Rabu, 11 Maret 2009

DISONANSI PEMILIH MEKANISTIK


Oleh : Gun Gun Heryanto


(Telah dimuat di Harian SINDO, Selasa 10 Maret 2009)


Perhelatan Pemilu dalam praktik demokrasi prosedural di Indonesia hingga kini, masih menempatkan elit politik sebagai pusat. Kelompok elit senantiasa menjadi kekuatan dominan yang mensubordinasikan rangkaian proses tindakan sosial dalam Pemilu tanpa memberi akses leluasa bagi publik untuk mendapatkan pemberdayaan politik (political empowerment) yang memadai. Pemilu dengan segala hingar-bingarnya seolah menjadi momentum milik para pemimpin partai, Caleg, kandidat Capres serta Cawapres. Penetrasi elit dilakukan mulai dari berbagai varian media massa hingga ke lingkup keluarga, organisasi dan kelompok masyarakat. Akan tetapi berbagai sentuhan politik yang dilakukan elit berjalan linear menuju pencapain kepentingan mereka. Sehingga Pemilu sangat berpotensi besar menyebabkan terjadinya disonansi kognitif daripada menjadi momentum transformasional.

Pendekatan Instrumental
Bila kita amati perkembangan aktual belakang ini, perbincangan publik tentang Pemilu telah memberi ruang luar biasa pada berbagai manuver, intrik serta strategi para Capres dan Cawapres. Energi kita tersedot ke dalam pusaran pemetaan kelompok elit di empat poros utama, yakni Blok S (SBY), Blok J (Jusuf Kalla), Blok M (Megawati), Blok T (Poros Tengah yang hinggi kini belum jelas konsolidasi politiknya). Berbagai loby dan negosiasi secara intensif dilakukan elit, dalam kuadran yang memungkinkan mereka merasa everybody happy everybody lucky. Sebuah mekanisme dagang politik yang menempatkan para inisiator berada dalam wilayah aman Zona of Possible Agreement (ZOPA) dan leluasa mengantongi hasil maksimal atau paling tidak berada di titik terendah tawaran yang bisa ditolerir hingga dapat ikut serta ke dalam kesepakatan (reservation price). Media massa pun turut dalam proses pengarusutamaan (mainstreaming) elit dengan melakukan pembingkaian pada setiap pergerakan mereka. Berbagai pernyataan, aneka rupa acara silaturahmi, sejumlah Rapimnas partai politik dan lain-lain praktis menjadi menu utama media massa.
Mari kita amati, bagaimana perbincangan publik soal keterlambatan sosialisasi Pemilu oleh KPU justru berada di wilayah isu pinggiran. Dalam berbagai simulasi, banyak warga pemilih yang belum paham apakah mereka mencontreng atau mencoblos, tapi hal itu dianggap bukanlah sesuatu yang mendesak untuk diatasi. Padahal sosialisasi Pemilu terlebih di Indonesia sebagai negara kepulauan, membutuhkan kerja intensif, sistematik serta tepat sasaran. Setali dua uang dengan KPU, partai politik pun lebih sibuk menghitung peluang dan menjadikan pemilih sebagai sekumpulan jumlah layaknya benda yang menjadi komoditi partai untuk memenangkan pertarungan. Logika berdemokrasi melalui pendekatan instrumentalisik yang menjadikan pemilih hanya sebagai instrumen pencapai tujuan elit dan partai politik. Tidak dalam substansi demokrasi yang fungsional dan humanistik. Meminjam formula dari pemikir Martin Burber, yang membedakan antara I-thou relationship (hubungan saya dengan anda sebagai manusia) dan I-it relationship (hubungan saya dengan anda sebagai benda), maka sikap elit politik kita memperlakukan pemilih jelas memilih tipe kedua. Sebuah langkah yang menempatkan pemilih dalam kategori mekanistik atau bisa diset layaknya mesin dan disesuaikan dengan kebutuhan elit serta partai yang pada saatnya pencoblosan tiba pemilih akan dikonversi menjadi sejumlah hitungan kuantitatif.

Pemilih Mekanistik
Pemilu 2009 yang kian dekat, ternyata juga masih didominasi oleh berbagai faktor yang kian memapankan dan melembagakan jenis pemilih mekanisitik ini. Paling tidak ada tiga faktor dominan yang menyumbang proses pemapanan ini.
Pertama, kita melihat adanya upaya sengaja, intensif dan berkelanjutan yang dilakukan oleh elit untuk terus memelihara basis massa tradisional dengan pendekatan manipulasi ideologi dan kekuatan referensi (reference power). Yang dimaksud dengan manipulasi ideologi adalah partai politik maupun elit secara terencana “memenjarakan” pemilih di basis-basis kantong pemilihannya dengan membawa pada tema-teman fantasi yang mempesona dan menyatukan pemilih pada satu bentuk konvergensi simbolik. Menurut Ernest G Bormann (dalam Putnam and Pacanowsky, 1983: 110), konvergensi simbolik akan menghasilkan tema-tema fantasi melalui visi retorik. Fantasi sendiri merupakan asumsi pengetahuan bersama yang didasarkan pada penguasaan realitas di benak anggota kelompok. Partai menjelang Pemilu kembali intensif mencitrakan dirinya sebagai representasi ideologi tertentu padahal dalam praktiknya sama sekali bertolak belakang. Salah satu pengikat manipulasi ideologi juga bisa dalam bentuk pemanfaatan tokoh besar untuk dijadikan rujukan dan membawa fantasi kian membumbung tinggi. Kita bisa melihat di berbagai spanduk, baliho, iklan media, tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ali Sadikin, Wahid Hasyim, Hasyim Asy’ari dll., kembali dihidupkan. Upaya menawarkan basis ideologi dan panutan tokoh-tokoh nasional sah-sah saja selama memang memiliki komitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilai normatif ideologi dan pemikiran tokoh tersebut dalam pendidikan politik terhadap pemilih yang menjadi kader partai atau elit.
Kedua, maraknya elit yang mencalonkan diri dan memersuasi pemilih dengan pendekatan kekuatan hadiah (reward power). Proses membeli pemilih dengan kekuatan finansial melalui beragam suntikan uang, barang dan fasilitas. Proses transaksi yang mengharuskan elit memberi dan pemilih bersedia patuh pada kendali, seolah lumrah dalam sebuah kontestasi. Pendekatan ini, sama saja dengan terus melembagakan mata rantai dari dosa Pemilu yang akan melahirkan kesadaran palsu pemilih. Banyak Caleg dan tokoh partai yang berkomentar di media massa, mereka harus merogoh hingga miliran rupiah untuk memberi “bensin” pemilih. Sebuah pola transaksional yang mereka anggap wajar, padahal berbahaya bagi masa depan demokrasi dan konsolidasi civil society.
Ketiga, masih kurangnya sensitivitas media massa pada pemilih dalam peranannya sebagai ruang publik. Media massa kita saat ini memang sedang menikmati peningkatan belanja iklan politik dari partai dan caleg serta kandidat Capres-Cawapres. Isu “sexy” yang laku jual pun selalu mengalir dari elit, sehingga kelompok elit selalu mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih memadai sementara pemilih yang seharusnya menjadi simpul utama demokrasi dalam proses dari oleh dan untuk masyarakat justru kurang mendapat perhatian. Contoh aktual adalah penyusunan DPT yang hingga kini masih carut-marut. Hanya sedikit media yang benar-benar melakukan kontrol atas terlindunginya hak-hak warga negara sebagai pemilih.

Disonansi Kognitif
Jika Pemilu hanya melahirkan pemilih mekanistik, maka sudah barang tentu dapat menyebabkan disonansi kognitif. Dalam pandangan Leon Festinger (dalam Shaw & Constanzo, 1982) desonanasi kognitif dipahami sebagai ketidakcocokan hubungan antar elemen kognisi. Pengetahuan, pendapat, keyakinan atau apa yang dipercayai tentang dirinya sendiri dan lingkungannya merupakan bagian dari elemen-elemen pokok kognisi.
Dalam konteks Pemilu, jika masyarakat memahami Pemilu sebagai mekanime demokrasi yang dapat membawa perubahan bangsa dan negara ke arah yang lebih baik sementara dalam praktiknya hanya menjadi rebutan jabatan antara elit partai politik maka akan melahirkan hubungan disonan atau penyangkalan di tingkatan Pemilih. Ini merupakan keadaan psikologis yang tidak meyenangkan yang timbul saat dalam diri pemilih terjadi konflik antara dua kognisi, yakni antara pengetahuan mengenai pentingnya menggunakan hak pilih sebagai wujud partisipasi politik dalam Pemilu dan ketidakyakinan terhadap kualitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Inilah yang oleh para ahli Teori desonansi Kognitif seperti Festinger disebut sebagai inskonsistensi logis. Desonansi kognitif yang tak teratasi dengan baik, bisa menyebabkan pemilih apatis bahkan apolitis di kemudian hari. Pemilu seyogyanya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, melainkan harus menjadi momentum pemberdayaan sehingga terbentuk pemilih rasional (rasional voter) yang memiliki daya tawar.

Tidak ada komentar: