohesif atau berlebihan juga akan melahirkan keseragaman berpikir dan berperilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif ( affiliative constraints ).


Kedua, faktor struktural berbentuk minimnya kepemimpinan imparsial ( lack of impartial leadership ) dan kurangnya prosedur pengambilan keputusan ( lack of decision making procedures ). Dalam tradisi politik di PDIP, ketaatan kader terhadap Mega tak cukup memberi ruang bagi munculnya pemimpinan alternatif. Nyaris tidak ada figur di luar Mega yang mampu memerankan diri sebagai pengontrol dan dapat mengembangkan dialektika serta kritisisme.


Ketiga, tekanan terhadap kelompok, baik dari internal maupun eksternal. PDIP dalam sejarahnya memang rentan terhadap konflik. Faktor Mega hingga kini masih dianggap formula ampuh dalam mengatasi berbagai konflik internal sekaligus figur yang dapat menjadi katalisator kesadaran kelompok bersama ( shared group conciousness ) di PDIP. Faktor ini dengan sendirinya telah memapankan rasionalisasi kolektif yang ditandai dengan minimnya partisipasi rasional kader dalam keputusan akhir partai, terutama menyangkut jabatan ketua umum mereka.


Orientasi ke depan


Munculnya kemauan dan keberanian untuk menjadi kompetitor Mega, seperti yang dilakukan Guruh atau yang lain, tentu menjadi sangat penting bagi PDIP. Hal tersebut akan menjadi sinyal kuat bahwa pergerakan partai tidak boleh stagnan karena regenerasi kepemimpinan PDIP, terutama menyangkut posisi ketua umum, tidak pernah berjalan.Megawati dengan segala kapasitasnya pada masa lalu dan sekarang sebaiknya memang sesegera mungkin memberi kesempatan transisi kepemimpinan. Meskipun, sah-sah saja jika Mega tetap membimbing, mengarahkan, bahkan menjadi orang yang sangat berpengaruh di balik siapa pun figur yang nantinya menjadi nakhoda PDIP pada masa mendatang.


Ada tiga situasi dinamis yang mengharuskan Mega dan PDIP melakukan alih generasi kepemimpinan sebelum terlambat. Pertama, grafik persentase perolehan suara PDIP dari pemilu ke pemilu kian menurun. Data menunjukkan, pada Pemilu 1999, PDIP tampil sebagai pemenang. Perolehan suara PDIP merosot di Pemilu 2004, yakni hanya 20 persen dan kian memburuk di Pemilu 2009 dengan perolehan 14 persen suara. Data ini menunjukkan bahwa PDIP perlu berbenah, termasuk mempertimbangkan pemimpin alternatif di luar Mega yang bisa menumbuhkan energi baru guna menggerakkan elektabilitas partai di Pemilu 2014.


Kedua, situasi politik yang kian kompetitif menuju alih generasi kepemimpinan nasional di Pemilu 2014. Para tokoh nasional yang telah sukses ataupun gagal di pemilu presiden sebelumnya, baik itu Amin Rais, Wiranto, Jusuf Kalla, SBY, maupun Megawati sendiri, pada Pemilu 2014 telah masuk kategori out of context jika masih memerankan diri sebagai aktor. Posisi mereka seharusnya sudah bergeser menjadi 'sutradara'. Sebagai contoh, alih generasi kini telah terjadi di Golkar dengan tampilnya Abu Rizal Bakrie. PAN pun menahbiskan Hatta Radjasa sebagai nahkoda.


Ketiga, stereotipe yang berkembang hingga sekarang bahwa PDIP adalah Mega. Jika Mega tidak segera melakukan transisi kepemimpinan, tentu stereotipe ini akan semakin mapan dan terlembagakan dalam tradisi kepemimpinan PDIP.


Tulisan bisa diakses di : http://koran.republika.co.id/koran/24

Tidak ada komentar: